Para ilmuwan berhasil menentukan kode DNA dari gen opium tumbuhan bunga poppy. Kemajuan teknologi ini bisa meningkatkan hasil dan mengatasi ketahanan penyakit dari tanaman obat. Di sisi lain, itu mengamankan pasokan obat yang paling efektif dan diandalkan untuk menghilangkan rasa sakit dan berguna bagi perawatan paliatif.
Terobosan ini dilakukan para peneliti di Universitas York yang bermitra dengan Wellcome Sanger Institute Inggris. Mereka mengungkapkan asal-usul jalur genetik yang mengarah ke produksi obat penekan noskapin (pereda batuk) dan obat penghilang rasa sakit morfin dan kodein.
Penelitian berjudul “The Opium Poppy Genome and Morphinan Production” itu dipublikasikan pada jurnal Science, 30 Agustus 2018. “Ahli biokimia penasaran selama beberapa dekade tentang bagaimana tanaman berevolusi menjadi salah satu sumber keragaman kimia terkaya. Dengan menggunakan perakitan genom berkualitas tinggi, penelitian kami menguraikan bagaimana hal ini terjadi pada opium poppy,” kata tim penulis Prof Ian Graham, dari Centre for Novel Agricultural Products, Departemen Biologi di Universitas York di Inggris, dalam Sciencedaily, 30 Agustus 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
MH BS**CAI**–Foto yang diambil pada 11 April 2016 ini memperlihatkan petani memanen bahan opium dari kebun bunga poppy di Distrik Zhari, Provinsi Kandahar, Afghanistan.
Penelitian ini diharapkan memberikan landasan bagi pengembangan teknologi pemuliaan tanaman molekuler. Pendekatan berbasis biologi sintetis untuk senyawa manufaktur sekarang dikembangkan untuk menghasilkan senyawa seperti noskapin maupun zat narkotika seperti kodein dan morfin.
Pengembangannya melalui rekayasa gen dari tanaman ke sistem mikroba seperti ragi yang memungkinkan produksi dalam alat fermentasi. Namun, opium poppy tetap menjadi sumber komersial termurah dan satu-satunya dari senyawa farmasi ini.
Tim peneliti itu bersama rekan dari Universitas Xi’an Jiaotong dan Shanghai Ocean University di China dan Sun Pharmaceutical Industries (Australia) Pty Ltd, menghasilkan perakitan bermutu tinggi dari urutan gen 2.7 GigaBase didistribusikan pada 11 kromosom. Hal itu memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi sekelompok besar 15 gen yang membuat sandi enzim. Proses ini terlibat dalam dua jalur biosintesis yang berbeda dan terlibat dalam produksi noskapin dan senyawa yang mengarah ke kodein dan morfin.
Menggandakan genom
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menggandakan genom mereka dan ketika ini terjadi ada kebebasan bagi gen yang terduplikasi untuk berevolusi dan melakukan hal-hal lain. Ini memungkinkan tanaman untuk mengembangkan mesin baru yang membuat beragam senyawa kimia untuk mempertahankan diri dari serangan mikroba dan herbivora berbahaya serta menarik spesies menguntungkan seperti lebah untuk membantu dalam penyerbukan.
Rakitan genom memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi gen leluhur yang datang bersama demi menghasilkan penyatuan gen STORR yang bertanggung jawab untuk langkah besar pertama pada jalur morfin dan kodein. Perpaduan itu terjadi sebelum peristiwa duplikasi genom keseluruhan yang relatif baru dalam genom opium poppy 7,8 juta tahun lalu.
Co-correspond penulis Profesor Kai Ye dari Xi’an Jiaotong University mengatakan sebuah genom tanaman amat repetitif dan peristiwa evolusi saling bercampur 100 juta tahun terakhir mempersulit analisis peneliti. Mereka memakai teknologi sequencing atau pengurutan mutakhir dengan model dan analisis matematis canggih. Metode untuk menyelidiki sejarah evolusi dari genom opium poppy.
“Sangat menarik bahwa dua jalur biosintesis datang ke wilayah genomik yang sama karena serangkaian duplikasi, terseret, dan menyatukan peristiwa struktural, yang memungkinkan produksi gabungan senyawa metabolik baru.”
Penulis pertama Prof Zemin Ning dari Wellcome Trust Sanger Institute mengatakan penggabungan berbagai teknologi sequencing adalah kunci dalam memproduksi perakitan bermutu tinggi untuk genom opium poppy. Dengan ukuran genom mirip manusia, tantangan utama untuk proyek ini adalah untuk menangani pengulangan elemen yang membentuk 70,9 persen dari genom.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 4 September 2018