Setelah bulan lalu ramai diwartakan ancaman gempa besar akan melanda Jakarta, kini publik kembali digaduhkan berita prediksi tsunami 57 meter di Pandeglang, Banten. Kegaduhan itu mengingatkan pada polemik prediksi Indonesia akan bubar pada 2030.
Wacana kerentanan bencana alam untuk membangun literasi publik agar bersiap siaga diwartakan seperti gosip politik. Jika berita Indonesia bubar tahun 2030 didasarkan pernyataan tokoh politik merujuk novel fiksi, berita ”prediksi” gempa dan tsunami merujuk sumber ilmuwan pada diskusi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Kemudian berita di media daring ramai di media sosial soal gempa besar akan melanda Jakarta muncul setelah diskusi diadakan BMKG, 2 Maret 2018. Prediksi tsunami muncul setelah seminar pada 3 April 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berita prediksi tsunami 57 meter ini dirujuk pada kajian ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko. Berita ini dipertentangkan dengan pernyataan ahli geofisika kebumian dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, bahwa akurasi tsunami 57 meter lemah.
Berikutnya, media daring yang bersangkutan mewawancarai warga untuk minta tanggapan soal akurasi prediksi tsunami 57 meter itu. Disebutkan, ”Prediksi tsunami itu hoaks.”
Widjo dan Irwan mengatakan, pernyataan mereka disalahpahami dan dipelintir media. Menurut Widjo, apa yang disampaikannya bukan prediksi, tetapi potensi ketinggian tsunami dari skenario pemodelan.
Dalam pemaparan Widjo yang disampaikan di seminar itu, sebenarnya jelas judulnya ”Potensi Tsunami Jawa Barat”. ”Kami membuat enam skenario tsunami jika ada gempa dari zona megathrust di selatan Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat menurut peta gempa yang dirilis Pusat Studi Gempa Bumi Nasional 2017,” katanya.
Tiga skenario pertama memodelkan jika tsunami dipicu tiap zona gempa terpisah. Skenario keempat dan kelima jadi kombinasi dua sumber gempa terjadi bersamaan.
Skenario keenam, jika zona megathrust ini mengalami gempa bersamaan dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunami 57 meter. ”Itu skenario terburuk. Bukan prediksi, tetapi berdasar model bisa terjadi,” katanya.
Potensi daerah landaan dan ketinggian tsunami jika zona megathrust dari Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat mengalami gempa dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, maka ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunaminya 57 meter. Skenario terburuk ini didapat dari hasil pemodelan. sumber: Widjo Kongko, BPPT, 2018
Proses ilmiah
Sebagai perbandingan, gempa Aceh 2004 M 9,1 dengan panjang runtuhan dasar laut 1.200 km. ”Pemodelan bisa jadi salah karena data belum lengkap, tetapi itu data terbaik yang saya punya. Seperti saya sebut dalam presentasi, butuh data tambahan dan verifikasi. Kajiannya sudah melalui proses ilmiah, jadi bukan hoaks,” kata Widjo.
Irwan Meilano, yang dalam pemberitaan dikesankan melemahkan kajian Widjo, menjelaskan, ”Pernyataan saya dibelokkan media online sehingga seolah-olah sesama ilmuwan saling bertentangan.”
Irwan, yang juga pembicara diskusi di BMKG itu, tak sependapat dengan potensi gempa di atas M 9 yang jadi dasar pemodelan Widjo. Namun, ia tak meragukan kajian dan pemodelan dilakukan. ”Perbedaan sesama ilmuwan biasa demi mencari hasil terbaik. Sebaiknya media tak menjadikan ini seperti berita politik sehingga membingungkan publik. Kesannya, media cari sensasi,” ujarnya.
Kecenderungan media mengeksploitasi drama dan ketakutan tak hanya berlaku di Indonesia. Pada simposium bencana dan media digelar Foreign Press Center Japan (FPCJ) di Tokyo, Jepang, Januari 2015, disimpulkan, jurnalis cenderung memberitakan bencana dengan perspektif ”bad news is good news”. Makin banyak korban dan dramatis, kian menarik diberitakan.
Menurut sosiolog media, John H Macmanus, dalam bukunya, Market Driven Journalism (1994), media terbelenggu dorongan logika komersial. Aspek dramatis dinilai lebih menjual, menaikkan peringkat, dan akan mendatangkan iklan.
–Potensi daerah landaan dan ketinggian tsunami jika zona megathrust dari Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat mengalami gempa dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, maka ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunaminya 57 meter. Skenario terburuk ini didapatkan dari hasil pemodelan.–sumber: Widjo Kongko, BPPT, 2018
Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto khawatir polemik pemberitaan potensi bencana alam membingungkan dan merusak kepercayaan warga pada ilmuwan dan otoritas kebencanaan. Ia mengilustrasikan dongeng klasik tentang gembala berulang kali berteriak minta tolong karena ada serigala. Setelah berulang kali, warga merasa teriakan itu tak benar. Mereka tak percaya lagi saat serigala datang dan memangsa domba-dombanya.
Dari segi potensi bencana, kajian paleotsunami oleh Eko Yulianto dan tim di selatan Jawa menemukan jejak tsunami besar berulang kali terjadi di daerah ini di masa lalu. Informasi ini seharusnya tak dipolitisasi demi menakut-nakuti warga, apalagi hanya jadi usulan program dan proyek bencana.
”Masyarakat awam mungkin sulit memahami beda prediksi dan potensi, tetapi wartawan, apalagi ilmuwan, seharusnya tak keliru dengan istilah ini. Seharusnya komunikasi ilmu pengetahuan dibangun demi meningkatkan literasi warga soal bencana agar lebih siap,” katanya.
Belajar dari kejadian ini, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, mengajak semua pihak membangun wacana kerentanan bencana dan menekankan kesiapsiagaan warga. Bencana tak tepat dikomodifikasi demi rating media. Jadi, media, pemerintah, dan ilmuwan bertanggung jawab menjaga tragedi yang menewaskan sekitar 200.000 jiwa di Aceh pada tsunami 2004 tak
AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 6 April 2018