Kebijakan dan keputusan merupakan dua hal yang berlangsung dalam satu tarikan napas, dan tidak mungkin melihat keduanya sebagai hal yang terpisah. Kebijakan, dalam hal apa pun, terutama dalam bidang pendidikan, biasanya dilemahkan oleh ketiadaan respons yang berkelanjutan dari pelaksana di tingkat daerah, sedangkan keputusan biasanya sering kali berhenti pada aturan tertulis, dan lagi-lagi, pelaksana di tingkat sekolah bisa dibuat bingung tentang bagaimana cara melaksanakan sebuah keputusan. Ketika ini terjadi, siapa yang dirugikan, jelas masyarakat. David Halpin (2013) dalam Practice and Prospects in Education Policy Research menggambarkan betapa masyarakat selalu dirugikan karena antara kebijakan dan keputusan berjalan tidak seiring.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pembuat kebijakan sering kali mengaku ketika mendesain sebuah keputusan, basisnya ialah riset. Namun, jarang terlihat apakah ketika melakukan riset, para pelaku atau user di lapangan disertakan? Tradisi riset biasanya hanya dimiliki sarjana tertentu dengan keahlian tertentu. Sering kali mereka abai untuk melibatkan para pelaku pendidikan, seperti guru, kepala sekolah, dan orangtua, serta birokrasi di daerah untuk terlibat dalam sebuah riset kependidikan yang komprehensif.
Arti penting riset
Evidence atau bukti dan fakta yang dihasilkan dari sebuah riset ialah salah satu faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap pengambilan keputusan. Setiap keputusan dan kebijakan yang keluar dari sebuah institusi selaiknya dibangun bukan hanya dari opini dan pengalaman (experience and opinion-based policy), melainkan juga berdasarkan bukti kuat di lapangan (evidence-based policy).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Davies (1991) dengan amat baik menjelaskan tentang pentingnya evidence-based policy sebagai salah satu tool dalam mengintegrasikan pengalaman, penilaian, dan keahlian berdasarkan bukti kuat yang secara eksternal dihasilkan dari serangkan riset yang sistematis. Cara seperti ini bukan saja akan melibatkan dan mengutamakan keseimbangan antara penilaian profesionalitas dan keahlian di satu sisi, melainkan juga menggunakan validitas data yang reliable dan relevan berdasarkan hasil riset.
Dalam kasus kebijakan pendidikan, jenis social survey dan data administratif sangat penting untuk diketahui dan diperbarui melalui sebuah survei. Memetakan kondisi sosial, budaya, dan latar belakang pendidikan para pengelola sekolah, misalnya merupakan kewajiban yang seharusnya dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional setiap tahun, sedangkan jenis data administratif sekolah yang jarang dipublikasi kepada publik seperti penggunaan dana operasional sekolah, pola pelatihan dan pendidikan guru, serta data keterlibatan masyarakat/orangtua terhadap sekolah merupakan data-data serius yang juga layak untuk diketahui publik setiap tahun.
Pendek kata, survei dan riset menjadi penting untuk dilakukan untuk dan dalam rangka melihat dinamika operasional penyelenggaraan sekolah dari waktu ke waktu sekaligus sebagai bahan pertimbangan bagi kebijakan publik di bidang pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan kondisi aktual masyarakat.
Selain itu, survei juga dibutuhkan untuk melihat tiga hal. Pertama, sebagai basis analisis untuk melihat dan mengetahui apa yang dipikirkan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan secara sederhana. Kedua, sebagai verifikasi atas data dan atau asumsi yang berkembang di tengah masyarakat tentang pola penyelenggaraan sekolah, dan yang ketiga, jelas survei menjadi penting untuk sinkronisasi keluarnya sebuah kebijakan baru soal pembiayaan pendidikan, peningkatan kapasitas guru, serta usaha-usaha melihat potensi masyarakat terhadap bidang pendidikan yang lebih sesuai dengan kondisi aktual masyarakat.
Selain ketiga hal di atas, arti penting pengembangan riset bagi sebuah kebijakan juga dapat dilihat dari aspek kegunaan (use) dan pengaruh (influence). Tak jarang ditemui bahwa terkadang hasil dari sebuah riset digunakan untuk mengatasi sebuah masalah meski juga terkadang digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, dari aspek pengaruh, pengembangan dan kegunaan riset akan terlihat dari seberapa besar perubahan kebijakan ke arah yang lebih efektif dan efisien di tubuh sebuah lembaga seperti sekolah (Selby Smith et al 1998).
Arti penting riset juga akan terlihat berguna karena semakin banyak riset dilakukan dengan keterlibatan guru, kepala sekolah, dan masyarakat, validitas data dengan sendirinya akan jauh lebih baik. Jarangnya riset dan survei yang melibatkan guru dan kepala sekolah inilah yang menyebabkan matinya tradisi riset di lingkungan para guru karena riset selalu dimaknai sebagai sesuatu yang sulit dan tak bermanfaat. Contoh paling konkret, misalnya terlihat dari bagaimana cara guru dalam menyikapi kebijakan tentang penulisan ilmiah sebagai perangkat kelengkapan kenaikan pangkat. Tak jarang guru hanya melakukan copy paste terhadap persyaratan ini, tanpa mau bersulit-sulit melakukan riset dan analisis terhadap masalah yang ada di sekitar mereka.
Contoh lain juga terlihat ketika saya mencoba mengajak beberapa mahasiswa untuk membuat riset kecil tentang pengelolaan sekolah, manajemen kelas, serta menakar kemampuan pedagogis guru melalui serangkaian uji coba. Ketika para mahasiswa datang ke sekolah, yang ada dan terjadi ialah banyaknya penolakan dari kepala sekolah dan guru karena mereka melihat beberapa pertanyaan dalam survei tersebut mengganggu status quo para guru. Ini menunjukkan bahwa di lingkungan para guru dan kepala sekolah, riset tidak dijadikan tradisi untuk melihat perkembangan sebuah kebijakan di tingkat sekolah.
Selain itu, mengapa para kepala sekolah dan guru memandang remeh masalah riset dan survei kependidikan di tingkat sekolah? Karena mereka melihat antara data yang mereka kompilasi dan kebijakan yang keluar tak jarang berbeda secara diametral. Itu jelas bahwa tradisi riset harus terus dikembangkan di tingkat sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bersinergi dengan pendidikan tinggi dalam melahirkan riset dan survei kependidikan secara terus-menerus.
Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA, 16 Mei 2016