Di dalam filsafat Jawa ada istilah ”mamayu hayuning bawono”, artinya ”menata kehidupan dunia lebih baik”. Itu menjadi tugas para wiku, batara, dan begawan, yang sekarang ini dapat diartikan sebagai kaum teknokrat.
Joko Widodo telah menjadi presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Dalam pidato pertama setelah pelantikan, Jokowi mengajak kita untuk bekerja, kerja, dan kerja agar Indonesia Raya menjadi kuat, makmur, dan besar.
Namun, pengumuman Kabinet Kerja yang perlu waktu sampai seminggu setelah pelantikan memicu berbagai tanggapan. Ketika Presiden Soekarno pada tahun 1960 memutuskan membentuk Dewan Pembangunan Nasional, ia menunjuk wakil-wakil dari Nasakom dan Golongan Fungsional. Tidak ada seorang pun ahli dari universitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang khas saat itu adalah kepentingan struktur fisik pada perencanaan yang dihasilkan oleh dewan itu. Meliputi 17 sektor, hal itu dimuat dalam 8 jilid buku yang berisi 1945 alinea. Total melambangkan 17-8-1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rencana itu tidak berhasil mencapai target karena tujuannya terlalu ambisius serta tidak konsisten dengan kenyataan ekonomi dan sosial di negeri ini.
Pergantian Presiden Soekarno kepada Soeharto ditandai oleh pembentukan pemerintah radikal dalam hal kebijakan negara. ABRI memegang kekuasaan untuk meluputkan negara dari kejatuhan ke dalam komunisme dan mencegahnya dari kehancuran ekonomi.
Barangkali karena kelompok militer mengutamakan disiplin dengan cara berpikir yang rasional dan realistis, mereka sadar untuk melibatkan ilmuwan dalam membangun negara. Pada tahun 1966, Soeharto meminta jasa kaum cendekia untuk duduk dalam Tim Ahli Ekonomi Presiden. Sebagian besar adalah ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, seperti Ali Wardhana, Moh Sadli, Emil Salim, dan Subroto. Mereka adalah para teknokrat yang didefinisikan sebagai engineer or social scientist in position of power. Sebelumnya mereka berkumpul di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas) yang diketuai Widjojo Nitisastro.
Yang menarik perhatian dari pergantian pimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Soeharto adalah menonjolnya peranan kaum teknokrat. Pendidikan keahlian mereka umumnya dari Amerika Serikat. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan jika David Ransom di dalam Ramparts menyebut mereka sebagai ”Berkeley Mafia”. Artikel itu dianggap bias, tetapi introduksi masalahnya cukup sukses karena menunjuk pada latar belakang pendidikan teknokrat-kita itu yang berasal dari University of California, Berkeley.
Indonesia dan globalisasi
Menurut kalangan akademisi, dalam membentuk kabinet ada tiga hal penting. Pertama, dari luar kita sedang menghadapi globalisasi tanpa mengenal batas negara, seedless. Arus globalisasi tidak dapat dibendung, menerpa peri kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Kedua, menghadapi masalah dalam negeri yang marak dengan korupsi dan kemiskinan. Globalisasi, masalah korupsi, dan kemiskinan terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, menghadapi ketiga masalah ini, kabinet setidaknya harus memiliki teknokrat yang diandalkan.
Selain tiga begawan di atas, posisi menteri luar negeri juga diharapkan dapat menjalankan politik luar negeri RI bebas aktif secara konsekuen, tidak mudah dibelokkan ke kanan atau ke kiri. Posisi menteri luar negeri penting karena mencerminkan pandangan presiden dalam menjalankan haluan negara yang mengutamakan kepentingan di dalam negeri. Untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut diperlukan teknokrat yang ahli dalam bidangnya. Pilihan Presiden Jokowi terhadap Retno LP Marsudi diharapkan bisa mengawal kebijakan politik luar negeri yang bisa memasarkan Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.
Proses seleksi
Keinginan dua serangkai JKW-JK membentuk kabinet sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengalaman Soekarno dan Soeharto. Hanya saja, kabinet JKW-JK sarat dengan muatan politik, keseimbangan etnik, jender, agama, profesional, dan ambisi untuk mengembalikan bangsa Indonesia pada kejayaan sejarah Nusantara di bawah Sriwijaya atau Majapahit.
Boleh saja hal itu terjadi, tetapi dalam mewujudkannya perlu bantuan kelompok individu untuk memberikan masukan kepada presiden dan wakil presiden sebelum keputusan diambil. Untuk itu terdapat dua cara dalam menyeleksi para pembantu presiden ini, yaitu dengan menggunakan metode posisi (position method) dan reputasi (reputation method).
Dengan metode posisi, kita melihat posisi strategis dalam pengambilan keputusan di negeri ini. Siapa yang mendudukinya akan mempunyai pengaruh besar. Orang-orang ini mengendalikan persimpangan lalu lintas informasi dan arus komunikasi yang menentukan dari pemerintahan sehingga pemilihannya perlu berhati-hati. Tidak hanya keahlian yang perlu diperhatikan, tetapi juga integritasnya.
Dengan metode reputasi, yang dilihat bukan pekerjaan atau kedudukan, melainkan reputasi atau ”keterkenalan” orang itu dalam membuat keputusan. Mungkin mereka tidak dalam posisi tingkat tinggi, tetapi sudah terkenal sebagai ”otak” yang menentukan kebijakan.
Seorang yang berposisi tinggi yang menandatangani setiap keputusan mungkin saja hanya ”tukang stempel”. Ia menandatangani apa saja yang diajukan pembantu-pembantunya. Tidak diragukan lagi nama-nama teratas yang masuk dalam kategori metode di atas antara lain Dr Ing BJ Habibie yang kala itu sedang berada di luar negeri.
Dia diminta Soeharto pulang ke Indonesia untuk mengisi jabatan Menteri Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan. Untuk itu jangan sungkan untuk memanggil pulang apabila ada teknokrat Indonesia yang sedang mengajar di luar negeri.
Bukan boneka
Isu yang dilontarkan Koalisi Merah Putih tentang adanya ”tangan asing” yang mendukung pemerintahan Jokowi patut mendapat perhatian. Teknokrat yang berpendidikan luar negeri bukanlah pemerintahan ras para ahli atau oleh ahli-ahli asing. Teknokrasi sebenarnya tidak bertentangan dengan demokrasi karena partai politik terwakili.
Dalam pemerintahan yang teknokratis, partai politik ditantang untuk menampilkan politisi-politisi ahli yang tidak sekadar populer. Tugas berat ini harus dilaksanakan partai koalisi dan oposisi agar sistem politik Indonesia tidak terarah pada pola yang tidak senjang.
Pemerintahan membutuhkan politisi-politisi yang dapat menghubungkan secara baik antara mereka dan rakyat. Pemerintah memerlukan keikutsertaan para politisi yang mengenal dan berhubungan erat dengan rakyat. Keikutsertaan mereka akan menambah kepekaan terhadap masalah yang dihadapi rakyat. Dengan demikian, pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat dan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi.
Jika teknokrat dan politisi terpisah dari rakyat , ia tidak dapat bertahan lama. Yang penting pemerintahan Jokowi konsisten untuk melaksanakan janji pemilu dan pidato pelantikannya untuk bekerja keras ”mamayu hayuning bawono”. Agar Ibu pertiwi tidak menangis, rakyat berharap Kabinet Kerja segera dapat mewujudkan kesejahteraan merata di seluruh bumi Nusantara.
Arif Sumantri Harahap Dosen Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama); Mantan Diplomat RI
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2014