Karbondioksida yang Memusingkan

- Editor

Rabu, 13 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

KETIKA 20 tahun yang lalu, 5-16 Juni 1972 d! Stockhohm PBB menyelenggarakan Konferensi Lingkungan Hidup pertama, yang dikenal dengan Konferenai Stockholm, yang menjadi primadona masalah lingkungan global ialah sulfur dioksida(SO2) dan oksida nitrogen(NOx). Kedua gas limbah industri tersebut telah menimbulkan hujan asam.

Masalahnya SO2 dan NOx dari kegiatan suatu negara, terbawa angi n dengan kejauhan jelajah 100-2000km, jatuh sebagai hujan asam di negara lain. Lahirlah konsep: Pencemaran lingkungan tidak mengenal batas wilayah negara: ”Pollution knows no national boundary”. Konsep itu menyangkut negara-negara utara, negara-negara industri.

Duapuluh tahun kemudian, masalah hujan asam dikalahkan masalah yang lebih besar, efek rumah kaca, yang tidak saja melibatkan negara-negaraindustri di belahan bumi bagian utara, tetapi juga negara-negara di bumi bagian selatan. Sayangnya keterlibatan negara-negara Selatan lebih banyak pada posisi yang dirugikan. Penyebab utama efek rumah kaca gas karbon dioksida (CO2) yang merupakan limbah industri negara- negara maju, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masa Kini dan Purba
Berdasar sumbernya, dapat dibedakan CO2 masa kini dan CO2 purba. Kelompok pertama ialah CO2 masa kini berasal dari gas buangan pernapasan(respirasi) hewan dan manusia setiap saat, dan dari
tumbuhan pada malam hari, dari pembakaran kayu dan proses perombakan atau penguraian sisa-sisa tumbuhan dan hewan oleh mikrobia.

Gunung berapi yang masih aktif mengeluarkan pula CO2. Dari CO2 kelompok ini sebagian besar secara alami dipakai tumbuhan hijau di darat untuk proses fotosintesis dengan adanya sinar matahari. Sebagian dari CO2 ini larut di dalam air pada temperatur normal, sebagian Iagi membentuk asam karbonat lemah H2CO3.Tumbuhan ini bersel satu atau fitoplankton seperti juga tumbuhan di darat memakai CO2 terlarut untuk fotosintesis di siang hari pada seat ada sinar matahari. Karena permukaan air di bumi jauh lebih besar dari permukaan daratan, maka diperkirakan CO2 yang disimpan di air 60 kali lebih banyak dari CO2 atmosfer. Sebagian CO2 yang masih di udara secara alami ada yang bereaksi dengan uap air yang berupa awan, sehingga terbentuk H2CO3, yang menyebabkan air hujan mempunyai derajat keasaman pH 5,6 yaitu pH air hujan yang normal.

Sisa CO2 yang tidak terpakai dalam proses-proses di atas menjadi bagian dari atmosfer bumi, yang menjaga kehangatan bumi. Sifat CO2 yang seperti kaca itu, meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energ i cahaya ke permukaan bumi. Setelah menyentuh bumi, pancaran energi cahaya mengalami transformasi menjndi panas atau sinar infra merah yang dipancarkan kembali ke angkasa. Namun CO2 menyerap panas itu, dipantulkan kembali ke permukaan bumi, sehingga bumi menjadi hangat. Jadi CO2 masa kini menjaga bumi tetap hangat , tidak beku karena kedinginan.

Kelompok kedua ialah CO2 masa purba. CO2 ini berasal dari pemakaian atau pembakaran minyak bumi, gas alam dan batubara. Minyak bumi (bensin, minyak tanah, solar, avtur) dan gas alam (Elpigi, LNG) serta batubara berasal dari hewan dan tumbuhan masa lalu yang tertimbun jutaan tahun. Oleh karena sisa atau bekas kehidupan masa lalu (purba) disebut sebagai fosil, maka minyak bumi, gas alam dan batubara disebut bahan bakar fosil. Di dalam kegiatannya, negara-negara maju telah membakar bahan bakar fosil dalam jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun sehinggn sejak dimulainya industrialisasi di negara barat sampai saat ini terjadi kenaikan konsentrasi CO2 global.

Tahun 1870, 1959, dan 1987 tercatat konsentrasi CO2 masing-masing sebesar 290, 316, dan349 ppm. Kenaikan konsentrasi CO2 tersebut sejalan pula dengan fenomena kenaikan suhu bumi sebesar 4oC di beberapa kota besar di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Efek Rumah Kaca
Dengan kenaikan konsentrasi CO2 yang bersumber pada pemakaian bahan bakar fosil telah timbul efek rumah kaca. Kenaikan suhu bumi itu sendiri telah memperbanyak dan menaikkan konsentrasi CO2 atmosfer. Karena kenaikan suhu bumi juga mengakibatkan bertambah hangatnya air laut yang pada gilirannya mengurangi daya kelarutan CO2 di dalam air laut,sehingga sebagian CO2 dari dalam laut akan memasuki atmosfer.

Padahal konsentrasi CO2 terlarut di dalam laut sekitar 60x konsentrasi CO2 di atmosfer. Dapat dibayangkan CO2 yang menguap dari laut ke atmosfer cukup banyak. Semakin banyak pula panas yang dipantulkan CO2 kembali ke bumi, berarti bumi semakin panas.

Para ahli berpendapat pemanasan global dapat menyebabkan meleleh dan mencairnya es di kutub yang akan menaikkan permukaanair laut antara 60-90 m, yang berarti akan menenggelamkan 20% dari daratan bumi. Florida di Amerika Serikat akan ditenggelamkan oleh air laut, Los Angeles dan New York akan tinggal sisa-sisanya berupa puncak-puncak pencakar langit yang muncul di permukaan air. Kenaikan panas bumi menyebabkan pula kegagalan pertanian, yang pada gilirannya negara maju dan kaya seperti USA akan berubah jadi negara miskin dengan penduduknya yang kelaparan.

