Owa jawa (Hylobates moloch) lebih dari sekadar satwa endemis Jawa yang hampir punah. Keberadaannya mengukur sejauh mana manusia peduli pada masa depan.
Tomtom berputar-putar dalam kandang besi 6 meter x 5 meter meski pintunya sudah terbuka, Kamis (21/4). Owa jawa betina itu ragu-ragu keluar. Alam bebas di Blok Gambung, kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, masih asing. Hampir seumur hidup Tomtom ada dalam kandang.
Kandang itu tak layak di kawasan Dago, Bandung. Ditambah makanan seadanya, kesehatan dan psikologis Tomtom terganggu. Untuk itu, Tomtom dirawat di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ)-The Aspinall Foundation Kabupaten Bandung, sekaligus belajar menemukan lagi sisi liar, sejak 2013 hingga awal 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Siang itu, Tomtom tak butuh waktu lama memulai hidup barunya. Owa jawa enam tahun itu mengencangkan otot lengan. Dengan lincah, bergegas bergelantungan di dahan pohon saninten (Castanopsis argentea).
Ratusan pasang mata menyaksikan Tomtom merengkuh kebebasan. Tepuk tangan lirih. Sejak awal, Koordinator Perawat Satwa PRPJ-The Aspinal Foundation Sigit Ibrahim meminta tak ada suara keras. Gerakan mendadak pun dilarang karena rentan membuat Tomtom gugup keluar kandang.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Owa jawa (Hylobates moloch) betina bernama Tomtom dilepasliarkan di kawasan hutan Cagar Alam Gunung Tilu, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/4). Pelepasan liar satwa yang hampir punah oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dengan The Aspinal Foundation-Indonesia Programme (TAF-IP) itu pelepasan ketujuh di kawasan cagar alam ini. Sebelumnya, Tomtom direhabilitasi tiga tahun di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, Rancabali, Bandung.
Di alam bebas Gunung Tilu, gerak-gerik Tomtom diawasi pemancar sinyal, juga dibantu penyediaan asupan makanan sembari proses adaptasi mencari buah alam, seperti saninten. Ada 52 owa jawa di sana.
“Sejauh ini, habitat Gunung Tilu masih terjaga. Sejak 2014, terpantau satu owa mati dimangsa macan tutul. Perburuan hingga alih fungsi yang jadi ancaman,” kata Sigit.
Peran efektif
Persinggungan manusia dengan owa jawa, lutung (Trancypitecus auratus), dan surili (Presbytis comata) di Gunung Tilu ada sejak ratusan tahun lalu. Pembukaan perkebunan teh di Gambung di kaki Gunung Tilu oleh RE Kerkhoven pada 1874 membuat interaksi manusia dengan primata endemik Jawa itu semakin kerap.
Akan tetapi, alih-alih membuat musnah, pengusaha perkebunan asal Belanda itu menjamin keberadaan primata. Tokoh masyarakat Gambung, Nyanjang Rusmana, mengatakan, Kerkhoven menerapkan larangan perburuan owa jawa, lutung, dan surili. Siapa nekat siap-siap kena damprat “si tuan besar”.
“Salah satu tempat favorit tempat bermain owa dan surili di kawasan Cienggang, 2 kilometer dari area pelepasliaran Tomtom. Mungkin karena ketatnya aturan dari Kerkhoven, kawasan itu dianggap keramat,” kata Nyanjang.
Primata efektif menyebar benih pohon. Saat banyak pohon tumbuh, peran Gunung Tilu sebagai penyedia air, lewat 20 aliran sungai, akan terus terjaga.
Di era kemerdekaan Indonesia, owa jawa justru diburu demi kesenangan. Pohon besar ditebang dijadikan arang dan lahannya dirambah. Pada 1980-an, owa jawa kian sulit ditemukan.
Ini potret buram masa depan hutan konservasi dan lindung di Jawa Barat, rumah besar terakhir owa jawa. Data Walhi Jabar, tersisa sekitar 518.180 hektar hutan lindung atau 14 persen luas Jabar. Padahal syaratnya, 30 persen wilayah daerah untuk kawasan lindung.
Seusai melepasliarkan Tomtom, relawan sepakat menjaga Gunung Tilu. Mulai pemerintah desa, kelompok pencinta lingkungan, hingga komunitas bermotor. Hadir juga perwakilan Pusat Penelitian Tanaman Teh dan Kina (PPTK) Gambung.
PPTK Gambung tak ingin diam melihat degradasi lingkungan sekitarnya. Penanggung Jawab Divisi Argowisata PPTK Gambung Maman Sulaeman mengatakan, keberadaan Tomtom punya pengaruh baik. “Pelepasliaran Tomtom jadi inspirasi warga Gambung mengaktifkan lagi Rumah Pintar, sarana edukasi warga sejak 2005,” katanya. (CORNELIUS HELMY)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Nyanyian Harapan untuk Gunung Tilu”.