Meski dampak kesehatan dan ekonomi dari rokok sangat besar, upaya nyata negara untuk mengendalikan tembakau di Indonesia sangat kurang. Kuatnya lobi industri rokok ke pemerintahan dan parlemen membuat berbagai aturan untuk membatasi peredaran rokok sulit diwujudkan dan ditegakkan.
Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Soewarta Kosen, mengatakan, kerugian total akibat konsumsi rokok selama 2013 mencapai Rp 378,75 triliun. Jumlah itu berasal dari kerugian akibat membeli rokok Rp 138 triliun, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas dan kematian prematur di usia muda sebesar Rp 235,4 triliun, dan biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau sebanyak Rp 5,35 triliun.
“Jumlah itu adalah 3,7 kali lebih besar dibanding cukai tembakau yang diperoleh negara pada tahun yang sama sebesar Rp 103,02 triliun,” kata Soewarta, Kamis (17/12) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, epidemi penggunaan tembakau sedang terjadi di Indonesia. Kondisi itu meningkatkan risiko peningkatan kasus penyakit tidak menular, terutama stroke, serangan jantung, hingga kanker paru-paru. Kondisi itu akan memperparah kondisi perekonomian keluarga mengingat kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah adalah kelompok terbesar pengonsumsi rokok.
Pada 2013, jumlah perokok di Indonesia mencapai 65 juta orang atau 28 persen penduduk Indonesia. Jumlah itu dipastikan akan terus naik mengingat meningkatnya pendapatan keluarga Indonesia, jumlah penduduk yang terus bertambah, harga rokok yang murah, serta ekspansifnya industri rokok menyasar anak muda sebagai perokok baru.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 menunjukkan, 20 persen anak usia 13-15 tahun atau usia sekolah menengah pertama sudah merokok. Meski sekolah dinyatakan sebagai tempat dilarang merokok, anak remaja itu terpapar asap rokok, baik dari dalam rumah maupun di tempat-tempat umum.
Rokok menjadi faktor risiko untuk semua penyakit tidak menular. Selain itu, rokok juga menjadi faktor risiko enam dari delapan penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia, yaitu penyakit jantung, stroke, gangguan pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis (TB) serta trakea, bronkus, dan kanker paru-paru.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Petani mengambil air dari sumur untuk menyirami tanaman tembakau di Gumuh, Kendal, Jawa Tengah, Minggu (12/7).
“Dahsyatnya dampak rokok bagi kesehatan bangsa membuat kebijakan pengendalian tembakau perlu menjadi prioritas nasional,” kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Lily S Sulistyowati.
Persoalan lain, menurut Soewarta, sebagian besar perokok Indonesia merokok di sembarang tempat, tak memedulikan lingkungan sekitar. Mereka bisa merokok dengan tenang di dekat ibu hamil atau anaknya yang masih balita. Padahal, bahaya rokok bagi perokok aktif ataupun perokok pasif sama besarnya.
“Asap rokok bersifat merusak dengan segera dan semakin lama paparan akan meningkatkan kerusakan organ-organ tubuh,” katanya.
Selain itu, tidak ada rokok yang aman sehingga tidak ada batas aman terhadap paparan asap rokok. Rokok juga menimbulkan adiksi sehingga satu-satunya cara mengurangi risiko dari rokok adalah dengan tidak merokok.
Pengendalian tembakau di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan sebenarnya pernah mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan. Namun, usulan itu ditanggungkan oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 2011. Kini pada 2015 Badan Legislasi DPR justru mengesahkan RUU Pertembakauan yang diusung oleh industri rokok.
Upaya Indonesia untuk mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak 2003 hingga kini juga belum terwujud. Kini sudah 180 negara menandatangani FCTC dan Indonesia menjadi satu-satunya negara besar yang belum menandatanganinya. Akibatnya, pengendalian tembakau di Indonesia sangat sulit ditegakkan dan beban akibat rokok pun terus membesar.
M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas Siang | 17 Desember 2015