Mencandu rokok tampaknya sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Hal ini tidak mengenal batas usia dan jenis kelamin. Ada kecenderungan kebiasaan merokok merambah usia muda, bahkan anak-anak.
Sekitar 2 dari 10 remaja usia 14-19 tahun, yang menjadi responden survei Litbang Kompas Maret 2013, mengaku sebagai perokok. Lalu, apa alasan mereka merokok?
Responden yang semuanya adalah pelajar SLTA menyatakan, merokok dapat mengurangi stres. Selain itu, kenikmatan yang diperoleh dan alasan coba-coba telah mengantar kelompok usia muda ini masuk dalam lilitan rokok.
Hasil survei tersebut merupakan sebagian gambaran perokok muda. Dalam lingkup yang lebih luas lagi, jumlah perokok dari kalangan remaja usia 15 sampai 19 tahun cenderung meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan pada 2010, kecenderungan merokok usia remaja meningkat hampir 3 kali lipat menjadi 20,3 persen dibandingkan tahun 1995. Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah usia perokok mula cenderung semakin muda dan jumlahnya cenderung meningkat.
Jika pada 1995, 3 dari 1.000 orang usia 10-14 tahun adalah perokok, pada 2007 ada 2 dari 100 orang di usia tersebut menjadi perokok.
Seolah keinginan sendiri
Ada hal yang mendorong orang muda tersebut untuk merokok. Responden survei Litbang Kompas mengaku, dorongan untuk merokok terutama muncul dari keinginan sendiri.
Faktor pendorong lain adalah teman.
Survei lain pernah dilakukan oleh Indonesia Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, dengan melibatkan 3.319 pelajar berusia 13-15 tahun. Satu dari sepuluh pelajar yang belum pernah merokok berencana untuk mencoba merokok tahun depan. Di kalangan mereka ada anggapan bahwa perokok memiliki lebih banyak teman dan terlihat lebih atraktif.
Survei tersebut juga memantau penetrasi promosi rokok. Sekitar 9 dari 10 responden dalam sebulan terakhir sering terpajan iklan rokok di papan reklame (billboard), 8 dari 10 sering terpajan iklan rokok di surat kabar atau majalah. Satu dari 10 responden dilaporkan memiliki barang (kaus, topi, tas, dan sebagainya) dengan logo perusahaan rokok atau tembakau. Sebanyak 7,7 persen remaja ini pernah mendapatkan rokok gratis dari perwakilan produsen rokok.
Tobacco Free Initiative (TFI-WHO) mencatat, separuh dari billboard di Indonesia berisi iklan tentang rokok. Mereka berkeyakinan, semakin sering orang muda melihat dan mendengar promosi dan sponsorship rokok, semakin besar peluang mereka menjadi konsumen rokok.
Hal ini sejalan dengan pengakuan Rizki, seorang pelajar SMA di Jakarta. Remaja laki-laki yang merokok sejak kelas 7 ini mengaku dirinya terpengaruh iklan televisi. ”Soalnya yang di televisi itu rokok enggak berbahaya. Iklannya juga bagus.” ujar siswa kelas X ini seperti dikutip Kompas.com.
Jumlah perokok kalangan muda cenderung meningkat seiring dengan peningkatan belanja iklan rokok. Menurut Nielsen, belanja iklan rokok pada 2006 mencapai Rp 1,6 triliun, meningkat menjadi Rp 1,78 triliun pada 2009. Pada periode tengah tahun pertama 2013 ini belanja iklan rokok sudah mencapai Rp 1,68 triliun.
Pantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak selama Januari-Oktober 2007, sekitar 1.350 kegiatan, atau rata-rata 135 kegiatan setiap bulan disponsori industri rokok. Aturan beriklan yang membatasi lalu disiati dengan merancang suatu kegiatan yang terlihat positif dan menarik simpati publik, terutama kalangan muda.
Menjadi sponsor pentas musik, program penghijauan, beasiswa pendidikan, mendanai pembangunan fasilitas kampus, dan kompetisi olahraga adalah beberapa contoh.
Disertai slogan ”enjoy aja”, ”buktikan merahmu”, ”gak ada loe gak rame”, ”gaya dalam pergaulan”, ”selera pemberani”, ”ekspresikan aksimu”, makin terasa pas sebagai ”ajakan” kepada kaum muda untuk merokok.
Propaganda tersebut dapat menggiring orang berpikiran, ”dengan merokok saya akan menjadi seseorang seperti yang mereka slogankan”. Rokok seolah mampu membangun citra diri sebagai seseorang yang sehat, sukses, eksklusif, gaul, dan dinamis.
Kerugian karena rokok
Rokok berhasil merembes ke kalangan muda usia. Sebagian dari perokok muda sudah menunjukkan gejala kecanduan.
Data Indonesia Global Youth Tobacco Survey di Jawa dan Sumatera menunjukkan peningkatan kasus kecanduan rokok. Perokok aktif usia 13-15 tahun yang memulai harinya dengan merokok, meningkat terutama di kalangan perempuan. Pada 2006 baru 1,6 persen, tetapi pada 2009 melonjak menjadi 6,6 persen.
Para perokok usia muda tersebut kemungkinan akan terus merokok berpuluh-puluh tahun kemudian.
Penelitian di bidang kesehatan berulang-ulang membuktikan bahaya merokok. Kerugian ini tidak hanya dipikul oleh perokok, tetapi juga orang di sekitarnya, bahkan negara.
Cukai rokok memang menyumbang pendapatan negara sekitar 55 triliun rupiah. Namun, kerugian ekonomi yang diterima, seperti biaya perawatan dan hilangnya pekerja produktif akibat penyakit terkait rokok, justru berkali lipat (diperkirakan mencapai Rp 231,27 triliun).(LITBANG Kompas)-Oleh: Antonius Purwanto
Sumber: Kompas, 17 September 2013