Meski telah empat tahun silam beliau kembali ke rahmatullah, sosoknya mewariskan mahakarya tak lekang zaman. Kamus Al-Munawwir menjadi bukti kristalisasi ilmu ulama yang lahir dari Krapyak ini: Almaghfurlah KH Ahmad Warson Munawwir.
Sebagaimana tercetak pada halaman sampul, adalah KH Ahmad Warson Munawwir, sang pengarang kamus. Beliau lahir pada Jum’at Pon, 22 Sya’ban 1353 Hijriyah tahun wawu.
Tidak ada bukti pasti mengenai tanggal kelahirannya di tahun masehi, namun menurut salah seorang santrinya, beliau lahir bertepatan dengan tanggal 30 Nopember 1934. Sudah menjadi tradisi, ayahnya, KH Muhammad Munawwir, memberikan nama putra putrinya sesuai dengan awalan tahun kelahiran dalam penanggalan kalender Jawa. Seperti Mbah Zainal, lahir di tahun zaa, Mbah Dalhar di tahun dal. Untuk itulah nama Mbah Warson yang berawalan Wawu dinisbatkan pada tahun kelahirannya yaitu tahun wawu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak pertama diterbitkan pada 1997, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir telah dicetak ulang sebanyak 22 kali. Kamus dengan sampul berwarna biru dongker itu sangat mudah dijumpai di pasaran. Pun di sejumlah lembaga pendidikan, tak jarang kamus tersebut digunakan sebagai pegangan utama para civitas academica dalam mencari arti kata bahasa Arab. Meski demikian, tak banyak orang mengenal siapa sosok di balik kemasyhuran kamus setebal 1591 halaman itu.
Putra kandung Mbah Munawwir dari jalur Nyai Sukis inilah yang telah menyelesaikan penyusunan kamus dalam waktu yang tidak singkat. Ada kerja keras dan pergulatan intelektual panjang yang menyertai proses penyelesaian kamus ini.
Sejak Mbah Munawwir wafat pada 1942, kepengasuhan Pondok Pesantren Krapyak diserahkan kepada menantu beliau, KH Ali Maksum. Kakak ipar inilah yang selanjutnya menjadi guru Mbah Warson. Bahkan semasa hidupnya, ulama yang lahir pada tahun 1934 ini tidak pernah nyantri ke guru selain Mbah Ali. Guru sekaligus kakak ipar yang akrab ia sapa ‘Kang Ali’ inilah yang mendampinginya menyelesaikan kamus Al-Munawwir.
Menurut penuturan KH Habib Syakur, santri alumni Pondok Pesantren Krapyak yang membantu penerbitan Kamus Al-Munawwir, kamus dicetak pertama kali pada 1976 masih dengan tulisan tangan dan baru sampai dengan huruf dzal. Sementara, santri alumni lainnya yang pernah menemani Mbah Warson mengungkapkan, kamus tersebut dirampungkan selama 15 tahun. Dengan asumsi bahwa kamus selesai ditulis pada 1975, maka bisa diperkirakan penulisannya telah dimulai sejak 1960 ketika almarhum berusia 26 tahun atau bahkan jauh sebelumnya.
Kamus Al-Munawwir ditulis Mbah Warson ditulis dalam bimbingan Mbah Ali. Tidak keliru apabila dalam kamus tertulis nama Mbah Ali sebagai pentashihnya. Selama penulisan kamus, Mbah Warson menggunakan metode setoran dalam memeriksakan naskah kamusnya kepada Mbah Ali. Setiap kali menyelesaikan beberapa halaman untuk kamusnya, beliau membawa naskah tersebut kepada Mbah Ali yang lantas memeriksanya sambil minta dipijit. Begitu seterusnya hingga kamus tersebut selesai dikerjakan.
Dalam menyusun kamus, Mbah Warson menggunakan berbagai kamus dan kitab sebagai referensi. Dengan ketekunannya tersebut Al-Munawwir pun berhasil menjadi kamus klasik dengan variasi kata yang kaya. Jika dalam halaman pendahuluan kamusnya Mbah Warson menuliskan harapannya agar Al-Munawwir dapat “membantu mereka yang bermaksud menggali mutiara-mutiara berharga dalam kitab-kitab berbahasa Arab”, maka dengan kualitas yang dimilikinya, kini, dengan tak kurang percaya diri bisa dikatakan tujuan itu telah berhasil dicapai.
