Anda pasti pernah mendengar kereta supercepat yang dimiliki negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang. Kereta ini menggunakan sistem elektromagnet dan bergerak mengambang (tidak menyentuh rel). Itu sebabnya, ia memiliki kecepatan yang sangat tinggi karena tidak ada gesekan antara gerbong dan rel. Sistem demikian disebut magnetic levitation disingkat maglev.
Sistem ini semula dirancang oleh insinyur berkebangsaan Jerman Herman Kemper, yang memperoleh hak paten pada tahun 1934. Kemudian pada tahun 1962, Yoshihiro Kyotani meneliti aplikasi sistem ini pada kereta Supercepat di Jepang, dengan menghabiskan dana seratus miliar yen. Usaha Kyotani ternyata tidak sia-sia.
Buktinya, pada tahun 1964, Jepang unggul dengan Kereta Supercepat Shinkansen, berkecepatan 220 km/jam. Lima tahun kemudian kecepatannya menjadi 517 km/jam, tapi kosong, tanpa penumpang. Baru akhir Januari 1988, Kereta Supercepat MLU 002 lolos uji coba dengan 44 penumpang di jalur khusus Miyazaki, Jepang Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jerman tidak ketinggalan. Bulan Desember 1985, Jerman menciptakan Kereta Supercepat Transrapid dengan kecepatan 355 km/jam. Presiden Soeharto dalam kunjungan kenegaraan ke Jerman awal Juli 1991, sempat menyaksikan dan ikut coba Kereta Supercepat Transrapid di pusat percobaan kota Lathen. Ketika itu, sistem elektromagnet yang menggerakkan kereta mengalami gangguan setelah kereta melaju pada kecepatan 247 km/jam. Namun pada uji coba sebelumnya sudah pernah menempuh kecepatan 435 km/jam dengan mulus.
Kemudian pada tanggal 9 Januari 1992 dalam suatu upacara di Boon, Kereta Supercepat Transrapid dengan kecepatan 400 km/jam dinyatakan layak secara teknis untuk dioperasikan pada akhir abad ini.
Sistem Maglev
Sacara teknis, sebenarnya ada dua pendekatan untuk mendesain sistem maglev tersebut, yakni menggunakan gaya tolak magnetik arus eddy dan gaya tarik medan elektromagnet. Namun, dari eksperimen yang dilakukan Matsumura dan Yamada, disimpulkan bahwa pendekatan kedua lebih baik karena pemakaian energinya lebih efisien.
Untuk memperjelas fungsi dan kerja sistem maglev, maka T.H. WONG mendesain Sistem Kontrol Maglev secara sederhana.
Gambar 1 menunjukkan Sistem kontrol maglev. Bola besi ditempatkan di bawah electromagnet pada jarak x. Akibat gaya gravitasi, bola besi akan turun dan menutupi sumber cahaya sehingga permukaan photoresistor menjadi gelap (tidak disinari). Photoresistor adalah sensor yang mengubah sinyal cahaya menjadi sinyal listrik tahanan. Apabila permukaannya tidak disinari, tahanannya menjadi besar. Sinyal listrik (tahanan) ini, kemudian diumpanbalikkan pada rangkaian controller dan rangkaian amplifier untuk memperbesar arus i pada coil. Arus yang besar, akan memperbesar gaya elektromagnet; melebihi gaya
gravitasi, sehingga bola besi akan tertarik ke atas, dengan demikian, sumber cahaya akan menyinari permukaan photoresistor.
Kejadian tersebut mengakibatkan tahanan photoresistor menjadi kecil. Sinyal listrik(tahanan) ini akan memperkecil arus i, sehingga gaya elektromagnet yang dihasilkan menjadi kecil; kurang dari gaya gravitasi, akibatnya bola besi akan turun.
Naik -turunnya bola besi harus dijaga tetap pada posisi kesetimbangan. Dengan kata lain, bola besi dalam posisi ”mengambang”. Posisi ini terus dipantau oleh sensor photoresistor pada titik kerja (operating point) yang dikehendaki.
Gambar 2 menunjukkan blok diagram sistem kontrol maglev. Sedangkan gambar 3 menunjukkan aktual sistem maglev yang dibuat Ronald C Rohe, PhD (alumni MIT) di Laboratorium Sistem Pengaturan dan Pengukuran (SPP) UK Petra. Piranti ini beberapa kali telah dipamerkan di Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Aplikasi
SCTV dalam acara Beyond 2000 pada tanggal 14 Desember i 1991, menayangkan aplikasi sistem maglev pada kereta supercepat. Prinsip yang digunakan adalah dengan menempatkan kutub-kutub magnet pada gerbong dan rel. Kutub-kutub ini akan saling tolak bila sejenis dan saling tarik bila berlainan. Dengan demikian, ketika diuji coba, badan kereta terangkat satu sentimeter dari rel dengan tolakan medan magnet, lalu digerakkan maju oleh stator linear motor pada rel.
Prinsip dasar stator linier motor dapat dijelaskan sebagai berikut. Motor induksi tiga fasa dengan bentuk stator tabung, bila diberi input tegangan sistem tiga fasa akan menghasilkan medan elektromagnet yang ”berputar”. Namun, jika bentuk statornya dibuat datar (flat), medan elektromagnet yang terjadi adalah ”berjalan”. Kondisi medan elektromagnet yang berjalan itu dimanfaatkan untuk menggerakkan benda lain di atasnya yang berfungsi sebagai rotor.
Sebelum dinyatakan layak, kereta supercepat harus menjalani uji coba. Misalnya, kereta Supercepat Transrapid dinyatakan layak dikonsumsikan secara umum setelah menjalani uji coba menempuh jarak sejauh 100.000 km. Rancangan yang dibuat sejak awal telah memasukkan unsur pelestarian Iingkungan. Karena digerakkan secara elektromagnet, maka ia tidak menghasilkan gas buangan atau jenis polutan lainnya. Tingkat kebisingannya relatif kecil dibandingkan dengan mobil.
Di samping itu, berbagai kegiatan lain di bawah rel, misalnya jalan raya dan lahan penduduk tidak perlu dikorbankan untuk mengoperasikan kereta supercepat, karena hanya diperlukan lahan untuk pondasi pilar penyangga relnya. Para pakar dalam bidang ini berpendapat bahwa satu-satunya hambatan sekarang bagi kereta supercepat adalah gesekan udara.
Dalam tabung hampa udara, tidak mustahil kecepatannya dapat mencapai 1.600 bahkan 10. 000 km/jam. Dan mereka yakin pada abad XXI, hal demikian akan terwujud. Bayangkan kalau hal itu terjadi, maka hanya butuh waktu 4 jam untuk mengelilingi bumi!
Realisasi
Indonesia sebenarnya punya peluang untuk merealisasikan kereta supercepat. Ketika meninjau Industri Kereta Api (Inka) di Madiun pada bulan Juli 1991 yang lalu, Menteri Perhubungan (Menhub) Azwar Anas mengharapkan realisasi kereta supercepat (transportasi non-BBM) di Indonesia pada tahun 2015, dengan memperhitungkan cadangan sumber energi BBM yang hanya sampai pada tahun 2015.
Marealisasi kereta supercepat sekaligus akan menjawab tantangan agar kita menghemat penggunaan energi. Menurut data tahun 1989, sebanyak 29,199 juta liter BBM yang dikonsumsi, 41 persen di antaranya digunakah untuk transportasi. Pemakaian energi ini bisa dihemat karena masyarakat akan lebih senang menggunakan kereta supercepat.
Untuk merealisasikan kereta supercepat, harus memperhatikan faktor pembiayaan, faktor teknologi, faktor sumber daya manusia, dan faktor kesiapan masyarakat, di samping tentunya pengamanan terhadap penduduk harus diprioritaskan.
Disadari, banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menyongsong kehadiran kereta supercepat di republik ini. Selain teknologi dasar (sistem maglev), perlu dipersiapkan pula manajemen dan maintenance-nya.
Sumber: Surya, 16 Februari 1992