Siti Nurmala Sari (17) dan Cokorda Gede Agung Prameswara (17), siswa kelas XII SMA Negeri 3 Denpasar, Bali, tak menyangka penelitian mereka membuat tulang imitasi dari kulit telur ayam bisa meraih medali perunggu kategori inovasi di International Invention and Innovation di Katowice, Polandia, 23 Juni lalu.
Prestasi membanggakan setelah melalui banyak pengorbanan itu menjadi penyemangat bagi teman-teman dan para guru Siti dan Agung untuk tetap berkarya meski anggaran terbatas.
Ide membuat tulang imitasi itu berawal setelah keduanya membaca berbagai literatur yang menyebut kebutuhan inovasi pengganti pen dalam perawatan tulang yang patah atau retak. Inovasi diperlukan untuk mengganti pen yang menggunakan bahan logam dan sering kali mengganggu penggunanya selama terpasang di dalam tubuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nah, itu yang memotivasi mencari bahan kalsium pengganti tulang. Terpikirlah untuk memilih kulit telur ayam yang memiliki kandungan kalsium. Lalu, mulailah mencari kulit telur ayam gratisan di pedagang martabak kaki lima. Terkumpul satu tas keresek besar,” tutur Agung, pekan lalu.
Perjalanan penelitian, mulai dari ide, proposal, hingga terwujudnya tulang imitasi ini berjalan lebih dari enam bulan. Semangat mereka makin terlecut saat di tengah proses, ibu Agung mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang di paha sehingga memerlukan operasi pemasangan pen.
Tulang imitasi dari kulit telur ayam ini, kata Siti, memiliki keunggulan, antara lain lebih murah, tidak berdampak ngilu bagi penggunanya seperti yang dikeluhkan pengguna pen logam, terbuat dari bahan herbal alami, dan tidak mudah patah dibanding tulang asli.
Menurut dia, tulang imitasi hasil penelitiannya dengan panjang 15 sentimeter (cm) dan diameter 3 cm memerlukan waktu pembuatan tiga hari dengan biaya sekitar Rp 150.000.
Prosesnya, kulit telur harus direbus dan dibersihkan dari sisa lendir serta selaputnya sehingga benar-benar bersih. Ini guna membunuh bakteri salmonela pada cangkang.
Cangkang bersih tersebut kemudian dipanggang 30 menit pada suhu sekitar 100 derajat celsius untuk menghilangkan unsur air. Lalu, cangkang ditumbuk dan diayak untuk mendapatkan hasil halusnya.
Tumbukan cangkang halus ini kemudian dicampur bibit selulosa yang didapat dari sari makanan nata de coco. Seperti diketahui, nata de coco adalah makanan yang kaya serat. Salah satu seratnya adalah selulosa, yang bisa berperan mengikat kalsium pada tumbukan cangkang telur.
Campuran itu kemudian ditambahi resin dan pengeras (hardener), lalu dicetak dalam pipa paralon.
Mereka membuat lima resep campuran dengan komposisi selulosa yang berbeda-beda. Sementara jumlah cangkang telurnya tetap, yakni 75 gram dalam setiap sampel, ditambah campuran propolis, resin, dan pengeras sebanyak 5 persen.
Pengujian struktur akhir tulang imitasi dengan pemindaian mikroskop elektron di Laboratorium Metalurgi Universitas Udayana, Denpasar, menunjukkan, tulang dengan campuran selulosa lebih besar memperlihatkan struktur yang lebih halus dan kuat.
Kerja keras
Sekilas terlihat simpel, tetapi keseluruhan proses itu membutuhkan kerja keras. Untuk mendapatkan selulosa nata de coco itu, Situ harus pergi ke fasilitas penelitian LIPI Bandung. Bahkan, ia mengaku sempat dicegat beberapa kali dalam pemeriksaan bea cukai di Bandara Hussein Sastranegara di Bandung untuk memastikan bibit nata de coco yang ia bawa aman dan tak mengandung bakteri berbahaya.
Mereka pun sempat nyaris putus asa karena dua hari menjelang keberangkatan ke Polandia, dana yang mereka butuhkan masih kurang.
Menurut Siti, kebutuhan dana untuk tiket pesawat pergi pulang dari Denpasar ke Polandia, akomodasi, pengurusan visa serta makan-minum untuk dia, Agung, dan seorang guru pendamping, mencapai Rp 130 juta.
“Uang dari mana sebanyak itu? Orangtua saya dan Agung hanya mampu masing-masing Rp 20 juta saja. Masih kurang banyaaak sekali…,” kenang Siti dengan nada sedih.
Para guru pun tergerak berupaya mencarikan dana hingga pada H-2 itu terkumpul sekitar Rp 53 juta dan dari beberapa teman pengusaha ayah Agung pun membantu sekitar Rp 10 juta. Sumbangan dari donatur yang baru datang hari itu akhirnya menggenapi kebutuhan mereka.
Sesampainya di Polandia, keduanya juga mendapat bantuan tak terduga dari pihak Kedutaan Besar RI untuk Polandia. Jaringan ayah Agung ternyata mampu menembus kedutaan dan tak disangka menyanggupi menanggung akomodasi ketiganya selama di Polandia.
Kedua peneliti muda ini pun semakin bersemangat menata meja pameran karya temuan mereka di antara lebih dari 150 peserta, termasuk duta Indonesia lainnya dari Universitas Islam Indonesia (UII).
Bagi Siti dan Agung, dua orang juri yang mendatangi stan pameran dan menguji penelitian mereka sangat menguasai persoalan sehingga sempat membuat ciut nyali mereka. Mereka mengakui masih ada kendala untuk menjadikan tulang imitasinya sepenuhnya terbuat dari bahan alami. Saat ini, bahan resin dan pengeras yang mereka pakai masih berupa bahan kimia yang tidak alami.
“Ini tengah diuji dengan bahan lainnya. Guru dan teman serta pembina menjadi semangat inovasi ini tak boleh berhenti,” kata Siti.(AYU SULISTYOWATI)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Kisah Tulang Imitasi dari Kulit Telur Ayam”.