Perjalanan Intelektual
Mbah Warson memiliki modal yang amat cukup untuk menyusun sebuah kamus. Sejak menjadi murid Mbah Ali, beliau telah mempunyai kecerdasan yang menonjol. Mbah Warson dikenal sebagai ahli di bidang ilmu alat yaitu nahwu, shorof, dan balaghoh.
Pada saat itu, dalam masa kepengasuhan Mbah Ali, mulai dirintis pengajian kitab yang terus berkembang hingga kini. Kepada Mbah Ali, Mbah Warson dan kakaknya KH Zainal Abidin Munawwir belajar. Melihat begitu pentingnya kaderisasi di pesantren, Mbah Ali pun berusaha semaksimal mungkin menggembleng santri, khususnya keduanya yang kelak akan meneruskan kepengasuhan di pesantren.
Salah satu metode belajar yang pernah dienyam Mbah Warson adalah dengan aktif mengikuti sorogan setiap hari. Sorogan diakui sebagai metode belajar efektif warisan KH Ali Maksum. Sorogan memacu santri untuk berusaha keras mempelajari isi kitab sendiri, baik dengan meminta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai, maupun menela’ah kitab yang sama dan sudah ada ma’nanya. Kemudian santri membaca kembali di hadapan guru dan menerangkan isi kitab di depannya.
Mbah Warson juga mengikuti sistem pendidikan madrasi atau klasikal. Dalam model ini, para santri belajar dengan duduk bersila di serambi masjid dan menulis di atas dampar. Sejak usia tujuh tahun, beliau sudah mulai menghafal bait Alfiyyah Ibnu ‘Aqil. Metode belajar Mbah Warson disesuaikan dengan sistem yang dibina Mbah Ali. Seperti yang dikisahkan KH. Munawwir AF, Mbah Ali mendidik Mbah Warson dengan keras namun tegas. Mbah Warson diikatkan pada kursi dan ditempatkan dalam suatu ruangan untuk menghafal bait Alfiyyah. Seringkali pula Mbah Ali memperdengarkan bait–bait Alfiyyah pada beliau dalam keadaan terikat di kursi.
Pendidikan yang nampaknya keras tersebut membuahkan hasil dengan hafalnya Mbah Warson bait Alfiyyah Ibnu ‘Aqil di usia sembilan tahun. Pada usia sebelas tahun, beliau mulai ikut serta mengajar di pesantren dengan rerata usia santri yang diajar lebih tua darinya.
Menjadi Guru Muda
Sebagai pengajar, Mbah Warson muda menjadi guru yang simpatik karena kecakapan dan keramahannya di mata para santrinya. Di usia belia, beliau telah memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengajarkan beberapa mata pelajaran. Di luar kelas pun, beliau menjadi kawan bermain yang egaliter bagi segenap santri.
Di Pondok Pesantren Krapyak kala itu, Mbah Warson mengampu mata pelajaran Nahwu, Shorof, dan Bahasa Inggris. Di samping itu, karena pengetahuannya yang luas, beliau juga mengajar Tarikh.
Mbah Warson dikenal sebagai guru yang sabar dan dapat menerangkan materi pelajaran penyampaian yang mudah dipahami. Seperti halnya diungkapkan oleh KH Munawwir A.F., alumni Pondok Pesantren Krapyak, “Saya masih ingat tentang materi isim mausul yang merupakan bagian tersulit namun beliau mampu menerangkan sehingga mudah dimengerti.”
Lantaran usia beliau yang masih sebaya dengan santri-santri yang diajarnya pada saat itu, di luar kelas Mbah Warson kerap kali mengajak para santri untuk bermain sepak bola dan badminton.
Kebiasaan ini tak pelak memperkokoh kultur demokratis di Krapyak. Tidak adanya jarak yang dibangun antara guru dan murid membuat para santri bebas bertanya untuk mengembangkan pemikirannya. Seperti halnya Mbah Ali, Mbah Warson senantiasa mengajarkan para santrinya untuk menjadi kritis. Kehangatan relasi guru-murid ini selanjutnya membentuk kedekatan emosional yang kental hingga membentuk hubungan persaudaraan di antara keduanya.
Selanjutnya atas prakarsa Mbah Ali, Mbah Warson diminta meneruskan kegiatan mengajarnya dengan mendirikan komplek pesantren khusus putri yang kemudian dibangun pada tahun 1989.
Mendirikan Komplek Putri
Komplek putri ini didirikan untuk para pelajar dan atau mahasiswi putri yang ingin mendalami ilmu agama sembari menimba ilmu di lembaga-lembaga pendidikan umum di Yogyakarta. Komplek Q, begitu namanya, berada kira – kira 250 m dari Al-Munawwir Pusat. Bangunannya berada diantara Komplek Nurussalam dan Komplek L.
Baik Komplek Q, Komplek Nurussalam maupun Komplek L merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Sebelum mendirikan komplek, Mbah Warson membuka pengaosan terbuka untuk takhosshus bagi setiap santri komplek manapun di rumahnya setiap hari, pukul 07.00 hingga pukul 11.00. Pelajaran yang dibahas adalah Pelajaran Bahasa Arab. Barulah pada awal pendirian, pengajian diadakan berbarengan dengan sistem komplek Q.
–KH Ahmad Warson Munawwir ketika masih muda, aktif di GEMUIS
Dua program yang dirintis di komplek Q, Madrasah Diniyyah dan Tahfidzul Qur’an. Madrasah diniyyah dibimbing langsung oleh beliau, sedangkan tahfidzul Qur’an oleh istrinya, Bu Nyai Hj. Husnul Khotimah. Beberapa kitab yang diajar Mbah Warson pada santri putrinya adalah Kitab Muhadzdzab, Tafsir Maraghi, Kifayatul Akhyaar, Hujjah Ahlus Sunnah wa al-jama’aah, dll.
Semakin lama komplek Q semakin banyak diminati. Kini jumlah santriwati Komplek Q tahun 2014 sebanyak 320 santriwati yang berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Komplek Q juga telah mencetak puluhan generasi hafidzoh Al-Qur’an baik bil-ghoib maupun bi an-nadzhri.
Sisi Lain
“Beliau adalah guru yang paling muda di antara sepuluh guru yang ada. Penampilannya parlente, dengan kemejanya selalu necis dan sepatu yang sangat mengkilap namun tetap tawaddlu. Di dalam kelas, beliau senang mengajar sambil jalan-jalan, di luar kelas, beliau gemar mengajak santri bermain sepak bola dan badminton,” kenang KH Ghazalie Masroeri, santri Krapyak periode 1954-1958 yang kini menjadi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU dan tinggal di Bintaro Jakarta Selatan.
Laiknya para kiai lainnya di Krapyak, Mbah Warson juga memiliki sikap yang sangat demokratis dan mendorong santri untuk kritis. Satu hal yang menjadi keuggulan Krapyak adalah model yang dikatakan KH Ghazalie sebagai “membaca kitab kuning yang inovatif”.
Setiap kali membaca kitab, santri diberi berbagai pertanyaan untuk mengembangkan pemikirannya. Baik Mbah Ali maupun Mbah Warson memang menginginkan santri untuk kritis. Maka tak heran kultur diskusi biasa terjadi di Krapyak.
Bahkan, menurut kesaksian KH Ghazalie, ada rutinitas menarik yang dibudayakan oleh Mbah Ali setiap ba’da subuh di pondok Krapyak. Setelah membaca asmaul husna, Mbah Ali mempersilakan santri untuk bertanya tentang materi apa saja. Kemudian santri di tingkat lebih atas diminta mencari jawaban dari pertanyaan tersebut untuk keesokan harinya dengan referensi kitab di luar yang telah diajarkan. Dengan demikian, Mbah Ali bermaksud mengajak santri untuk memperkaya rujukan kitab dengan memanfaatkan perpustakaan.
