Industri Perlu Dilibatkan Sejak Awal Penelitian
Pemerintah menjamin riset-riset jahgka panjang yang menjadi prioritas, termasuk riset vaksin dengue oleh konsorsium, tetap berlanjut meski butuh waktu bertahun-tahun. Jika ada pelemahan perekonomian, kemungkinan riset tertunda atau terhenti amat minim.
”Riset vaksin dengue oleh konsorsium adalah prioritas, didukung Kemristek dan Dikti (Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi) dan Kemenkes (Kementerian Kesehatan),” ucap Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati, Selasa (1/11), di Jakarta.
Salah satu hambatan dunia riset di Indonesia adalah keberlanjutan pendanaan. Tahun ini misalnya, anggaran lembaga riset pemerintah dipotong karena penghematan anggaran pendapatan dan belanja negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti, kementerian tahun in meganggarkan Rp 710 miliar untuk sarana dan prasarana perguruan tinggi, turun dari anggaran 2015 yang Rp 1 triliun lebih.
Anggaran sarana prasarana itu termasuk untuk membiayai infrastruktur dan kelengkapan riset, seperti laboratorium dan gedung pusat riset. Padahal, dana terbatas membuat peneliti kerap menunda membeli alat dan bahan riset, serta memanfaatkan alat riset lembaga lain. Itu mengancam kelangsungan riset vaksin dengue (Kompas,1/11).
Meski demikian, Dimyati optimistis, antara lain karena pembiayaan riset oleh industri tumbuh. Contohnya; pada Program Pengembangan Teknologi Industri tahun 2016, sebanyak 43 persen anggaran berasal dari mitra, dan Kemristek dan Dikti menanggung 57 persen. ”Industri makin mau karena melihat prospek pasar,”ujarnya.
Syaratnya, industri dilibatkan sejak awal riset agar tahu manfaatnya dan berbagi pembiayaan. Itu terwadahi lewat sistem konsorsium, seperti di Konsorsium Vaksin Dengue yang melibatkan PT Bio Farma sejak awal.
Riset prioritas
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto menjelaskan, tanpa komitmen kuat sesama anggota konsorsium, kelangsungan anggaran riset inovasi bisa terhambat.
Meski demikian, BaIitbangkes akan terus mengalokasikan dana riset vaksin dengue. Sebab, itu jadi riset prioritas bidang penyakit infeksi bersama riset penyakit lain,yakni HIV, tuberkulosis, malaria, dan influenza.
Untuk malaria, riset untuk menguji resistensi obat anti malaria artemisinin. Adapun riset influenza untuk penguatan surveilans berbasis laboratorium.
Sementara di Bandung, peneliti senior PT Bio Farma (Persero) Neny Nuraeni memaparkan, sistem pendanaan riset vaksin dengue pada konsorsium tergantung daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pemerintah. Namun, pencairan dana pemerintah itu kadang terlambat.
Neny menambahkan, sistem administrasi tiap lembaga dalam konsorsium berbeda juga, kadang menyulitkan. ”Terbatasnya keahlian bidang ekspresi protein dengue serta lamanya waktu impor bahan baku dan habis pakai riset juga jadi kendala,” kata Neny.
Di Surabaya, Direktur Tropical Disease Center (TDC) Universifas Airlangga Maria Inge meyakini keberlanjutan riset dengue di TDC sebagai sala satu pusat unggulan riset Kemristek dan Dikti. Selain itu, dana riset mereka peroleh dari kerja sama-dengan lembaga luar negeri.
Namun, Inge mengaku sulit mengalokasikan biaya riset besar pada riset dengue dibanding kegiatan lain. Sebab pola pembiayaan riset sesuai ketersediaan peluang riset dari pemerintah. ”Tentu DBD jadi prioritas karena termasuk penyakit dengan prioritas penanganan tinggi,” ujarnya. (JOG/ADH/SEM/ODY)
Sumber: Kompas, 2 November 2016