Tragedi dunia berupa pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa bumi telah mencari jalan sendiri. Virus korona baru yang diyakini sebagai buah kerusakan alam ini merupakan sinyal agar manusia lebih bersahabat dengan alam.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, beberapa saat sebelum pelaksanaan Earth Hour, Sabtu (30/3/2019) malam. Earth Hour 2019 di Jakarta berlangsung selama satu jam mulai dari pukul 20.30 WIB hingga 21.30 WIB sebagai gerakan global hemat energi.
Tak seperti momen perayaan 11 tahun berturut-turut sebelumnya, perayaan Hari Bumi atau Earth Hour tahun 2020 pada Sabtu (28/3/2020) di Indonesia dan lebih dari 180 negara di dunia jauh dari gegap gempita. Ritual kampanye tahunan mematikan lampu atau listrik selama sejam untuk memberi kesadaran hemat energi dan memberi waktu bagi bumi sedikit bernapas kini berlangsung ”senyap”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak ada lagi acara pentas artis di panggung terbuka ataupun pawai yang menyedot kerumunan ribuan orang seperti yang diadakan tahun-tahun lalu. Meski demikian, ritual mematikan lampu selama sejam pada pukul 20.30-21.30 tetap dijalankan di sejumlah ikon kota.
Untuk menyemarakkannya, pegiat Hari Bumi Indonesia yang dimotori WWF Indonesia tak hilang akal dalam menyuarakan kampanye ini. Meski hanya memilih media sosial Instagram untuk menampilkan secara langsung (live) laporan-laporan dari 33 daerah yang berpartisipasi di Indonesia, kegiatan tersebut malah terasa lebih interaktif.
Ya, kehadiran penyakit Covid-19 telah mengubah ritual Hari Bumi. Kegiatan yang biasanya dihadiri secara langsung oleh anak-anak muda, artis, aktivis, relawan, dan pejabat publik di seluruh dunia tersebut kemarin hanya terdengar ramai di media sosial
Perayaan Hari Bumi di Australia serta sejumlah negara lain pun memilih hal serupa meski dengan pilihan kanal media sosial yang lebih jamak. Media sosial dipilih untuk menyiasati agar kampanye tetap berjalan di tengah imbauan dan ajakan pemerintah menghindari kegiatan berkerumun demi mencegah penularan virus SARS-CoV-2 atau korona baru, penyebab penyakit Covid-19.
Catatan www.worldometers.info/coronavirus/, 1 April 2020, menunjukkan, ada 43.269 penduduk dunia yang meninggal akibat penyakit ini dan 872.696 kasus positif Covid-19. Di Indonesia, data www.covid19.go.id, pada 1 April 2020, melaporkan, terdapat 157 orang meninggal dan 1.677 kasus positif Covid-19.
Entah diprediksi atau tidak, strategi untuk mencegah penularan penyakit ini telah mengubah bumi secara drastis. Pola kerja dari rumah atau studi dari rumah, contohnya, telah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang menimbulkan polusi dan kemacetan di jalanan. Jalanan di seluruh kota dan pusat-pusat aktivitas perekonomian yang setiap hari macet parah tiba-tiba lengang, baik di Indonesia maupun dunia. Ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Kekhawatiran akan penularan ini pun juga berdampak pada berkurangnya aktivitas kerja di gedung-gedung perkantoran. Listrik yang dibutuhkan untuk menghidupkan lampu, komputer, alat fotokopi, dan pemanas air tak lagi digunakan. Air bersih beserta pengolahan air limbah yang biasanya dihasilkan para karyawan kini sangat minimalis.
Cerita seorang kawan yang bekerja di industri otomotif dengan 20.000 pekerja, kini pabrik itu hanya mempekerjakan separuhnya dengan sistem bergantian (shift). Langkah ini untuk mencegah penularan virus korona baru. ”Kalau satu buruh saja positif korona, selesai kami,” katanya.
Industri jasa transportasi udara pun langsung terdampak. Jumlah penumpang yang menurun drastis membuat sejumlah maskapai memilih memarkirkan pesawatnya di hanggar. Demikian pula dengan industri jasa perhotelan dan wisata yang tak berkutik menghadapi sepinya pengunjung.
Virus korona baru yang berukuran 0,12 mikron tersebut telah memaksa negara mana pun memperlambat laju ekonomi dan industri. Selama ini, laju pertumbuhan ekonomi dunia yang masih ditopang energi berbahan bakar fosil, terutama batubara dan minyak bumi, berkonsekuensi pada penurunan emisi gas rumah kaca yang menimbulkan krisis iklim.
REUTERS/MANUEL SILVESTRI–Pemandangan Grand Kanal di Venesia, Italia, yang kosong tanpa pengunjung dan aktivitas warga, Senin (9/3/2020).
Polusi udara berkurang
Perlambatan aktivitas di seluruh dunia ini membawa perubahan bagi bumi. Hasil riset Columbia University, yang diangkat BBC 19 Maret 2020, menunjukkan, polusi udara di Kota New York Amerika Serikat turun hingga 50 persen dibandingkan periode sama tahun 2019. Pada situs www.carbonbrief.org, dilaporkan, emisi gas rumah kaca di China turun 25 persen pada awal tahun saat warga setempat diinstruksikan tetap di rumah yang berimbas pada lesunya pabrik sehingga penggunaan batubara turun 40 persen pada enam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dibandingkan kuarter terakhir 2019.
Di Eropa, European Environment Agency, 25 Maret 2020, juga merilis informasi serupa. Emisi nitrogen dioksida yang biasa dihasilkan dari sektor transportasi jauh menurun pada kota-kota yang mengalami karantina ataupun sedang melawan penyebaran virus ini.
Di Milan, rata-rata konsentrasi NO2 pada empat pekan terakhir lebih rendah 24 persen dibandingkan empat pekan terakhir pada awal tahun. Tren serupa terjadi di kota-kota lain yang menjalani karantina pada periode 16-22 Maret 2020. Barcelona mengalami penurunan rata-rata emisi NO2 turun 55 persen dibandingkan periode sama pada tahun lalu, Madrid 41 persen, dan Lisabon 51 persen.
Penurunan polusi emisi gas rumah kaca akibat pandemi ini bukanlah yang pertama kali. Menurut Julia Pongratz, Guru Besar pada Department of Geography di University of Munich, Jerman, menunjukkan dampak ikutan serupa saat wabah pes mematikan atau dikenal dengan peristiwa Black Death di Eropa pada abad ke-14 serta penyakit smallpox yang dibawa ke Amerika Selatan saat kedatangan Spanyol pada abad ke-16. Kedua peristiwa tersebut meninggalkan jejak penurunan emisi CO2 yang ditemukan Pongratz pada gelembung kecil yang terperangkap pada lapisan inti es tua.
Saat ini, konsentrasi emisi gas rumah kaca sudah sangat parah dan mendesak untuk diturunkan. Ambang batas konsentrasi CO2—salah satu jenis emisi gas rumah kaca yang menjadi faktor penghitungan dalam berbagai pengukuran karbon—sejak 2015 telah melewati 400 ppm dan mencapai 407,8 ppm (Organisasi Meteorologi Dunia/WMO, 2018).
Atmosfer bumi yang telah kepayahan ini menuntut setiap negara mengurangi emisi masing-masing secara bersama-sama. Namun, komitmen yang disampaikan secara formal oleh banyak pemerintahan melalui dokumen NDC belum mampu mengurangi penghangatan suhu global kurang dari 2 derajat celsius, alih-alih 1,5 derajat celsius seperti disarankan para ahli.
Penurunan emisi akibat pandemi Covid-19 yang terjadi di sejumlah kota saat ini pun diprediksi tak akan berlangsung lama. Dalam sekejap setelah manusia mampu keluar dari pandemi ini, emisi akan kembali dilepas secara jor-joran untuk mengejar dan membalikkan kondisi ekonomi yang kini terseok-seok.
Apa pun itu, tragedi dunia berupa pandemi Covid-19 ini menunjukkan bahwa bumi telah mencari jalan sendiri ketika perwakilan manusia, yaitu remaja Gretta Thunberg asal Swedia yang bersuara lantang akan krisis perubahan iklim agar dihadapi dengan tindakan nyata, hanya dianggap lalu oleh para pemimpin negara dalam UNFCCC.
Virus korona baru yang diyakini sebagai buah kerusakan alam ini merupakan sinyal agar manusia dengan segala kecerdasan dan akal budi memulai belajar dan menerapkan langkah baru pada era kehidupan yang lebih bersahabat dengan alam. Jangan sampai satu-satunya planet yang memiliki kehidupan ini kembali memaksa haknya untuk bernapas dengan pandemi atau respons alam yang lebih parah.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 2 April 2020