Pemerintah diminta mengurungkan rencana pembukaan lahan untuk sawah di lahan gambut guna mengantisipasi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian bisa memicu bencana lingkungan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Sejumlah warga melakukan aktivitas di lahan gambut yang ada di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sabtu (6/5/2017). Kawasan gambut tersebut dimanfaatkan untuk pertanian dan berkebun.
Upaya pemerintah menyediakan pangan darurat dalam menghadapi pandemi Covid-19 mesti dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan persoalan baru di masa mendatang, baik bencana lingkungan maupun sosial dan ekonomi. Kondisi saat ini juga menjadi penyadar bagi pengambil kebijakan untuk mengedepankan diversifikasi pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, pemerintah diminta mengurungkan rencana pembukaan lahan untuk sawah di lahan gambut yang terbukti gagal dalam Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang pernah dilakukan tahun 1995 di Kalimantan Tengah. Proyek tersebut menimbulkan berbagai bencana lingkungan ataupun gangguan sosial dan ekonomi pada masyarakat setempat ataupun eks transmigran.
Direktur Wetlands Internasional Indonesia, atau kini bernama Yayasan Lahan Basah, Nyoman Suryadiputra, Selasa (5/5/2020), di Jakarta, mengatakan, pemerintah jangan berpikir pemenuhan karbohidrat, berupa beras. Ini menanggapi rencana pembukaan sawah seluas 900.000 hektar lahan di lahan basah, termasuk lahan gambut yang dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Ia menyebutkan pangan bagi orang Indonesia bukan hanya beras, melainkan juga sumber protein ataupun lauk serta sejumlah olahan lain yang bersumber dari impor seperti kedelai, jagung, dan gandum. Kedelai untuk membuat lauk tempe dan tahu. Gandum untuk berbagai olahan kue. Jagung untuk pangan dan pakan.
Persoalan lingkungan
Nyoman meminta pemerintah berpikir luas untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein sekaligus menyelesaikan persoalan lingkungan, iklim, dan tenaga kerja atau kesejahteraan masyarakat. Ia menunjukkan sejumlah percontohan yang dibuat di Kepulauan Meranti, Kepulauan Riau.
Daerah itu dikenal sebagai penghasil sagu yang memiliki pangsa pasar ekspor dan pemenuhan domestik. Sagu sebagai tanaman lahan basah tumbuh yang tumbuh di lahan gambut yang tahan dan membutuhkan genangan air. Ini membuat lahan gambut tak perlu dikeringkan sehingga rentan terbakar.
Namun, lanjut Nyoman, kilang-kilang pengolahan sagu setempat membuat limbah organik ampas sagu ke sembarang tempat yang menimbulkan pencemaran air dan gangguan bau tidak sedap. Pihaknya membuat percontohan pemanfaatan ampas tahu untuk campuran utama pakan itik dan ayam.
YAYASAN LAHAN BASAH—Lokasi percontohan pemanfaatan ampas kilang pengolahan sagu sebagai bahan campuran pakan ayam di Kepulauan Meranti, Kepulauan Riau, yang dikerjakan Wetlands International Indonesia atau Yayasan Lahan Basah dan dibiayai Proyek IPPF-WII.
”Masalah pencemaran air dan bau bisa diselesaikan, industri sagu tetap berjalan, gambut tetap basah dan tidak rusak, kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan dengan ternak. Kotoran ternak ini pun nantinya dimanfaatkan untuk pupuk,” katanya.
Peternakan ayam dan itik menghasilkan pedaging sekaligus menghasilkan telur. Telur-telur itu bisa dipasok ke Batam (bagian dari Kepulauan Riau). Masyarakat di wilayah itu, menurut kajian Yayasan Lahan Basah, tiap hari mengonsumsi 180.000 butir telur yang sebagian besar didatangkan dari Jawa Timur.
Pengembangan sagu
Pengembangan sagu ini juga bisa dilakukan di Papua. Ia mengatakan, awal tahun 2016 Presiden Joko Widodo pernah meresmikan kilang sagu di Sorong Selatan melalui Perum Perhutani dengan kapasitas 100 ton sehari. Menurut Nyoman, operasionalisasi kilang ini bisa dioptimalkan bahkan dengan membangun kilang-kilang sagu baru di tempat lain di Papua.
”Jadi, kalau yang mau diatasi adalah krisis pangan adalah bagaimana memperkuat pangan Indonesia dalam konteks diversifikasi, bukan cetak sawah atau beras,” ungkapnya.
Kalaupun pemerintah bersikeras membuka lahan gambut baru, hal itu agar dilakukan dengan super hati-hati. Selain memenuhi berbagai aturan formal terkait perlindungan dan pengelolaan gambut, penilaian biofisik hingga sosial dan ekonomi harus cermat.
Ia yang merupakan saksi PLG di Kalteng mengatakan, megaproyek di masa Orde Baru tersebut dilakukan dengan mendatangkan transmigran dari Bali dan Jawa. Karena tanah gambut berbeda dengan tanah mineral yang ada di Bali dan Jawa, mereka gagal mengelola lahan dan beralih menjadi pembalak kayu.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN—Petani Desa Mandala Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, mengelola gambut tanpa bakar. Budidaya jahe merah yang telah dimulai setahun terakhir ternyata menguntungkan petani karena harga jual yang melesat seiring terjadinya pandemi Covid-19. Gambar diambil 11 Maret 2020.
Nyoman menyatakan sepakat jika pemanfaatan lahan gambut tersebut untuk peternakan dan perikanan. Untuk tanaman hortikultura pada gambut, ia belum bisa merekomendasikan komoditas yang tepat. ”Harus dipilih jenis yang hidup di lahan basah. Bisa juga introduksi sagu,” katanya.
Sumber pangan
Secara terpisah, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengatakan, pihaknya menyodorkan lahan 110.000 hektar (ha) di Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk sumber pangan. Namun, lahan bekas PLG tersebut bukan untuk ditanami padi atau mencetak sawah.
Ia mengatakan, BRG memiliki demplot-demplot percontohan dan percobaan sawah seluas 84 ha di gambut setempat. Hasil evaluasi menunjukkan hasil panen belum memenuhi aspek keekonomisannya. Meski di beberapa demplot ada yang menghasilkan 4 ton per ha, secara rata-rata hasilnya hanya 2 ton per ha.
Menurut informasi dari ahli pertanian, lahan gambut butuh minimal 3-4 kali tanam agar bisa dimanfaatkan untuk sawah dengan optimum. Artinya, menurut dia, hal ini membutuhkan waktu hingga setahun mendatang. ”Kami belum sampai level sana. Jadi, tentu kalau merekomendasikan pada skala besar, kami belum berani,” ujarnya.
Pihaknya cenderung merekomendasikan komoditas yang tersedia di depan mata dan terbukti berhasil diusahakan ditanam di lahan gambut. Ia menyebut tanaman nanas, talas, kopi, dan lidah buaya, maupun perikanan dan peternakan.
Terkait sagu, ia mengatakan, Presiden Joko Widodo juga memberi perhatian dengan memintanya mempelajarinya. ”Ada permintaan Pak Presiden coba liat sagu di Riau. Kalau sagu, kan bagusnya, bisa tumbuh di lahan basah. Kalau sagu terkena banjir tetap bagus, itu kita mau pusatkan di Riau dan Papua,” ujarnya.
Diversifikasi pangan
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika pun menyatakan, solusi mengatasi defisit pangan hanya dengan menekankan pada cetak sawah baru dinilai bias. ”Pangan tidak hanya beras dan yang mengalami defisit adalah ragam jenis pangan,” katanya.
Menurut Dewi Kartika, cetak sawah baru secara massal tak bisa menghasilkan pangan dengan cepat karena membutuhkan persiapan infrastruktur irigasi dan jalan yang memadai, pembukaan lahan hingga menanam dan memanen. Disebutnya, sedikitnya dibutuhkan waktu 7-9 bulan sehingga cetak sawah merupakan solusi jangka menengah.
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Ibu-ibu di Desa Talio HUlu, Kabupaten Pulang Pisau, memanen perdana di sawah restorasi gambut, Senin (26/8/2019).
Untuk jangka pendek sehingga secara cepat memenuhi kebutuhan pangan, ia meminta negara mendorong gerakan nasional menanam pangan di desa dan kota dengan pelibatan masyarakat secara aktif.
Hal itu bisa dilakukan pemerintah dengan menyediakan tanah-tanah negara seperti yang dikelola PT Perkebunan Nusantara dan Perhutani maupun swasta. Jadi, hutan tanaman industri serta tanah telantar dan lahan kosong bisa dimanfaatkan sebagai sentra pertanian, peternakan, dan kebun pangan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 5 Mei 2020