Negara kepulauan Jepang akan tinggal 1 pulau saja, Fujiyama. Yang lebih drastis, negara-negara di Eropa Barat, terutama Belanda akan tenggelam, sebagian lagi kebanjiran atau terendam air. ltulah ketakutan yang mengancam negara-negara industri.

Kekeliruan Industri Barat
Menghadapi efek rumah kaca, negara industri seperti Amerika Serikat khawatir setengah mati akan kiamat yang akan dialaminya karena p erilaku industrinya sendiri. Mereka bertanya; Bagaimana caranya agar CO2 (yang menimbulkan pencemaran panas dan efek rumah kaca itu) dapat dibersihkan oleh pihak lain. Itulah kekeliruan mereka yang pertama, karena seyogyanya mereka bertanya bagaimana upaya mereka membatasi atau mengurangi CO2 yang mereka sendiri.

Mereka menuding negara-negara berkembang yang mengalami kebakaran hutan sebagai penyebab efek rumah kaca. Inilah kekeliruan mereka yang kedua. Sesungguhnya CO2 yang berasal dari kebakaran hutan, adalah CO2 masa kini yang begitu terbentuk di atmosfer diabsorbsi oleh tumbuhan hutan yang tidak terbakar disebelahnya untuk proses fotoiosintesis.

CO2 penyebab efek rumah kaca tidak bersumber pada kebakaran hutan yang tidak setiap hari terjadi dan yang relatif sangat kecil konsentrasinya dibandinkan dengan CO2 dari bahan bakar fosil yang dipakai pada kegiatan industri mereka yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung yaitu di USA saja limbah industri tidak kurang dari 3juta ton CO2 setiap harinya!

Kemudian negara industri tersebut ”melarang” (apa haknya melarang?) negara pemilik hutan tropis yaitu Indonesia, Zaire dan Brazilia untuk tidak lagi menebang hutan mereka, karena hutan tropis adalah paru-paru bumi, dan bumi hanya satu, milik bersama. Inilah kekeliruan ketiga negara industri.

Sebab bila mereka mau mengingat dan tidak lupa kaedah ekologi yaitu bahwa untuk keseimbangan gas-gas atmosferik iklim bumi maka setiap wilayah (negeri) seyogyanya mempunyai hutan antara 30-35% luas wilayah.Yang dilupskan mereka, ialah bahwa tidak satupun negara industri mempunyai kawasan hutan yang melebihi 19% luas wilayah mereka; misalnya Belanda, hanya mempunyai 7% hutan.

Indonesia yang luas daratannya 191 juta ha memiliki 143,97 juta ha hutan atau sekitar 75% luas wilayahnya, dua setengah kali persyaratan. Apalagi bila diingat fungsi hutan untuk fotosintesis, hutan lndonesia yang 75% itu berperan sepanjang tahun. Sementara hutan mereka yang tidak berdaun waktu musim gugur dan musim winter yang berarti efisiensinya hanya seperdua jumlah yang ada atau setara dengan pemilikan hutan 3 setengah – 9 setengah persen saja

Make kekeliruan negara-negara industri itu adalah bahwa mereka tidak berpikir untuk menghutankan kembali wilayah mereka agar mempunyai hutan sampai 30-35% tetapi melarang negara berkembang yang masih mempunyai hutan yang berlebihan yang merupakan miliknya sendiri.

Keangkuhan Negara Industri
Sudah terlalu banyak tenggang dan toleransi yang diberikan negara berkembang untuk negara maju. Bayangkan, andaikata bumi kita ini dilihat dari angkasa luar, maka bumi ini seolah-olah sebuah pesawat antariksa yang sesungguhnya. Pesawat Bumi ini, sepertiga penumpangnya adalah penumpang kelas satu (executive dan business class), yang dua pertiga lagi adalah penumpang keIas ekonomi.

Penumpnng kelas satu adalah negara-negara industri maju, penumpang kelas ekonomi adalah Negara-negara berkembang. Penumpang kelas satu yang jumlahnya hanya 1/3 itu, mengkonsumsi 87%- 90% sumberdaya Pesawat Bumi ini. Hanya tersisa 10% untuk penumpang yang jumhhnya 2X lipat penumpang kelas satu! Alangkah dalamnya jurang pemisah antara keduanya! Alangkah angkuhnya mereka.

Harapan dari KTT Bumi
Bila negara berkembang harus memelihara hutan-hutan tropis mereka karena itu adalah paru-paru bumi milik bersama, maka negara berkembang harus mengingatkan negara maju bahwa mereka harus mengeluarkan dana untuk pemeliharaan tersebut.

Negara berkembang, menebang hutanmereka untuk membantu pertumbuhan ekonominya; sekarang itu harus dihentikan, karena untuk kepentingan negara maju jug, maka negara maju harus mengeluarkan dana untuk membantu negara berkembang dalam melestarikan lingkungan, melestarikan hutan dengan keanekaragaman hayatinya. Kerjasama demikian lebih menggambarkan bahwa kita semua masih bertanggungjawab dalam memelihara kelangsungan peradaban manusia di bumi ini.

DR Shalihuddin Djalal Tandjung M.Sc. adalah Staff Ahli Menteri Negara KLH. Pengelola Program S2 Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana/ Peneliti PPLH/ Dosen Fakultas Biologi UGM

Sumber: Kedaulatan Rakyat, Senin, 8 Juni 1992

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 48 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB