CATATAN IPTEK
Dibandingkan makhluk hidup lain, pertumbuhan fisik manusia dari bayi menuju dewasa tergolong sangat lambat. Seekor tukik, begitu menetas bisa langsung berjalan dan kemudian berenang di lautan. Demikian halnya, seekor anak sapi, kambing, atau kuda, hanya butuh beberapa detik setelah dilahirkan untuk bisa berjalan dan melompat-lompat.
Bahkan, dibandingkan kerabat dekatnya, sejenis pimata, pertumbuhan bayi manusia rata-rata dua kali lebih lambat. Butuh waktu setidaknya satu tahun sejak lahir, seorang bayi manusia untuk bisa berjalan dan belajar bicara.
Setiap bayi sebenarnya dilahirkan prematur, dalam artian banyak organ vitalnya masih belum sempurna. Mata bayi baru lahir belum bisa melihat sempurna, pergerakan fisik pun sangat terbatas, demikian halnya sistem pencernaannya. Namun, terutama yang masih belum sepenuhnya berkembang adalah otaknya. Tengkorak kepalanya pun masih lentur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika menunggu hingga seluruh tubuhnya berfungsi cukup baik, janin sebetulanya butuh waktu ideal dalam kandungan antara 18 – 21 bulan (Kate Wong, Scientific American, 2012). Namun, dengan umur kandungan seperti itu, hampir tak ada perempuan yang bisa melahirkan karena besarnya volume otak dan kerasnya kepala bayi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Kemacetan arus lalu lintas terjadi di Jalan Raya Solo-Semarang, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (17/6/2018) siang. Selain warga yang bersilaturahim dengan sanak saudara dan berwisata, kepadatan arus lalu lintas menuju Semarang itu juga dipadati pemudik.
Dibandingkan makhluk hidup lain, manusia meupakan spesies yang memiliki volume otak paling besar. Volume otak manusia modern (Homo sapiens) rata-rata 1.200 mili liter (ml) atau lebih besar, sedangkan primata lain seperti simpanse hanya 400 ml dan gorila 500 -700 ml.
Otak bayi manusia baru lahir memiliki volume rata-rata hanya 30 persen dibandingkan lelaki dewasa. Penambahan volume otak bayi hingga dua kali lipat terutama terjadi di tahun pertama setelah kelahirannya.
Jelas bahwa, proses kelahiran manusia yang prematur ini terkait erat dengan evolusi biologis. Namun, kondisi ini juga menjadi dasar penting bagi penempaan manusia sebagai makhluk sosial yang kemudian membedakannya dengan organisme lain.
Bayi tak berdaya dan bergantung kepada manusia yang lebih tua selama bertahun-tahun demi memperoleh pangan, perlindungan, dan terutama pengetahuan. Tak cukup dari kedua orang tuanya, untuk berkembang, seorang anak juga butuh dukungan dari anggota keluarga lain dan komunitasnya.
Karena keluar dari rahim dalam fase belum berkembang sempurna, manusia ibarat tanah liat yang masih bisa ditempa menjadi aneka rupa. “Manusia bisa dipelintir, direntangkan, dan dibentuk dengan derajat kebebasan yang mengejutkan. Inilah mengapa kini kita bisa mendidik anak-anak kita untuk menjadi penganut Kristen atau agama Budha, kapitalis atau sosialis, suka berperang atau cinta damai,” tulis Yuval Noah Harari (Sapiens, 2014).
Ketergantungan bayi terhadap orang dewasa, terutama kedua orang tuanya ini, menjadi kunci penting bagi perkembangan akal budi yang melahirkan kesadaran manusia. Menurut Richard Leakey dalam buku klasiknya, The Origin of Humankind (1994), kesadaran manusia ini merupakan fase ketiga dari revolusi besar yang pernah terjadi di Bumi.
Revolusi pertama adalah asal-usul kehidupan itu sendiri, suatu masa sebelum 3,5 miliar tahun lalu ketika jasad renik muncul dari suatu dunia yang sebelumnya hanya berupa unsur kimia dan fisika. Revolusi kedua menandai kelahiran organisme multi-sel sekitar setengah miliar tahun lalu. Kala itu, tumbuhan dan hewan telah muncul dalam bentuk yang kompleks dan beradaptasi dengan berbagai kondisi ekosistem.
“Asal-usul kesadaran manusia terjadi sekitar 2,5 juta tahun terakhir, ketika kehidupan menjadi sadar pada dirinya sendiri, dan mulai mengubah alam demi kepentingannya sendiri,” sebut Leakey.
Masih butuh ratusan ribu tahun sehingga kesadaran dari berbagai manusia arkaik, mulai dari Homo Australopithecus, Homo Erectus, hingga Homo Neanderthalensis menjadi kesadaran Homo sapiens. Para ilmuwan bersepakat bahwa nenek moyang Homo sapiens (manusia modern) muncul sekitar 150.000 tahun lalu di di Afrika Timur dan secara bertahap menyebar ke seluruh penjuru Bumi dengan berbagai variasi fisik dan etnis.
Namun, di antara beragam variasi ini, manusia sama-sama memiliki “kesadaran” yang membuatnya merasa sebagai makhluk istimewa yang berbeda dengan segenap organisme lain di muka Bumi. Akal budi, yang kemunculannya dalam evolusi manusia masih menjadi misteri, merupakan sumber rasa diri (self) ini–suatu rasa yang terkadang bersifat pribadi, namun terkadang dibagi dengan orang lain.
Akal budi ini juga menjadi perangkat untuk menjangkau dunia di luar benda-benda materi sehari-hari. Dialah yang melahirkan imajinasi, dan berikutnya mengubah dunia abstrak menjadi kenyataan atau sebaliknya. Imajinasi akal budi yang melahirkan gagasan mengenai pentingnya menjaga relasi sosial.
Akal budi pula yang melahirkan dorongan untuk melakukan mudik, yaitu perjalanan panjang yang dikenal di banyak peradaban modern, misalnya di Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri, juga di Tiongkok menjelang Tahun Baru Imlek, atau di Amerika menjelang Thanksgiving.
Sesungguhnya aneka jenis binatang juga mengenal mudik, namun pendorong utama perjalanan mereka yang kadang bisa ratusan kilometer itu lebih didorong untuk mencari makanan. Hanya manusia yang rela berhari-hari di perjalanan atau menempuh ribuan kilometer untuk menyapa orang tua atau saudara yang telah merawat dan mendidik mereka merasa semasa kecil. Jadi, selamat mudik dan kembali ke dunia nyata!–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 20 Juni 2018