Kecemasan yang terus terjadi bisa memicu depresi dan gangguan jiwa lainnya. Untuk mengendalikan gangguan kecemasan, seseorang dianjurkan melihat masalah dalam hidup apa adanya dan tidak berlebihan.
Hal itu terungkap dalam forum kelas jurnalis bertema “Mengendalikan Kecemasan untuk Hidup Lebih Berkualitas” di Jakarta, Rabu (11/11).
Ahli kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Omni, Tangerang, Andri, mengatakan, tidak memersepsikan masalah berlebihan bisa mencegah cemas dan stres berlebihan. “Persepsi pada masalah berlebihan berdampak pada kesehatan jiwa. Karena terbiasa melihat masalah berlebihan, kadang muncul serangan panik tanpa sebab,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cemas atau stres bisa memicu sistem saraf otonom teraktivasi. Akibatnya muncul gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, diare, pusing, sesak napas, dan mual. Namun, karena gejala yang dominan terkait fisik, pasien kerap menanti terlalu lama untuk dilayani dokter spesialis kedokteran jiwa. Padahal, dengan diagnosis tepat dan cepat, gangguan jiwa bisa disembuhkan agar mutu hidup pasien membaik.
Kemampuan adaptasi
Menurut Andri, seseorang sebenarnya mampu beradaptasi dengan masalah. Kemampuan itu dibangun sejak dalam keluarga ataupun dengan cara belajar dan mengubah cara pandang.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, 6 persen atau sekitar 16 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti cemas, depresi, dan psikosomatik.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi Sosrosumiharjo menambahkan, seseorang yang sehat jiwanya ialah mereka yang bisa menerima apa adanya kondisi sekitarnya. “Kalau muncul rasa menerima apa yang terjadi, itu berarti sudah menapak, sehat jiwanya,” ujarnya.
Danardi menambahkan, kecemasan merupakan hal manusiawi. Namun, itu bisa jadi gangguan saat terus terjadi dan mengganggu kehidupan pribadi serta sosial penderita.
Kecemasan merupakan masalah terkait dengan gejala sistem otonom tubuh. Biasanya, kecemasan ditandai gejala fisik dan psikologis. Gejala psikologis meliputi khawatir, gugup, atau ketakutan, sedangkan gejala fisik antara lain jantung berdebar, pusing, dan diare.
Persoalannya, gangguan kecemasan kerap dianggap masalah biasa dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan dinamis dan gaya hidup urban serba cepat menjadi contoh penyebab kecemasan. Kondisi fisik, faktor genetika, kepribadian seseorang juga terkait kecemasan.
Danardi menambahkan, ada perbedaan antara cemas dan takut. Takut biasanya bersifat fisiologis, dan muncul pada sesuatu atau obyek yang amat jelas. Adapun cemas bersifat patologis dan kadang muncul tanpa sebab yang jelas. (ADH)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Kecemasan Berlebihan Bisa Memicu Depresi”.