Kebijakan Tak Cukup Berdasarkan Ekonomi

- Editor

Selasa, 17 November 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penerima Nobel Bidang Ekonomi tahun 1998 asal Banglades, Amartya K Sen, mengkritik pendekatan ekonomi yang cenderung mengukur kemajuan hidup manusia berdasarkan tingkat produk domestik bruto dan pendapatan per kapita. Ukuran kualitas hidup manusia terletak pada kapabilitas yang dimiliki, yakni sejauh mana seseorang memiliki kemampuan untuk meraih sesuatu yang dianggap bernilai.

Demikian salah satu poin yang disampaikan Sunaryo saat mempertahankan disertasinya dengan judul “Kebebasan dan Kapabilitas sebagai Kriteria Etis: Kajian mengenai Pandangan Etika Amartya Sen dalam Ide Kebebasan dan Integrasinya ke dalam Teori Pilihan Sosial”, Sabtu (5/9) di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

“Ekonomi terlalu memberikan perhatian pada persoalan kesejahteraan saja (yang diukur dengan produk domestik bruto atau pendapatan per kapita). Kalau ini menjadi satu-satunya ukuran, akan berbahaya karena atas nama maksimalisasi ekonomi, para pengambil kebijakan publik dapat mengorbankan kebebasan orang lain,” kata Sunaryo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oleh karena itu, perlindungan kapabilitas seseorang menjadi sangat penting. Menurut Sen, kapabilitas sering kali disebut juga sebagai kebebasan substantif, yaitu kebebasan untuk mencapai (freedom to achieve) atau kemampuan untuk mencapai (the ability to achieve), atau pula kebebasan untuk berfungsi (freedom to function).

“Kebebasan menjadi sesuatu yang sangat bernilai karena kebebasan yang lebih besar akan memberikan kita kesempatan lebih besar untuk mencapai tujuan-tujuan kita, sesuatu yang kita anggap bernilai. Kebebasan adalah aspek proses bahwa orang tidak boleh dipaksa,” katanya.

Konteks Indonesia
Dalam konteks perumusan kebijakan-kebijakan publik, selama ini perumusan kebijakan publik semata-mata dilihat dari sejauh mana kebijakan itu dapat memaksimalkan kesejahteraan dan manfaat bagi kelompok banyak. Dengan demikian, terdapat kemungkinan di mana kebijakan yang dihasilkan akan mengabaikan hak dan kapabilitas kelompok masyarakat lebih kecil.

Masih Adakah Harapan bagi Kaum MiskinOleh karena itu, upaya perlindungan kebebasan dan perluasan kapabilitas menjadi penting. “Masyarakat atau pemerintah dituntut tidak hanya mempertimbangkan nilai manfaat dan kesejahteraan pada saat merumuskan putusan kolektif. Hal yang dianggap bernilai tentu saja bukan hanya nilai manfaat dan kesejahteraan, melainkan juga nilai hak dan kebebasan,” ujar Sunaryo.

Pemikiran Sen itu bisa dipakai secara praktis untuk memberikan komitmen para pengambil kebijakan publik agar betul-betul memperhatikan masalah kebebasan dan kapabilitas. Dalam konteks Indonesia, perhatian pada soal kebebasan dan kapabilitas menjadi sangat penting. Apalagi, dalam kondisi sekarang, saat banyak orang sedang terkonsentrasi penuh pada bidang ekonomi.

Bagi Sen, manusia bukan hanya makhluk pengejar manfaat kesejahteraan, melainkan juga makhluk yang memiliki orientasi pada nilai tanggung jawab yang tidak terkait dengan maksimalisasi manfaat kesejahteraan. Sebab, manusia bukan dipersepsikan semata-mata sebagai manusia ekonomi (homo economicus), tetapi juga manusia yang memiliki perspektif nilai yang sangat beragam.

Letak kebaruan disertasi Sunaryo itu berada pada eksposisi mengenai kriteria etis, menurut Sen, dalam interaksi sosial dan juga perumusan kebijakan publik serta perlunya perlindungan kebebasan dan perluasan kapabilitas. Atas pencapaiannya dalam promosi doktor itu, salah seorang penguji, Simon Petrus Lili Tjahjadi, mewakili promotor, ko-promotor, dan penguji memberikan nilai sangat memuaskan kepada Sunaryo.

Franz Magnis-Suseno selaku promotor menambahkan, pemikiran Sen tentang kebebasan dan kapabilitas sangat aktual untuk dibahas dalam konteks sekarang. Gagasan seperti ini penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih bermutu.(ABK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 11 dengan judul “Kebijakan Tak Cukup Berdasarkan Ekonomi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB