Dalam berbagai diskusi soal ketenagalistrikan, terutama program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kerap mendahului diskusi dengan pernyataan: Ini bukan soal sanggup atau tidak sanggup, tetapi soal keharusan. Dirinya juga menyadari apabila banyak kalangan yang sangsi bahwa program pembangunan itu bisa terealisasi tepat waktu.
jitet
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 di sektor energi, pemerintah mempunyai rencana yang terbilang ambisius, membangun pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mendapat mandat sebesar 10.000 MW dan sektor swasta sebesar 25.000 MW. Megaproyek ini diperkirakan membutuhkan investasi senilai hampir Rp 1.000 triliun.
Sudirman Said sadar sepenuhnya bahwa mereka yang ragu program ini dapat terwujud adalah mereka yang berkaca pada pengalaman program percepatan pembangunan pembangkit listrik (FTP) tahap I dan II yang dimulai sejak 2004. FTP I dan II masing-masing “hanya” berkapasitas 10.000 MW. Hingga kini, FTP I baru rampung sekitar 75 persen dan jangan ditanya kemajuan FTP II, baru seuprit’, kata anak muda sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimana program 35.000 MW bisa tepat waktu jika yang 10.000 MW saja dalam 10 tahun tak bisa tuntas? Logis sekali pertanyaan itu karena pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW harus selesai pada 2019 alias butuh waktu lima tahun dari sekarang. Ini ibarat misi yang-hampir-mustahil.
Sudirman lantas mengidentifikasi berbagai kendala yang menyebabkan program ketenagalistrikan kerap tersendat. Salah satunya dan yang paling sering menjadi penyebab adalah pembebasan lahan. Dari pengalaman, perlu waktu bertahun-tahun untuk pembebasan lahan yang menjadi lokasi pembangkit atau tiang transmisi/distribusi.
Masalah lain, lanjut Sudirman, adalah persoalan perizinan yang berbelit-belit. Serupa dengan proses pembebasan lahan, mengurus perizinan dari pusat sampai di daerah juga butuh waktu bertahun-tahun. Yang lain adalah persoalan penunjukan dan pemilihan kontraktor, serta kinerja kontraktor banyak yang tidak bonafide.
Sejauh ini, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah strategis untuk memecah the bottle necking (kebuntuan) yang akan dihadapi di lapangan. Soal pembebasan lahan, pemerintah akan menerapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tim khusus juga dibentuk untuk melakukan uji tuntas bagi calon kontraktor. Urusan perizinan diringkas dari 52 izin menjadi 18 izin dengan model satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Sudirman mengingatkan, program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW tersebut bukan semata-mata dipikul Kementerian ESDM dan PLN. Agar terwujud, perlu dukungan banyak pihak, mulai dari pusat sampai daerah, termasuk masyarakat, serta tentu saja peran swasta.
Pemerintah harus gencar berkampanye pentingnya penambahan kapasitas listrik untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi. Apalagi, pada 2019, rasio elektrifikasi yang mau dicapai sebesar 99 persen dari sekarang ini yang baru sekitar 85 persen.
Program ini memang bukan dongeng rakyat tentang Raden Bandung Bondowoso yang harus membangun 1.000 candi dalam semalam demi melamar Roro Jonggrang untuk dijadikan istri. Jika Bandung Bondowoso perlu bantuan pasukan dari “alam lain” untuk membangun candi dalam semalam, dibutuhkan keterlibatan dan dukungan penuh banyak pihak agar seluruh proses membangun listrik 35.000 MW bisa tuntas tepat waktu.
Berkaca dari yang sudah-sudah, tidak mudah membangun pembangkit listrik 35.000 MW dalam kurun waktu lima tahun. Namun, apabila tidak dimulai sekarang, sampai kapan Indonesia akan byarpet terus? (Aris Prasetyo)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2015, di halaman 17 dengan judul “(Bukan) Misi Mustahil”.