Orang-orang ini ibarat telik sandi di garda terdepan yang menyelidiki kelemahan lawan. Merekalah para peneliti yang berjibaku dengan gayung untuk memburu jentik, mengumpan diri sebagai makanan nyamuk,hingga berkutat dengan teknologi molekuler terbaru untuk membedah renik virus dan parasit yang dibawa serangga paling mematikan ini.
Hingga setelah menyelesakan kuliahnya di Departemen Biologi Universitas Padjajaran pada 2008, Lepa Shahrani (33) tak terpikir untuk menjadi peneliti nyamuk, serangga paling mematikan yang bisa menularkan berbagai ragam penyakit. Dia baru tertarik menjadi entomologis, dengan fokus kajian pada nyamuk, setelah bekerja di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi pada tahun 2010.
KOMPAS–Staf medis dari Puskesmas Pintas Tuo, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Jambi memnatu mengambil sampel darah Menti Gentar, pimpinan rombongan Orang Rimba di Makekal Hilir, Kamis (10/12). Pengambilan sampel ini dilakukan dalam rangka pemeriksaan genetika dan sebaran malaria pada Orang Rimba di Bukitduabelas yang dilakukan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Warsi.Kompas/Ahmad Arif (AIK)10-12-2015
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, awal menjadi asisten peneliti di Eijkman membuatnya terkaget-kaget, karena tugasnya ternyata tidak hanya berkutat di laboratrium dengan teknologi dan peralatan terbaru. Dia juga harus keluar masuk daerah endemik malaria di pedalaman Papua, Jambi, hingga Sumba untuk mengumpulkan jentik-jentik, bersama para seniornya.
Tak hanya itu, dia juga harus rela menjadi “ibu asuh” bagi nyamuk-nyamuk di laboratorium dengan mengumpankan tangannya digigiti serangga ini secara bergiliran setiap hari. “Awalnya kaget juga, tapi demi nyamuk deh…” kata dia.
Pekerjaan memberi makan nyamuk ini, selain mengamati dan mencatat perilaku dan siklus hidupnya, dilakukan Lepa selama empat tahun saat bertugas di Laboratorium Lapangan Lembaga Eijkman–Universitas Hasanuddin (Unhas) di Pulau Sumba. Bahkan, sampai saat ini, ketika mendapat giliran tugas lapangan ke Sumba, dia juga harus bersiap-siap mendonorkan darahnya untuk nyamuk.
“Kalau nyamuknya tidak diberi makan tidak akan berkembang biak dan mati, padahal kita perlu mempelajari siklus hidup mereka. Sekarang nggak seheboh awal-awal tugas kasih makan nyamuk. Kalau dulu, rasanya lihat nyamuk yang terus gigit tangan kita sampe gendut perutnya bawaannya pingin nepok saja,” kata dia.
Lepa mengaku sebenarnya dia alergi dengan gigitan nyamuk sehingga harus sedia balsem atau minyak gosok untuk mengobati bentol-bentol setelah bertugas memberi makan nyamuk-nyamuk ini. “Awalnya kami pakai kelinci sebagai untuk memberi makan nyamuk ini, tetapi kasihan juga. Apalagi, kelincinya harus dicukur dulu untuk diumpankan. Akhirnya, kamilah yang jadi donor darah secara bergiliran,” kata dia.
Bagi Lepa, pengorbanan kecil yang dilakukannya ini tidak seberapa, dibandingkan data penelitian yang harus dikumpulkan. “Saya terinspirasi Pak Din,” kata Lepa, menyebut senior yang juga mentornya, mantan Kepala Unit Penelitan Malaria Eijkman (1994-2004) Syafruddin (59). Guru Besar Kedokteran Unhas ini hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk meneliti nyamuk dan parasit malaria. Bahkan, sekalipun saat ini menderita sejumlah penyakit, salah satunya diabetes, Syafruddin masih aktif di lapangan.
Selama 22 tahun, Syafruddin blusukan ke pelosok Indonesia demi berburu parasit malaria, penyakit yang menewaskan 600.000 orang di dunia per tahun itu. Selain mengumpulkan darah penderita malaria dan menelitinya, dalam beberapa kali kesempatan jalan bersama Syafruddin, dia biasanya membawa gayung untuk mengumpulkan jentik-jentik, seperti saat survei di area hidup Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas, Jambi pada Februari 2016 lalu.
Puluhan tulisan Syafruddin dan para peneliti Eijkman dipublikasikan di jurnal internasional. Beberapa rekomendasi mereka jadi rujukan pemerintah dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, Syafruddin menganggap tugas mereka jauh dari usai. ”Meski sebaran malaria di Indonesia turun, kita belum bisa menghilangkannya,” katanya, suatu ketika.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Peresmian Pusat Genom NasionalPeneliti melakukan riset di laboratorium Pusat Genom Nasional di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, setelah peresmian fasilitas tersebut, Kamis (26/4/2018). Pusat Genom Nasional tersebut dilengkapi dengan alat-lat sequens genetika terbaru yang menjadikan Indonesia memiliki laboratorium bertaraf internasional. Pusat Genom ini berfokus pada penelitian identifikasi penyakit infeksi maupun penyakit terkait genetik, pengembangan alat uji diagnostik dan vaksin serta penemuan obat baru untuk penyakit infeksi.KOMPAS/RIZA FATHONI
“Dulu DBD merupakan penyakit yang diabaikan di Indonesia. Padahal, penyakit ini sejak 1968 telah ditemukan di Surabaya dan Jakarta, namun data-data kita, terutama dari sisi molekuler sangat sedikit, kalaupun ada kajian justru oleh peneliti luar, hingga kemudian kita membangun lab dengue di Eijkman sekitar 2006,” kata Kepala Unit Penelitian Dengue Eijkman Tedjo Sasmono.
Melalui kajian bertahun-tahun, menurut Tedjo, genome virus dengue di sebagian darah mulai terpetakan. Namun, Menurut Tedjo, virus dengue dikenal canggih dan susah diatasi. Virus ini juga memiliki keberagaman serotipe dan karakteristiknya berbeda di tiap daerah.
“Tipe virus di Indonesia timur dan barat beda. Beda juga dengan di Singaprua yang cenderung homogen. Seperti manusia Indoensia, yang beragam genetiknya, demikian juga virusnya. Ini menyebabkan upaya untuk mengatasinya juga tidak mudah,” kata Tedjo, yang fokus kajiannya tentang virologi dengue dan molekuler nyamuk ini.
Virus dengue yang ada di Indonesia telah dipetakan ada empat jenis serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Tiap tipe memiliki subtipe atau strain hingga ratusan. Banyaknya variasi strain itu mempersulit upaya menemukan vaksin dengue terbaik. Orang yang kebal satu jenis virus dengue belum tentu kebal tipe lain.
Kajian yang dilakukan Tedjo dan tim juga menemukan, mayoritas orang dewasa yang tinggal di daerah endemik DBD bisa kebal penyakit itu karena pernah digigit nyamuk yang terinfeksi empat tipe virus itu. Namun, begitu nyamuk Aedes aegypti menggigit orang yang terinfeksi virus itu lalu menggigit orang lain yang belum terinfeksi, terutama anak-anak, penularan ke orang baru terjadi dan demikian seterusnya sehingga siklusnya berulang.
Tedjo yang telah menerbitkan lebih dari 30 tulisan di jurnal ilmiah inetrnasional tentang dengue ini merasa bahwa jalan untuk melawan nyamuk dan virus DBD masih panjang. Belum lagi, berbagai penyakit-penyakit baru yang dibawa nyamuk yang kini kembali muncul, seperti kaki gajah, chikungunya, hingga demam kuning.
“Untuk lab kami, tujuan besarnya mendapat data genom virus dengue di seluruh Indonesia. Ke depan ini akan berguna sebagai bekal penting dalam mempelajari penyakit ini, termasuk peluang mencari vaksinnya agar kita tidak hanya menjadi tempat sebagai penyedia sampel dan penguji sampel saja,” kata Tedjo.
Tedjo meyakini, imunisasi jadi salah satu peluang terbaik mengatasi virus DBD yang rata-rata menginfeksi 20 juta orang di lebih dari 100 negara di dunia tiap tahunnya. “Seperti penyakit polio yang juga disebabkan virus, bisa diatasi dengan vaksin. Masalahnya, virus dengue ini lain. Dia empat kali lebih kompleks dibanding polio misalnya, arena ada empat varian. Belum lagi vektor nyamuknya sendiri yang ternyata menyebar makin luas dan makin aktif seiring pemanasan global. Jadi, tantangan kita masih panjang,” kata dia.
Mengendalikan populasi
Perjuangan meneliti nyamuk pun dilakukan para periset di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Teknologi Nuklir Nasional. Beni Ernawan (34), peneliti Batan, lebih dari lima tahun meneliti spesies nyamuk Aedes aegypti, vektor atau penular demam berdarah dengue (DBD).
Di tengah sarana dan anggaran terbatas, ia berusaha menghasilkan nyamuk Aedes mandul untuk melawan DBD dengan teknik serangga mandul. “Saat nyamuk mandul dewasa dan mengawini nyamuk betina, telur dihasilkan tak bisa menetas. Populasi nyamuk penular dengue bisa turun,” ujarnya.
Untuk menghasilkan nyamuk mandul, saat masih berbentuk pupa perlu iradiasi. Pupa akan dipanen dengan petridish, cawan bentuk silinder. Pupa itu dimasukkan tabung iradiator untuk diradiasi.
Kini risetnya masuk fase percobaan demi memastikan efektivitas teknik nyamuk mandul. Sebelumnya, proses panjang riset dilalui Beni hingga mengenal betul proses pertumbuhan nyamuk, mulai dari proses nyamuk jantan dan betina kawin, bertelur, menetas jadi larva, lalu pupa dan jadi nyamuk dewasa.
Setiap hari, ia berkutat dengan nyamuk di laboratorium. Ia memastikan larva atau jentik nyamuk yang diteliti mendapat asupan cukup agar berkembang jadi nyamuk untuk riset. Di awal riset, ia memakai tangannya untuk asupan darah nyamuk betina yang tak membawa virus dengue.
“Was-was pasti. Saya kan meneliti spesies berbahaya bahkan paling mematikan di dunia. Di lain sisi, itu menyenangkan dan memotivasi saya. Bagaimana saya harus menyelesaikan riset ini untuk menolong banyak orang dan mewujudkan kemaslahatan masyarakat luas,” tuturnya.
Meski dukungan pemerintah dan sarana riset terbatas, Beni dan peneliti lain melanjutkan riset itu lewat dana hibah. “Indonesia membutuhkan riset dan teknologi untuk menuntaskan masalah DBD,” ujarnya.
Riset untuk menekan kasus DBD pun dilakukan tim peneliti di Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada dan Yayasan Tahija dengan wadah World Mosquito Program (WMP). Fokus utamanya, mencegah penularan virus dengue dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke nyamuk Aedes.
Pemimpin Proyek WMP Yogyakarta Adi Utarini memaparkan, riset itu berlangsung sejak 2011, di Yogyakarta. Pada 2014, tim WMP Yogyakarta mulai melepas nyamuk Aedes mengandung Wolbachia di sejumlah dusun di Kabupaten Sleman dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan diperluas area penelitian.
Di awal riset, sempat muncul penolakan dari sejumlah warga di Sleman yang khawatir dampak pelepasan nyamuk itu. Setelah mendapat sosialisasi, warga akhirnya mendukung program itu. “Kami belajar banyak waktu dulu ada masalah di Sleman,” ujarnya.
Berbagai riset itu jadi bagian jalan panjang mengatasi DBD dan penyakit lain yang ditularkan nyamuk. Apalagi, penyakit yang ditularkan nyamuk tidak hanya demam berdarah dengue. Ketika malaria cenderung menurun sebarannya di Indonesia, kini muncul beragam penyakit lain yang dibawa nyamuk, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD) yang disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Berbeda dengan nyamuk Anopheles yang menjadi vektor malaria yang banyak hidup di pedalaman, nyamuk Aedes dikenal sebagai nyamuk kota. Tak hanya menyebarkan virus DBD, belakangan nyamuk Aedes aegypti juga dikenal sebagai vektor bagi penyebaran virus zika.
Seperti diingatkan Bill Gates, miliuner pemilik Microsoft dan belakangan gencar mendanai riset tentang nyamuk, spesies serangga ini merupakan pembunuh paling mematikan di dunia, mengalahkan berbagai binatang buas. Misalnya, ular membunuh 50.000 manusia tiap tahun, serta rabies dari gigita anjing menewaskan 25.000 orang. Sementara harimau dan gajah masing-masing menewaskan 100 orang per tahun, dan badak 500 orang per tahun.
Kematian disebabkan perang atau pembunuhan oleh sesama manusia sekitar 475.000 orang per tahun. Adapun nyamuk, menurut Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebutkan, nyamuk menyebabkan kematian lebih dari satu juta orang setiap tahun. Untuk menghadapi pembunuh paling mematikan ini, kita berhutan kepada peneliti yang bekerja dalam sepi mempelajari kelemahan nyamuk dan berbagai penyakit yang dibawanya ini. (AHMAD ARIF/HARIS FIRDAUS/DEONISIA ARLINTA)
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 27 Februari 2019