Keanekaragaman Hayati; Siapkan Segera Lembaga Otoritas

- Editor

Senin, 13 Oktober 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah baru di bawah presiden terpilih Joko Widodo diharapkan segera menyiapkan kelembagaan sebagai penerapan Protokol Nagoya karena pada 12 Oktober 2014 protokol itu akan diadopsi secara internasional. Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol.

Selama ini, kebijakan tentang keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik tidak jelas meskipun sudah dibentuk Komisi Nasional Sumber Daya Genetik melalui Keputusan Kementerian Pertanian Tahun 2006 yang menggantikan Komnas Plasma Nutfah yang dibentuk 1976.

”Komnas itu tidak memadai karena tidak punya aspek legal, tidak ada anggaran atau lainnya. Apalagi hanya didukung (Kementerian) Pertanian,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Sukara, Kamis (9/10), saat dihubungi di Bogor, Jawa Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Endang Sukara dan Setijati Sastrapradja, keduanya penasihat implementasi Protokol Nagoya, dimintai pendapat terkait Pertemuan Para Pihak Ke-12 (COP-12) Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) di Pyeongchang, Korea Selatan, 6-14 Oktober 2014.

Menurut Endang, harus ada satu lembaga penanggung jawab (focal point) untuk menangani akses dan pemanfaatan bersama sumber daya genetik (SDG).

Setijati mengatakan, mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati (kehati), Indonesia seperti tidak melakukan apa-apa. Indonesia hanya mengedepankan konservasi, tetapi tidak memberikan kesempatan pemanfaatan oleh pihak lain. ”Padahal, kehati Indonesia memiliki potensi ekonomi tinggi,” katanya.

Konsekuensi meratifikasi Protokol Nagoya, Indonesia harus melaksanakan isi protokol terkait akses, keadilan, dan keseimbangan dalam pemanfaatan SDG serta kearifan lokal tentang kehati sesuai Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Endang menambahkan, sesuai protokol, setiap negara harus memiliki kedaulatan akan kehati. Lembaga itu bisa saja gabungan Kementerian Lingkungan Hidup yang melindungi ekosistem serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. ”Mereka memiliki otoritas soal akses dan pemanfaatan, sedangkan otoritas sains diserahkan kepada LIPI,” ujarnya. (ISW)

Sumber: Kompas, 10 Oktober 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB