Pada 13 Juli 1913, saat berusia 24 tahun, Suwardi Suryaningrat, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, menulis artikel berjudul “Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda”. Tulisan itu dimuat di surat kabar De Express yang dikelola oleh Ernest Douwes Dekker.
Tulisan antara lain berbunyi, “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pestapesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya.” Isi tulisan ini menghunjam dada pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda memang hendak merayakan kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Tulisan Suwardi itu mengantarkan dirinya pada hukuman pengasingan. Bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, Suwardi diasingkan ke negeri Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama berada di pengasingan, Suwardi menyerap inspirasi menjalankan pendidikan dari sosok Maria Montessori (1870-1952) asal Italia dan Rabindranath Tagore (1861-1941) asal India. Montessori dikenal sebagai perempuan pendidik yang memberikan kebebasan pada anak untuk menentukan kegiatan dan mengatur acara harian. Montessori juga dikenal lewat pendidikannya terhadap anak-anak yang mengalami gangguan mental dan berhasil membawa mereka berprestasi.
Adapun Tagore menjadikan pendidikan sebagai jalan untuk meraih kemerdekaan. Ia lebih dikenal pula dalam berbagai pemikiran filsafat dan kesusastraan sehingga menjadi orang Asia pertama penerima Nobel Sastra pada 1913, tahun yang sama ketika Suwardi menulis artikel “Seandainya Aku Seorang Belanda”.
Sepulang dari Belanda pada 1919, Suwardi bergabung dengan sekolah binaan saudaranya. Baru pada 3 Juli 1922, Suwardi mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Pada tahun itu pula Suwardi berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Pelajar, guru, pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan masyarakat mengikuti upacara dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional 2016 di halaman Kantor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (2/6). Pada upacara tersebut, peserta mengenakan pakaian adat dari sejumlah daerah.
Ki Hadjar Dewantara merumuskan semboyan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang memiliki makna sebagai pemimpin ketika berada di depan harus memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Sekolah Tamansiswa bertujuan memberikan pendidikan bagi pribumi termasuk yang jelata. Ki Hadjar Dewantara terus berkiprah hingga setelah kemerdekaan Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Pengajaran Indonesia, 2 September-14 November 1945.
Ki Hadjar kemudian berkonsentrasi membesarkan Tamansiswa hingga akhir hayatnya, 26 April 1959, di Yogyakarta. Beberapa bulan kemudian, pada 28 November 1959, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Interpretasi
Bagaimana siswa sekarang melihat sosok Ki Hadjar Dewantara dan memaknai gagasan pendidikannya? Dalam penayangan film pendek mengenai Ki Hadjar Dewantara di Dinas Pendidikan DKI Jakarta, kemarin, dapat terlihat bagaimana siswa memaknai warisan pendiri Tamansiswa itu.
Sepuluh film pendek kreasi siswa SMA/SMK dari sejumlah daerah ditayangkan dalam lomba film pendek Ki Hadjar Dewantara. Sekolah-sekolah yang terlibat, yakni SMA Plus Taruna Andalan (Riau), SMK Taruna Bhakti (Depok), MAN Sigli (Aceh), SMK Tamansiswa (Kudus), SMK Kesehatan Bhakti Wiyata (Kediri), SMA Tamansiswa (Bekasi), SMK Plus Teratai Putih Global 4 (Bekasi), SMAN 15 (Bekasi), SMKN 48 (Jakarta), SMKN 45 (Jakarta), dan SMA Santa Ursula (Jakarta). Mereka terpilih dari 182 kelompok yang diseleksi sejak Oktober tahun lalu.
“Kami ingin mengajak anakanak dan guru-guru untuk menghidupkan lagi ajaran-ajarannya,” ujar Ketua Pelaksana Lomba Film Pendek Ki Hadjar Dewantara, Ki Tato Darmanto.
Dalam film berjudul Look At Me, karya SMK Kesehatan Bhakti Wiyata, dikisahkan sebuah sekolah yang memisahkan antara kelas berisikan murid berprestasi baik dan kelas berisikan murid biasa. Murid berprestasi baik belajar di ruangan yang bersih, berpenyejuk ruangan, dan dilengkapi proyektor Siswa peringkat bawah belajar di ruangan yang sempit, tanpa penyejuk udara.
Film ini hendak mengkritik kebijakan pada masa lalu yang memungkinkan pemisahan antara murid pintar di satu kelas tersendiri dan murid berperingkat bawah. Lewat film, siswa pembuatnya mengingatkan bahwa Ki Hadjar Dewantara tak pernah menginginkan pemisahan. Sebaliknya, Ki Hadjar Dewantara justru menginginkan pendidikan berlaku sama bagi semua.
“Sepuluh film ini dapat menghadirkan kembali sosok Ki Hadjar Dewantara, semangat, dan nilai-nilainya ajarannya,” ujar Ki Tato Darmanto. (NAW/C11)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2016, di halaman 11 dengan judul “Gagasannya Selalu Hidup”.