Kesabaran didefinisikan para psikolog sebagai daya tahan ketika berada dalam tekanan, kegigihan menolak provokasi, dan kemampuan untuk tetap tenang dalam situasi apa pun. Kesabaran bukan kepasifan atau tidak tegas. Orang dengan tingkat spiritualitas tinggi, umumnya memiliki tingkat kesabaran tinggi pula (Schnitker dan Emmons, 2007).
Situasi diri seperti itu tak mudah dicapai. Dalam Human, All Too Human (e-book, terjemahan Harvey, 2011), Nietszche mencontohkan, pada masa lalu pertarungan terjadi kalau para pihak tak bisa lagi menunggu.
Pada perspektif agama-agama Samawi, kesabaran adalah keutamaan. Dalam Buddhisme, kesabaran adalah salah satu wujud kesempurnaan. Dalam Hindu, konsep kesabaran merefleksikan kondisi jiwa, pikiran, dan tubuh seseorang, yang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan trust. Menurut agama-agama tua, orang yang menguasai diri, yang memenangi pertarungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesabaran, kemampuan menguasai diri dari tuntutan ego, dan standar moral tinggi membuat pemimpin, meski ditekan, masih bisa bertindak dan membuat keputusan benar (Joosten, 2013).
Membongkar akar
Berbagai riset psikologi membuktikan, pencapaian pada dasarnya tergantung kesabaran. Menurut filsuf Simon Weil (1909-1943), kearifan muncul setelah penantian panjang disertai perhatian penuh pada subyek/individu yang ingin kita pahami.
Dalam Patience: How We Wait Upon the World (1997), David Bailey Harned menulis, di Barat, kesabaran kian ditinggalkan sejak Revolusi Industri. Kehendak untuk menunggu pudar, ketika manusia makin menguasai alam. Orang mau serba cepat dan kemajuan teknologi diyakini mampu memenuhi harapan itu. Frustrasi karena menunggu dianggap kesalahan fungsi teknologi. Kesabaran dipandang reaksi kekanak-kanakan dan ”ciut nyali”.
Padahal, hidup dipenuhi penantian. Meyakini teknologi bisa menghapus penantian dari kamus kehidupan adalah takabur. Kesabaran menunggu mengajari manusia rendah hati dan mengakui, mereka tak bisa mengontrol semua hal dalam hidup.
Ketidaksabaran, termasuk ketidakmampuan menahan amarah, dalam telaah apa pun, mampu mengacaukan akal sehat. Dalam amarah, teman terbaik pun akan terlihat dingin, berjarak, kaku, dan menjengkelkan (Dalai Lama, 2003).
Meski demikian, kemarahan dianggap pengalaman normal. Pada bayi, menangis bisa menjadi ekspresi kemarahan (dan ketakutan); suatu bentuk pertahanan diri dari rasa lapar, haus, tak nyaman, dan meminta perhatian. Namun, manusia dewasa bukan bayi. Menganggap ketidakmampuan menahan amarah sebagai bukan masalah adalah masalah.
Kemarahan terpendam sangat berbahaya karena bisa mewujud dalam berbagai kekerasan terhadap orang terdekat sampai masyarakat luas, atau menunjam ke dalam, menjadi penyakit.
Kesabaran bukan oposisi biner dari kemarahan. Kesabaran adalah nilai dan karakter keutamaan yang harus dilatih, dirawat, dan diasah. Kemarahan adalah reaksi wajar, kalau menyadari waktu yang tepat untuk mengontrol, meredam, membuang, dan mengekspresikannya, secara pas, sakmadyo, tanpa kekerasan. Nah, menurut filsuf Aristoteles, itu sulit dilakukan….
Oleh: Maria Hartiningsih
Sumber: Kompas, 30 Juli 2014