Presiden Joko Widodo dinilai belum menunjukkan komitmen menghentikan pemakaian sumber energi kotor dan secara bertahap beralih ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Padahal, eksploitasi sumber energi kotor, seperti batubara dan minyak bumi, merugikan lingkungan dan menguras cadangan energi, serta menyumbang polusi dan membebani upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Ini diungkapkan aktivis yang menyoroti kecenderungan arah kebijakan energi di Indonesia. Dalam pidato di Sidang Paripurna DPR, 14 Agustus 2015, Presiden Jokwi masih memberi pernyataan yang mengindikasikan Indonesia ke depan masih tetap bergantung pada industri ekstraktif dan energi fosil, baik dalam bidang ekonomi maupun pemenuhan energi nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bahkan, di sektor energi, tak ada satu pun pernyataan tegas untuk lepas ketergantungan dari energi fosil dan mendorong pemanfaatan energi bersih dan terbarukan,” kata Hendrik Siregar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Senin (17/8) di Jakarta. Ia mengatakan, Presiden menyinggung akan mengurangi ketergantungan pada penerimaan dari sumber daya alam.
Hal ini dinilai inkonsisten dengan isi pidato selanjutnya yang menyebutkan akan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan didominasi dari sektor minyak dan gas. Dari sisi regulasi, eksplorasi dan eksploitasi ini semakin masif melalui revisi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Inkonsistensi lainnya ditunjukkan dengan subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 240 triliun. Jokowi menyebutkan, pembangunan jalan tol di berbagai wilayah akan meningkatkan pemakaian kendaraan bermotor pembakar subsidi BBM.
Jatam juga bersikap kritis terhadap Presiden yang bangga dengan pembangunan banyak pembangkit listrik di pelosok. Dari target 35.000 MW, 20.000 MW bersumber dari energi batubara dan 13.000 MW dari gas.
Eksploitasi batubara terbukti menurunkan kualitas lingkungan hidup di sekitarnya, mencemari tanah, air, dan udara. Sementara lubang tambang tak direklamasi dan merenggut nyawa 14 anak di Kalimantan Timur.
Menurut laporan Institut Analisis Ekonomi Energi dan Keuangan dan perusahaan analisis energi di India, Equatorials, India yang 76 persen suplai batubaranya dari Indonesia mulai mengurangi impor dan enam tahun mendatang beralih ke energi bersih. Indonesia mengirim 140,7 juta ton batubara ke India pada 2014-2015. Negara tujuan ekspor batubara lainnya adalah Tiongkok yang mulai mengerem permintaan ke Indonesia.
“Dengan turunnya harga (tenaga) surya, batubara impor menjadi sumber tenaga listrik paling mahal” kata Jai Sharda, salah satu penulis laporan juga ahli keuangan dari lembaga penelitian Equatorials.
Ode Rakhman, Manajer Kampanye Walhi, menyatakan, langkah India bergerak ke energi terbarukan secara ambisius adalah perkembangan bagus yang perlu diacu Indonesia. Pemerintah seharusnya melakukan revisi pada PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Dalam PP itu, Indonesia menggantungkan sumber energinya dari minyak, gas, dan batubara. Target penggunaan energi terbarukan masih terbatas. Pemerintah Indonesia harus berani pasang target 50 persen energi terbarukan pada 2030. (ICH)
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2015, di halaman 13 dengan judul “Komitmen Menghentikan Pemanfaatan Energi Kotor Rendah”.