Kiprah Nelson Tansu, Anak Medan yang Jadi Profesor Termuda Amerika

- Editor

Sabtu, 9 Agustus 2008

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bantu 10 Anak Tidak Mampu Raih Gelar Doktor

Tahun lalu Nelson Tansu kehilangan ayah-ibunya akibat perampokan di kampungnya, Medan, Sumatera Utara. Meski kecewa dengan penyidikan kasus orangtuanya, profesor termuda itu tetap setia berpaspor Indonesia.

NELSON Tansu -profesor Universitas Lehigh di Amerika- menjadi salah satu bintang di forum Asian Science Camp (ASC) 2008 yang kini diadakan di Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali. Terutama bagi puluhan pemenang olimpiade sains Indonesia yang menjadi peserta acara di sana. Maklum, saat duduk di SMA di Medan dulu, Tansu adalah finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tampil rapi dengan kemeja biru muda dipadu jas hitam, Tansu lebih mengesankan sebagai pebisnis muda. Terutama ketika berada di antara para profesor, termasuk para peraih Nobel, yang menjadi pembicara di ASC yang umumnya sudah tua. Saat ditemui Jawa Pos kemarin, gurat kelelahan terlihat di wajahnya karena dia mengisi acara sejak pagi. Namun, dia tetap bersemangat untuk masuk kelas dan mengikuti sesi berikutnya.

”Wait for a second (Tunggu sebentar),” ujarnya. Meski asli warga negara Indonesia (WNI), Tansu lebih senang menggunakan bahasa Inggris. ”Saya sekarang lebih banyak tinggal di Amerika. Tapi, masih sering mengunjungi Indonesia,” jelas pria kelahiran 20 Oktober 1977 itu.

Tansu, lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan 1995, adalah sosok yang patut dibanggakan. Saat usianya baru 25 tahun dia diangkat menjadi profesor di Lehigh University, sebuah universitas ternama di Negara Bagian Pennsylvania, Amerika.

”Persaingan mendapatkan posisi sebagai profesor di Amerika memang sangat ketat. Setiap satu lowongan, lebih dari 350 orang yang mendaftar,” katanya.

Sukses Tansu menjadi pengajar di Lehigh University dan dinobatkan sebagai profesor termuda di Amerika itu berkat didikan orang tua. Sebab, sejak kecil sang ayah, Iskandar Tansu, memompa semangat untuk meraih prestasi tertinggi.

Berkat gemblengan keras sang ayah, Tansu sejak kecil sering memenangi berbagai lomba dan kejuaraan. “Ayah saya seorang pekerja keras. Saya juga terbiasa melakukannya sejak muda hingga menjadi profesor seperti sekarang,” ungkapnya.

Kecuali spirit kerja keras, Tansu mengakui, sebetulnya tidak ada yang spesial dari pendidikan yang diberikan orang tuanya. Dia bermain dan belajar seperti kebanyakan anak-anak lain. “Bimbingan keluarga, orang tua, guru, dan sekolah itu penting, tapi yang lebih penting adalah usaha kita,” jelasnya.

Menurut Tansu, dirinya sering harus tidur larut malam untuk menyelesaikan tugas. Namun, dia mengaku tidak keberatan, karena menyukai apa yang dilakukannya. ”Yang terpenting, lakukan hal yang paling kamu sukai sehingga kamu pasti berhasil di dalamnya. Tentu saja ditambah dengan usaha yang keras,” katanya.

Sukses Tansu menjadi profesor di Lehigh University bukan kebetulan. Dunia sudah mengakui karya-karya ilmiahnya. Saat ini lebih dari 138 riset dan karya tulis yang telah dipublikasikan. Selain itu, dia menjadi pembicara aktif di berbagai seminar tentang sains dan pendidikan di seluruh dunia.

Meski berasal dari Indonesia dan masih mencintai negaranya, Tansu mengaku tidak punya rencana untuk menghabiskan masa tua di tanah air. ”Saya tidak punya rencana sejauh itu. Toh, 20 tahun lagi kita adalah citizen of the world, orang akan bebas tinggal di mana pun,” kata laki-laki yang baru tahun lalu mempersunting Adela Gozali Yose, gadis Medan, menjadi istrinya itu.

Sayang, tahun lalu (2007) pula Tansu mengalami masa yang kelam dalam sejarah hidupnya. Rumahnya dirampok dan ayah ibunya, Iskandar Tansu dan Auw Lie Min, dibunuh. ”Saat penyelidikan, kita mengalami masalah dengan penegak hukumnya,” ujarnya.

Modus perampokan dan pembunuhan itu memang sadis sehingga dua pelakunya divonis mati. Tansu tidak bersedia mengenang dan berbicara lebih lanjut tentang peristiwa traumatik yang menimpa dia dan dua saudaranya yang lain. Namun, pengalaman itu tidak mematikan rasa cintanya kepada Indonesia.

”Semua kenangan tetang masa kecil dan orang tua saya ada di sini. Saya tentu tidak bisa melupakan Indonesia,” kata doktor electrical engineering University of Wisconsin di Madison, Amerika, itu.

Sebagai bukti kecintaannya kepada Indonesia, Tansu kini menggalang dana untuk menyekolahkan anak tidak mampu tapi pandai yang ingin memperoleh gelar doktor (PhD). ”Untuk mendapatkan gelar tersebut kan susah, butuh banyak biaya untuk riset dan penelitian,” ujarnya.

Saat ini, lanjutnya, di antara 10 orang yang dibantunya, dua orang dari Indonesia. Dia berharap pada tahun-tahun yang akan datang lebih banyak lagi orang Indonesianya. “Di Amerika banyak yang mau memberikan bantuan dana untuk pendidikan dan saya bisa mencarikannya dengan mudah,” jelasnya.

Menurut Tansu, kegiatannya itu bukan semata karena peduli terhadap bangsa Indonesia, tapi juga karena kepeduliannya kepada pendidikan. “Sejak kecil saya ingin jadi pendidik di bidang sains dan engineering, sayangnya posisi ini di Indonesia kurang dihargai,” kata pengajar S-3 itu.

Dia tak setuju guru cuma dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena guru butuh uang makan. Gaji guru dan dosen yang rendah itulah yang menjadi salah satu penyebab banyak orang pintar yang lari ke luar negeri.

”Inilah yang menjadikan mutu pendidikan kita rendah. Guru-guru dengan gaji dan fasilitas pas-pasan tentunya tidak bisa memberikan pelayanan optimal karena harus mencari tambahan sampingan,” jelasnya.

Tansu mengharapkan pemerintah segera mengubah kebijakannya agar mutu pendidikan di Indonesia meningkat. ”Jika ada profesor yang kembali ke Indonesia ditawari jadi dosen atau anggota dewan, maka jawabannya pasti yang terakhir, it’s the reality,” jelasnya.

Selain itu, menurut pemikiran Tansu, Indonesia seharusnya mempunyai satu universitas yang bisa menjadi kebanggaan. ”Jika ada satu saja universitas di Indonesia yang setara dengan di AS, maka anak-anak kita yang pandai tidak akan lari ke luar negeri. Mereka akan memilih kuliah di negaranya sendiri,” ujarnya.

Tansu mengenang, akibat tak adanya perguruan tinggi kebanggaan itu, ayahnya, Iskandar Tansu, mendorong semua anaknya sekolah ke Amerika. Selain dia, abangnya, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, Amerika. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Kedua saudaranya itu tinggal di Indonesia. (el)

Sumber:  Jawa Pos, 9 Agustus 2008

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 135 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB