Memasuki era revolusi industri 4.0, upaya pengembangan sumber daya manusia tidak dapat lagi hanya mengandalkan buku atau proses belajar mengajar di ruang kelas. Generasi muda membutuhkan program pelatihan secara langsung di dunia usaha dan dunia industri sehingga mereka memiliki pengalaman aktivitas dunia kerja untuk menjadi bekal ketika lulus.
“Kita harus memberikan kesempatan kepada generasi muda, khususnya para mahasiswa untuk merasakan secara langsung bagaimana dunia kerja yang sesungguhnya. Sebab, dalam perkembangan teknologi yang semakin cepat, dibutuhkan tenaga kerja yang cepat beradaptasi,” kata peneliti Fakultas Teknologi Informasi Monash University, Australia, Campbell Wilson, di Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
KOMPAS/HAMZIRWAN–Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri merekam video blog bersama peserta dan instruktur pemagangan pabrik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Karawang International Industrial City (KIIC), Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/3/2017). Presiden Joko Widodo menjadikan tahun 2019 sebagai momentum membangun modal manusia yang kompeten dan produktif melalui vokasi pendidikan dan vokasi pelatihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Wilson, perlu adanya keterkaitan dan kesesuaian (link and match) antara dunia pendidikan dan dunia industri. Melalui cara ini, lulusan lembaga pendidikan dapat langsung terserap pasar kerja untuk juga memenuhi kebutuhan industri.
Paparan ini disampaikan dalam diskusi bertemakan “Future Skills at The Intersection of Business and Technology”. Diskusi ini diselenggarakan oleh Monash University yang bekerja sama dengan Australian Trade Investment Commission (Austrade).
Lebih lanjut, Wilson menyampaikan, melalui perkembangan teknologi, maka akan membuka berbagai jenis pekerjaan baru. Dengan demikian, tugas yang ada saat ini bukanlah melawan teknologi, namun bagaimana bekerja dengan memanfaatkan teknologi.
“Ini bukan persoalan bahwa perkembangan teknologi akan menggantikan pekerjaan manusia. Namun, bagaimana manusia belajar untuk menggunakan teknologi sehingga akan semakin banyak menciptakan lapangan pekerjaan,” ujar Wilson.
SHARON UNTUK KOMPAS–Peneliti Fakultas Teknologi Informasi Monash University Campbell Wilson
Sejalan dengan ini, Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomi Monash University Simon Wilkie menyampaikan, dalam menghadapi perubahan dunia yang begitu cepat, diperlukan cara berpikir yang fleksibel. Artinya, memiliki pandangan positif terhadap masa depan.
“Sebagai individu, kita harus berpikir setidaknya lima tahun ke depan, apa yang akan kita hadapi, perubahan apa yang akan terjadi. Dengan begitu, kita dapat mempersiapkan diri menghadapi lingkungan yang dinamis,” kata Wilkie.
Tak dipungkiri, memang perkembangan teknologi telah merambah ke semua lini kehidupan manusia. Maka, kita harus cepat beradaptasi dan mengambil berbagai peluang yang ada untuk terus berada dalam perkembangan.
Pertanian
Terkait perkembangan teknologi, Wilkie menilai, Indonesia memiliki potensi dan peluang yang besar untuk mengembangkan teknologi dalam bidang usaha pertanian. Secara global, bidang usaha pertanian merupakan industri yang besar dan menyangkut kehidupan setiap orang.
Data hasil penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan, pada tahun 2050, dunia harus mampu memproduksi makanan 70 persen lebih banyak dari saat ini. Dengan melihat data ini, maka sektor pertanian berpeluang besar untuk terus dikembangkan.
“Sektor pertanian memiliki potensi terbesar yang dapat ditransformasikan dengan memanfaatkan teknologi untuk membuat proses pertanian menjadi lebih efisien dan efektif. Misalnya, melalui Internet of Things (IoT), kita dapat memutuskan tanaman apa yang harus ditanam untuk tetap menjaga kesuburan tanah,” papar Wilkie.
SHARON UNTUK KOMPAS–Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomi Monash University Simon Wilkie
Secara terpisah, peneliti Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Bob Hardian menyampaikan hal senada. Ia menilai, selama ini sistem pertanian di Indonesia dapat diibaratkan seperti orang berjudi.
“Sebab, ada banyak variabel yang tidak terkontrol, misalnya ketidakpastian alam dan cuaca yang sulit diprediksi. Bahkan, sampai produk dijual ke pasar pun demikian karena petani memproduksi barang yang sama maka harga di pasar menjadi jatuh,” tutur Bob.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Sayuran selada yang dikembangan dengan metode hidroponik di Kebun Purwosari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019). (Ilustrasi)
Inilah peran teknologi yang harus dimanfaatkan generasi muda. Bob menyampaikan, sektor pertanian 4.0 harus menerapkan produksi dengan menggunakan teknik baru. Misalnya, menggunakan hidroponik guna menghadapi keterbatasan lahan, yaitu dengan memanfaatkan mineral dalam air.
“Selain itu, ekosistem juga harus dibenahi. Jangan sampai saat musim tanam cabai, semua petani menanam cabai. Maka harus didukung dengan sistem informasi pertanian sehingga setiap daerah dapat dilihat cocoknya menanam apa,” kata Bob. (SHARON PATRICIA)–HAMZIRWAN HAMID
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 23 Maret 2019