Kebuntuan Digitalisasi Penyiaran

- Editor

Jumat, 26 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suasana studio penyiaran di Parlemen Uni Eropa, Brussels, Belgia, Senin (8/4/2019). Untuk membantu kerja jurnalis, Parlemen Uni Eropa  menyediakan fasilitas yang dapat digunakan jurnalis terakreditasi secara gratis, seperti studio penyiaran televisi dan radio.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)
08-04-2019

Suasana studio penyiaran di Parlemen Uni Eropa, Brussels, Belgia, Senin (8/4/2019). Untuk membantu kerja jurnalis, Parlemen Uni Eropa menyediakan fasilitas yang dapat digunakan jurnalis terakreditasi secara gratis, seperti studio penyiaran televisi dan radio. KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA) 08-04-2019

Indonesia salah satu negara yang sampai saat ini belum menerapkan teknologi digital untuk penyiaran terestrial. Rencana Kementerian Komunikasi dan Informasi memulai siaran digital (analog switch-off) melalui Program Prioritas TV Digital di 2018 tak tercapai.

Padahal, penyiaran digital memiliki banyak keunggulan dibanding penyiaran analog, misalnya meningkatkan kualitas audiovisual, menghemat biaya listrik hingga 94 persen, biaya modal 79 persen, dan biaya operasional 57 persen, memberikan bonus frekuensi, mendukung keberagaman konten dan kepemilikan.

Suasana studio penyiaran di Parlemen Uni Eropa, Brussels, Belgia, Senin (8/4/2019). Untuk membantu kerja jurnalis, Parlemen Uni Eropa menyediakan fasilitas yang dapat digunakan jurnalis terakreditasi secara gratis, seperti studio penyiaran televisi dan radio.–KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)–08-04-2019

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE–Ilustrasi KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Program Prioritas TV Digital Kemenkominfo juga mendorong revisi UU Penyiaran No 32/2002 yang belum selesai hingga kini. Secara teknologi, sebenarnya digitalisasi penyiaran bukanlah hal rumit bagi Indonesia.

Kemenkominfo sudah melakukan uji coba siaran digital terestrial melalui TVRI, melibatkan 36 penyedia konten selama enam bulan di 2016. Namun upaya itu ternyata belum mampu merealisasikan siaran digital hingga kini.

Peta masalah
Mandeknya proses digitalisasi penyiaran tampaknya harus dilihat dengan melampaui aspek teknologi. Ada aspek ekonomi politik yang membuat proses itu mentok.

Untuk memulainya, bisa kita lihat siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam proses digitalisasi penyiaran itu. Penyiaran digital akan memberikan keuntungan kepada pemirsa karena bisa menonton tayangan televisi dengan gambar dan suara lebih jernih.

Penyiaran digital mengakomodasi para pelaku penyiaran di luar Jakarta karena ketersediaan frekuensi bisa berlipat-lipat jumlahnya. Dalam platform analog, satu kanal hanya berisi satu frekuensi.

Sementara satu kanal digital bisa berisi 12 frekuensi sehingga bisa dipakai 12 stasiun. Ini sangat relevan bagi negara seluas dan seberagam Indonesia karena keberagaman konten sangat mungkin difasilitasi oleh penyiaran digital.

Penyiaran digital memberikan keuntungan berupa deviden frekuensi. Frekuensi analog yang dipakai penyiaran sekarang bisa dipakai untuk alokasi lain yaitu telekomunikasi dan komunikasi nirkabel jarak dekat.

Penyiaran digital juga akan memicu tumbuhnya kreator konten karena adanya pemisahan fungsi pengelolaan infrastruktur dan konten siaran. Secara umum, penyiaran digital akan kian mendekatkan penyiaran Indonesia dengan prinsip penyiaran demokratis.

Digitalisasi penyiaran diatur oleh regulasi selevel UU. Sementara, UU Penyiaran No 32/2002 masih mengatur penyiaran dalam platform analog. Proses revisi UU yang berlangsung sejak era SBY hingga saat ini juga mengatur tentang digitalisasi penyiaran.

Mandeknya proses revisi ini berarti mandeknya proses digitalisasi. Pemerintah yang bertanggung jawab secara teknis tak bisa berbuat apa-apa karena proses revisi mandek di DPR.

Penyiaran analog saat ini memberikan keuntungan besar pada industri penyiaran. Keuntungan terutama datang dari struktur kepemilikan yang hanya terpusat pada beberapa pelaku usaha di Jakarta, sistem penyiaran yang tak mengenal kerja sama dengan stasiun TV luar Jakarta, dan bercampurnya pengelolaan infrastruktur dan konten siaran.

