Polda Banten batal meminta klarifikasi kepada peneliti tsunami Widjo Kongko. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk memperbaiki komunikasi sains.
Peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko mengapresiasi Polda Banten yang membatalkan rencana untuk membawa hasil penelitiannya tentang potensi tsunami di selatan Jawa bagian barat ke ranah pidana. Widjo menyatakan siap mempertanggungjawabkan hasil kajiannya secara ilmiah.
Widjo siap mendiskusikan kembali temuannya di forum-forum ilmiah guna menyempurnakan hasilnya. “Bahwa kemudian presentasi saya yang lalu memicu keresahan akibat berita di media, ini menjadi pelajaran bersama untuk memperbaiki komunikasi sains,” kata Widjo di Jakarta, Selasa (10/4/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia mengatakan sudah dihubungi Polda Banten yang membatalkan rencana pemanggilan dirinya. “Persoalan ini seharusnya memang di ranah ilmiah, bukan pidana,” kata Widjo.
Sebelumnya, Polda Banten berencana memanggil Widjo dan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) selaku panitia seminar untuk diminta klarifikasi atas kajian mengenai potensi tsunami di selatan Jawa bagian barat. Bahkan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten telah mengirim surat permintaan keterangan kepada Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Serang Sugarin.
Dalam poin ketiga surat panggilan tertanggal 9 April 2018 kepada Sugarin disebutkan, ”Untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan dugaan tindak pidana berita bohong, dan dapat menimbulkan keonaran, sebagaimana dimaksud dalam UU RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana”. (Kompas, 10/4/2018)
Sebagaimana pembatalan pemanggilan Widjo, Polda Banten juga membatalkan pemanggilan untuk Sugarin.
Pada diskusi di BMKG, 3 April 2018, Widjo memaparkan potensi ketinggian tsunami di sejumlah daerah. Kajian dari pemodelan komputer dengan skenario gempa terkecil sampai terburuk berupa potensi tsunami 57 meter di Kabupaten Pandeglang, Banten. Namun, media menyebutnya sebagai prediksi sehingga seolah-olah segera terjadi.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Komisaris Besar Abdul Karim di Serang, Banten, mengatakan, pembatalan permintaan klarifikasi kepada Widjo dan Sugarin diambil setelah mengamati perkembangan yang terjadi di masyarakat terkait potensi tsunami di Banten.
Karim mengatakan, Widjo dalam berita-berita selanjutnya menjelaskan bukan memprediksi, tetapi menyampaikan potensi terjadinya bencana alam itu. “Penjelasan itu sudah disampaikan oleh yang bersangkutan. Karena itu, kami menilai permintaan klarifikasi Widjo tidak perlu lagi,” katanya.
Ke depan, Karim meminta pemerintah daerah, BMKG, dan BPPT duduk bersama meredam keresahan sosial akibat pemberitaan itu. Berita-berita tentang prediksi tsunami tak bisa disangkal menimbulkan keresahan masyarakat, termasuk investor di Banten.
“Apa yang kami lakukan untuk meredam keresahan masyarakat. Saya berharap, hal ini tidak digiring pada isu Polda Banten kontra dengan ilmuwan,” kata dia.
Literasi publik
Widjo mengatakan, pekerjaan rumah sesungguhnya belum selesai. “Potensi bencana tsunami masih mengancam dan itu perlu ditindaklanjuti dengan kajian lagi, memutakhirkan peta risiko, sosialisai dan pelatihan,” kata dia.
Literasi publik tentang pengurangan risiko bencana membutuhkan keterlibatan semua pihak, mulai dari peneliti, otoritas, media, dan juga masyarakat.
“Semua pihak punya tanggungjawab untuk menjadikan masyarakat lebih siap menghadapi bencana,” kata Widjo.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, hasil riset harus dibahas secara ilmiah terlebih dahulu dalam kelompok diskusi terpumpun atau Focus Group Discussion.
Kepala Bidang Humas BMKG Harry Tirto Djatmiko mengatakan, seminar ilmiah yang diselenggaran BMKG pada 3 April 2018 sebenarnya tidak mengundang media. Selain Widjo juga terdapat sejumlah pembicara lainnya.
“Seminar ini juga mengundang pemda dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), tetapi tidak ada yang datang,” kata dia.
Perekayasa tekonologi kebencanaan BPPT Udrekh mengatakan, dalam ilmu kebumian, masih banyak hal yang tidak diketahui oleh para ilmuwan. “Usaha para ilmuwan untuk sedikit demi sedikit menguak rahasia alam perlu kita berikan apresiasi, bukan malah dikriminalisasi,” kata dia.
Menurut Udrekh, jika kita belajar dari gempa Tohoku, Jepang pada 2011, kita akan melihat banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh ilmuwan di sana dalam memperkirakan potensi gempa maupun tsunami.
“Tinggi tsunami yang terjadi di Tohoku jauh lebih tinggi dari kajian para ahli. Pertanyaannya, mana yang lebih baik, kita memahami potensi kejadian terburuk sehingga mempersiapkan diri dengan lebih baik, dibandingkan apa yang terjadi pada gempa Tohoku,” kata dia.
Menurut Udrekh, hingga kini para ilmuwan hanya bisa memperingatkan risiko berdasarkan kajiannya. “Kita tidak tahu secara tepat apa yang akan terjadi. Siapa yang akan bertanggungjawab jika gempa dan tsunami yang terjadi malah lebih besar dari yang dimodelkan Widjo Kongko,” kata dia.
Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko mengapresasi Polda Banten yang menangguhkan rencana untuk membawa persoalannya ke ranah pidana. Namun demikian, Widjo mengaku siap mempertanggungjawabkan hasil kajiannya secara ilmiah.
“Saya sudah dihubungi Polda Banten, perkara ini tidak jadi dibawa ke ranah pidana. Persoalan ini seharusnya memang di ranah ilmiah, bukan pidana,” kata Widjo, di Jakarta, Selasa (10/4).
Sebelumnya, Kepolisian Daerah Banten berencana memanggil peneliti tsunami dari BPPT Widjo Kongko dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika selaku panitia seminar untuk diminta klarifikasi atas kajian mengenai potensi tsunami di selatan Jawa bagian barat. Bahkan, Kepala BMKG sudah Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten telah mengirim surat permintaan keterangan kepada Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Serang Sugarin. Namun, menurut sumber di BMKG, surat panggilan ini telah ditangguhkan.
Widjo mengaku siap untuk mendiskusikan kembali temuannya di forum-forum ilmiah guna menyempurkan hasilnya. “Bahwa kemudian presentasi saya yang lalu memicu keresahan akibat berita di media, ini menjadi pelajaran bersama untuk memperbaiki komunikasi sain,”kata dia.
Widjo menambahkan, pekerjaan rumah sesungguhnya belum selesai. “Potensi bencana tsunami masih mengancam dan itu perlu ditindaklanjuti dengan kajian lagi, memutakhirkan peta risiko, sosialisai dan pelatihan,”kata dia.
Menurut Widjo, literasi publik tentang pengurangan risiko bencana membutuhkan keterlibatan semua pihak, mulai dari peneliti, otoritas, media, dan juga masyarakat. “Semua pihak punya tanggungjawab untuk menjadikan masyarakat lebih siap menghadapi bencana,”kata dia.
Kepala Bidang Humas BMKG Harry Tirto Djatmiko mengatakan, seminar ilmiah yang diselenggaran BMKG pada 3 April 2018 lalu sebenarnya tidak mengundang media. Selain Widjo juga terdapat sejumlah pembicara lain.
“Seminar ini juga mengundang Pemda dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), tetapi tidak ada yang datang,”kata dia.
Bisa Lebih Besar
Perekayasa tekonologi kebencanaan BPPT Udrekh mengatakan, dalam ilmu kebumian, masih banyak hal yang tidak diketahui oleh para ilmuwan. “Usaha para ilmuwan untuk sedikit demi sedikit menguak rahasia alam perlu kita berikan apresiasi, bukan malah dikriminalisasi,”kata dia.
Menurut Udrekh, jika kita belajar dari gempa Tohoku, Jepang pada 2011, kita akan melihat banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh Ilmuwan di sana dalam memperkirakan potensi gempa maupun tsunami. “Tinggi tsunami yang terjadi di Tohoku jauh lebih tinggo dari kajian para ahli. Pertanyaannya, mana yang lebih baik, kita memahami potensi kejadian terburuk sehingga mempersiapkan diri dengan lebih baik, dibandingkan apa yang terjadi pada gempa Tohoku,” kata dia.
Menurut Udrekh, hingga saat ini para ilmuwan hanya bisa memperingatkan risiko berdasarkan kajiannya. “Kita tidak tahu secara tepat apa yang akan terjadi. Siapa yang akan bertanggungjawab jika gempa dan tsunami yang terjadi malah lebih besar dari yang dimodelkan Widjo Kongko,”kata dia. (AIK)
AHMAD ARIF/DWI BAYU RADIUS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 11 April 2018