Para santri lulusan Krapyak pun dikenal terbiasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Berkenaan dengan hal ini, KH Ghazalie menuturkan sebuah anekdot yang menarik. Peristiwa itu terjadi ketika pada 2011 PBNU menggelar rapat pleno di Krapyak. Syahdan, terdapat seorang kiai yang mengkritik Ketua PBNU Kiai Said Aqil Siradj.
Beliau melontarkan kritikan dengan keras serta dibarengi luapan emosi. Menanggapi hal tersebut, alkisah, Kiai Aqil Siradj sempat berbisik, “Sayangnya beliau tidak pernah di Krapyak. Kalau di Krapyak pasti hasilnya berbeda.” Kalimah itu disambut senyum simpul KH Ghazalie.
Secara umum, Mbah Ali menyerahkan pelajaran kitab kepada duo kakak beradik Mbah Zainal dan Mbah Warson. Mbah Zainal mendapat bagian pemahaman isi kitab, sementara Mbah Warson sebagai ahli bahasa menangani pelajaran ilmu alat.
Kehebatan kakak beradik yang berguru secara total kepada Mbah Ali ini disalutkan oleh berbagai pihak. KH Ghazalie menyatakan, meski tak pernah belajar ke luar negeri, keduanya berhasil menjadi sosok yang sangat alim. KH Muchid pun menimpali, “Indahnya, para kiai Krapyak ini alim dengan belajar hanya dari Mbah Ali.”
Mbah Warson menulis kamus di dalam kamar pribadinya yang memang disediakan oleh Mbah Ali di rumah yang dulu ada di sebelah selatan kediaman Mbah Zaenal. Di sana, Mbah Warson muda, Mbah Zaenal muda, Mbah Nyai Hj. Sukis beserta para santri berada dalam satu komplek. Mbah Warson dan Mbah Zainal diberi kamar khusus, sementara para santri mendiami kamar-kamar yang berkapasitas 40 orang.
Mbah Nyai Sukis tidak pernah absen menyiapkan air minum setiap kali Mbah Warson menulis kamus. Mbah Warson menghabiskan banyak waktu untuk menulis di dalam kamarnya. Beliau menggunakan berbagai kamus dan kitab sebagai referensi yang kemudian kesimpulannya disarikan dalam selembar kertas. Begitulah rutinitas beliau lakukan sambil sesekali beristirahat.
Dengan segala kesibukannya dalam pesantren maupun organisasi, juga dalam penyusunan kamus, tidak membuat beliau lupa akan pendidikan keluarganya. Setelah menikah, Kiai Warson selalu meluangkan waktu untuk menyimak sorogan yang dibaca istrinya, Nyai Khusnul.
Selain istrinya, beliau juga nyimak sorogan saudara – saudaranya, seperti keponakannya, Nyai Hj. Duroh Nafisah, yang kini mengasuh Pondok Pesantren Putri Tahfidzu al-Qur’an Komplek Hindun. Dan keponakan iparnya, Nyai Hj. Luthfiyah, istri Drs. H. Jirjis, Pengasuh Komplek Gedung Putih.
Kepada putra putrinya pun beliau melakukan hal yang sama. Ketika M.Fairuz dan Qorry Aina masih SD, beliau menyuruh keduanya untuk membaca kitab di depan beliau. Kecerdasannya pun diwarisi putra putrinya. Putra sulungnya mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an dalam waktu 7 bulan.
Dan bersama bapaknya, ia berhasil menyusun kamus Al-Munawwir Indonesia – Arab. Putri bungsunya, Qorry Aina menghafal Al-Qur’an dengan cara mendengarkan rekaman ayat Al-Qur’an sambil menyetir mobil. Dan itu berlangsung hingga 2 tahun lamanya.
Kiai Warson merupakan sosok suami dan ayah penyayang. Saking sayang dan cintanya kepada istri dan anak, seringkali beliau bangun tengah malam saat putra putrinya yang masih dalam susuan merengek, untuk sekedar menggantikan popok atau menimang hingga mereka tidur lagi.
Jika istrinya bepergian dan Kiai tidak dapat menemani, maka beliau akan menghubunginya, menanyakan kabar dan keberadaan istrinya. Wujud perhatian dan kasih sayang pada anak-anaknya pun tampak ketika beliau tidak memperbolehkan keduanya untuk belajar mengendarai motor. Tapi beliau menyuruh keduanya untuk langsung belajar mengendarai mobil.
