Regulasi gambut
Tekad pemerintah memacu investasi untuk pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi kemiskinan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan seakan tinggal slogan. Kehadiran Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut justru dapat mematikan investasi senilai Rp 240 triliun dan membuat 640.000 pekerja menganggur.
Bagaimana mungkin pemerintah bisa membuat kebijakan berdalih melindungi ekosistem gambut yang secara bersamaan justru memicu kemiskinan karena mematikan perekonomian rakyat? Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat sebelum memutuskan regulasi yang mengerdilkan potensi memanfaatkan lahan gambut, seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PPEG) mematikan investasi perkebunan kelapa sawit senilai Rp 136 triliun di lahan gambut seluas 1,7 juta hektar. Devisa ekspor senilai Rp 103,2 triliun akan menguap ditambah sedikitnya 340.000 pekerja langsung sektor perkebunan, selain pekerja pabrik dan kontraktor pemasok, bakal menganggur begitu PP PPEG berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Moratorium ini juga membuat Indonesia kehilangan potensi penanaman modal kelapa sawit sebesar Rp 240 triliun dengan peluang devisa ekspor Rp 144 triliun per tahun lenyap begitu saja. Padahal, investasi baru perkebunan kelapa sawit yang lestari tersebut dapat menyerap 400.000 pekerja langsung dan 300.000 petani plasma yang dibina intensif oleh perusahaan.
Hal serupa juga menimpa sektor kehutanan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyatakan, PP PPEG juga mematikan investasi hutan tanaman industri (HTI) senilai Rp 100 triliun dan sedikitnya 300.000 pekerja terancam menganggur. Aturan ini jelas-jelas dapat mematikan industri hulu kehutanan. Implementasi PP PPEG akan membuat investasi HTI yang aktif anjlok menjadi 27 persen.
Padahal, kelapa sawit paling efisien karena kebun seluas 1 hektar mampu menghasilkan minyak nabati setara 10 hektar lahan pertanian kedelai. Demikian pula pohon akasia yang ditanam HTI dan bisa dipanen enam kali lebih cepat daripada raksasa bubur kertas dunia di negara-negara Skandinavia. Realitas ini membuat Indonesia mampu mengekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) 21,2 miliar dollar AS atau Rp 254,4 triliun, karet alam sekitar Rp 100 triliun, serta bubur kertas dan kertas Rp 20 triliun.
Dunia usaha tersentak menyaksikan pemerintah membahas, menyusun, dan menerbitkan PP PPEG dengan kacamata kuda. Tudingan bahwa investor adalah dalang kerusakan di lahan gambut sehingga tidak perlu dilibatkan menunjukkan proses penyusunan PP PPEG yang timpang.
Sesuai data Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), baru 6 juta hektar dari 14 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang dimanfaatkan untuk permukiman, pertanian, kehutanan, dan transmigrasi. Artinya, PP PPEG juga dapat menghentikan segala aktivitas masyarakat, terutama transmigran, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyat di lahan gambut.
Sudah sepatutnya pemerintah lebih bijaksana dan seimbang menerbitkan aturan. Dunia usaha pun sadar, tanpa lingkungan yang lestari, harta benda yang ada bisa sirna ditelan bencana. Marilah membangun ekonomi dalam keseimbangan alam yang lestari demi masa depan rakyat yang sejahtera. (HAMZIRWAN)
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2014