Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, dinilai menyimpan fungsi penting dalam sejarah perniagaan di Nusantara, tetapi belum banyak tergali. Kepulauan ini menjadi pintu masuk yang menghubungkan Asia Timur dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara, bahkan diduga menjadi salah satu batu loncatan bagi migrasi Austronesia.
“Kepulauan Natuna kaya dengan tinggalan arkeologis, khususnya keramik. Sebagian besar keramik dari China abad ke-9 sampai ke-20. Sebagian lagi dari Vietnam, Thailand, Jepang, bahkan Eropa,” kata Naniek Harkantiningsih, profesor dan ahli keramik dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), di Jakarta, Senin (18/9).
Menurut Naniek, dari variasi tinggalan ini menunjukkan posisi penting kawasan ini sebagai persilangan pelayaran pada masa lalu. “Dari identifikasi keramik bisa disimpulkan bahwa Natuna telah dihuni secara berkesinambungan oleh penduduk yang terhubung dengan perniagaan global. Mereka juga terhubung dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak hanya menjadi persinggahan pelayaran, menurut Naniek, Kepulauan Natuna juga menjadi daerah tujuan karena menjadi sumber penghasil aneka komoditas berharga di masa lalu. Beberapa komoditas itu di antaranya cengkeh, teripang, damar, dan gaharu. Puncak keemasan era perdagangan di Natuna diperkirakan terjadi pada abad ke-13 dan ke-14.
Selain kaya temuan di era sejarah, Kepulauan Natuna juga kaya dengan tinggalan lebih tua. Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Sonny C Wibisono, di Kepulauan Natuna banyak ditemukan alat batu dari era neolitik di situs Batu Sindhu. Di Natuna juga ditemukan banyak tinggalan keranda kayu menyerupai perahu lesung yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai bengkong.
Menurut Naniek, kekayaan temuan di Natuna dan mengingat pentingnya kepulauan ini saat ini secara politik, Puslit Arkenas akan melakukan penelitian multidisiplin. “Untuk mencari asal-usul dan migrasi manusianya pada masa lalu, kami akan bekerja sama dengan Lembaga Eijkman,” katanya.
Sementara itu, studi yang dilakukan Aron J Meltzner dari Earth Observatory of Singapore dan dipublikasikan pada jurnal Nature (Februari 2017) menunjukkan, ketinggian perairan Jawa dan Natuna pada masa lalu sangat fluktuatif. Riset geologis berdasarkan pertumbuhan terumbu karang di Pulau Belitung menunjukkan, laut di perairan ini dua kali naik hingga 0,6 meter dalam kurun 6.850-6.500 tahun lalu akibat mencairnya es.
“Penelitian jejak peradaban di Kepulauan Natuna harus memperhitungkan perubahan permukaan laut pada masa lalu. Kemungkinan banyak peradaban yang hilang akibat kenaikan muka air laut di era Holocene (sekitar 10.000 tahun sampai sekarang),” kata Danny Hilman, geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang turut dalam studi ini. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 10 dengan judul “Kepulauan Natuna Simpan Jejak Penting”.