Mbah Warson bersama Mbah Zainal pernah memiliki usaha toko kelontong di sebuah kios di selatan Komplek L dan di bangunan yang kini menjadi Mushola Timur Komplek Q. Di sana, Mbah Warson menjual berbagai macam kebutuhan pokok seperti beras, kecap, hingga bawang merah. Meski Kiai Warson seorang aktivis politik dan organisasi, namun tidak terbesit sama sekali dalam keinginannya untuk menjadikan istri atau anak-anaknya ikut serta menjadi kader dalam organisasi atau partai yang beliau geluti. Malah beliau secara tegas tidak memperkenankan istri dan putra putrinya terjun dalam dunia organisasi atau dunia perpolitikan.
Pada 1970, tahun di saat Mbah Warson mempersunting Nyai Hj. Khusnul Khotimah, adalah tahun ketika beliau mulai merintis usaha makelar mobil. Beliau membeli mobil dan motor dari Jakarta, atau istilah jawanya kulakan, untuk kemudian dijual kembali. Bisnis makelar ini berlangsung hingga tahun 90-an.
Pada masa itu, menurut penuturan Bapak Suhadi, Ibu Nyai Khusnul membeli mobil colt yang selanjutnya dioperasikan sebagai kol kampus. Kendaraan umum tersebut menjadi modal transportasi masyarakat yang saat itu kepemilikannya belum dikelola secara kooperatif seperti saat ini. Konon, karena rute semua angkutan tersebut yang selalu menuju ke arah UGM, maka disebutlah kendaraan itu sebagai kol kampus.
Setelah lama menekuni proses penyusunan kamus yang dilakukan Mbah Warson sambil duduk, beliau kemudian terjangkit penyakit ambeien. Menurut dokter ahli, itu disebabkan terlalu sering dan lama duduk. Namun itu tidak begitu berpengaruh pada kehidupan sehari-harinya.
Beliau tetap beraktivitas seperti hari-hari biasanya. Barulah setelah beliau jatuh saat tidur pada tahun 2012, beliau mulai mengalami sakit. Semenjak itulah, aktivitas beliau di luar dihentikan. Beliau tidak lagi ikut serta dalam perkumpulan organisasi politik, tidak juga di perkumpulan organisasi keagamaan.
Menurut penuturan menantunya, H.Kholid Rozaq, beliau sempat alami gejala stroke, punya keluhan penyakit jantung dan hipertensi. Tahun 2006, beliau pernah terkena serangan jantung, dan kembali terkena keram pada jantungnya beberapa saat sebelum beliau kemudian wafat pukul 06.00 WIB hari Kamis, 8 Jumadil Akhir 1434 H/18 April 2013.
Dikisahkan oleh Nyai Khusnul, beberapa hari sebelum wafat, Mbah Warson bercerita padanya bahwa beliau mimpi bertemu dengan kakaknya, almarhum Kiai Ali. Dalam mimpinya, Kang Ali, begitu ungkapnya, mengajak beliau ikut dengannya. Bagaimana tidak, sebagai wujud takzim pada gurunya, beliau mengiyakan untuk ikut.
Kini Mbah Warson telah berkumpul bersama para pendahulu, leluhur serta guru-guru. Generasi berganti namun perjuangan tak berhenti. Begitu banyak teladan dan peninggalan yang Mbah Warson wariskan. Beliau tentu menjadi saudagar yang bergelimang pahala di akhirat, berdasarkan hadits Rasulullah ini;
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh.” (HR. Muslim).
Jariyah beliau kepada pesantren dan masyarakat tak diragukan. Kegigihan beliau dalam mendidik umat adalah bentuk pemanfaatan ilmu yang sangat berharga. Dan doa keluarga, putra-putri, serta para santri tentu akan terus menderas dipanjatkan bagi kesejahteraan beliau di alam baka. [] (Fahma Amirotulhaq & Khalimatu Nisa)
Sumber: Majalah ALMUNAWWIR VI/2015, Februari 16, 2017