Praktis hal-hal itu membuat kue ekonomi penyiaran hanya berputar pada beberapa lingkar oligopolis saja. Menurut Adstensity, belanja iklan di televisi pada 2018 mencapai Rp 110 triliun.

Selain persoalan oligopoli ekonomi, kondisi analog status quo juga melanggar prinsip penyiaran demokratis yaitu tak berjalannya siaran berjaringan dan keseragaman konten, termasuk opini. Secara politik, kondisi saat ini juga terbukti rentan melahirkan kongkalikong kepentingan politik dalam penyiaran akibat irisan pemilik televisi dengan parpol. Orang awam pun sudah merasakan.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)–Stasiun Bumi Pengendai Satelit – Teknisi memeriksa konstruksi salah satu antena pengendali satelit di Stasiun Bumi Indosat di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (8/8/14). Indosat memiliki dua satelit operasi yaitu Satelit Palapa-D (113E) dan Satelit Palapa-C2 (150.5E) untuk melayani pelanggan di bidang penyiaran, operator VSAT, dan komunikasi data baik nasional maupun internasional.–Kompas/Iwan Setiyawan (SET)–08-08-2014

Langkah kompromi
Kondisi ini bisa dipotong oleh digitalisasi, yang bisa melahirkan lebih banyak pemain penyiaran baru sehingga desentralisasi kepemilikan penyiaran yang sesuai demokrasi bisa berjalan. Hal ini cocok untuk Indonesia, tapi mengganggu kepentingan industri penyiaran yang terpusat di Jakarta. Ladang kontestasi dalam hal ini adalah pengelola kanal atau multipleks (mux).

Kompromi yang bisa diterima industri dalam pengelolaan multipleks adalah multi mux yang secara riil masih bisa mengakomodasi oligopoli. Belakangan muncul istilah lain, sistem hibrida yang pada dasarnya sama dengan multimux.

Menkominfo Tifatul Sembiring pernah mengakomodasi ini melalui Permen No 17/2012 sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sementara secara ideal, pengelolaan mux adalah single mux oleh lembaga independen. Argumen deontologisnya sama dengan yang berlaku di platform analog: frekuensi adalah ranah publik, bukan privat.

Hal-hal itu memunculkan kebuntuan (deadlock) dalam proses digitalisasi penyiaran kita yang secara riil tampak dalam buntunya pembahasan revisi UU Penyiaran. Belum ada titik temu yang mampu menyatukan kepentingan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)–Pegawai swasta melihat siaran televisi di Jakarta, Jumat (30/12). Masyarakat mengkritisi munculnya rumusan lembaga penyiaran khusus di RUU Penyiaran versi 7 Desember. Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 30-12-2016

Bagi industri TV, digitalisasi penyiaran potensial menjadi ancaman meskipun lebih dekat dengan demokrasi penyiaran. Sejarah televisi swasta kita tak lahir dari demokrasi namun dari kapitalisme semu Orde Baru sehingga gagap ketika harus masuk ke habitat demokratis.

Situasi saat ini menjadi serba gamang. DPR tidak beranjak cepat dalam membahas revisi UU Penyiaran karena kondisi status quo masih sangat menguntungkan industri penyiaran. Sementara tekanan dari masyarakat sipil cenderung menurun dan pemerintah lebih berfokus pada isu telekomunikasi dan media sosial. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga tidak memunculkan posisi kuat.

Saat fit and proper test calon komisioner KPI 2019-2024 yang baru lalu, tak ada ide signifikan tentang digitalisasi. Pemerintahan baru Jokowi juga susah menentukan arah karena terlanjur didukung oleh beberapa pemilik stasiun TV semasa Pilpres 2019. Kondisi ini membuat proses digitalisasi penyiaran melalui revisi UU Penyiaran tak menentu, entah sampai kapan.

(R Kristiawan National Advisor, International Media Support, Denmark; Anggota Dewan Pengawas LBH Pers, Jakarta)

Sumber: Kompas, 26 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Pakar Ilmu Komunikasi UGM Sebut Protes Hary Tanoesoedibjo Siaran Analog Dimatikan Timbulkan Paradoks
Dikawinkan dengan IndiHome, Bos Telkomsel: FMC Adalah Masa Depan
Bapak Seluler Indonesia: Matinya Sinyal 3G Itu Keniscayaan
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB