Penderita kanker kolorektal atau usus besar di Indonesia terus bertambah, termasuk pada kelompok penduduk usia produktif. Mayoritas pasien yang berobat sudah dalam stadium lanjut dan memiliki penyakit penyerta. Karena itu, penanganan pasien perlu pendekatan multidisiplin.
Prof Aru Wisaksono Sudoyo memaparkan hal itu dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), di Depok, Jawa Barat, Sabtu (16/1). Pada kesempatan yang sama, Prof Setyowati dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Kini UI mempunyai 300 guru besar.
Aru mengatakan, kanker menjadi masalah yang kian besar di dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat kanker diperkirakan akan melebihi jumlah total kematian akibat AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Jika tidak ditanggulangi secara serius, angka kematian akibat kanker akan naik 80 persen pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip data Globocan 2012, secara global, kini kasus kanker kolorektal termasuk tiga besar kanker di dunia. Di Indonesia, jumlah kanker kolorektal terus meningkat. Memang pencatatan kanker di Tanah Air belum sempurna. Dari 1.659 pasien kolonoskopi di sebuah rumah sakit swasta pada 2014, ada 334 kasus dengan keganasan (20,9 persen).
Selain itu, Bagian Patologi Anatomi UI mencatat, 30 persen pasien kanker kolorektal berusia di bawah 40 tahun. Padahal, di negara maju, pasien kanker kolorektal di bawah usia 40 tahun hanya sekitar 3 persen. “Kanker kolorektal terkait lingkungan dan gaya hidup,” ucap Aru.
Stadium lanjut
Selain itu, mayoritas pasien kanker kolorektal berobat ke rumah sakit pada stadium lanjut. Gejala kanker usus besar agak sulit dikenali. Pasien terus merasa perutnya tak nyaman, bentuk feses berubah-ubah, dan kadang ada darah di feses.
Penanggung Jawab Klinik Utama Yayasan Kanker Indonesia Sasana Marsudi Husada, Rebecca N Angka, menyatakan, sejauh ini belum ada program deteksi dini kanker kolorektal (Kompas, 20 April 2015).
Aru memaparkan, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, 34 persen pasien kanker kolorektal dalam kondisi kanker menyebar ke organ hati. Kanker kolorektal kerap tak berdiri sendiri atau ada penyakit penyerta, menyebar ke hati, dan banyak variasi terapi.
Terkait hal itu, pendekatan multidisiplin dari tim jadi penting. Penekanan tim multidisiplin itu diarahkan pada pengambilan keputusan pengobatan yang kolaboratif, memaksimalkan tim inti dengan tiap-tiap kompetensi, dan terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.
Sejak dulu, lanjut Aru, pendekatan multidisiplin itu sudah ada, tetapi hanya pada kondisi penyakit sulit sebagai sarana pendidikan dan pelatihan. Kini pendekatan tim diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Namun, kerja sama tim dalam menangani pasien kanker kolorektal menghadapi sejumlah tantangan. Kendalanya antara lain sulit mencari jadwal bersama karena jadwal tiap dokter spesialis berbeda, ego dokter spesialis terganggu saat pendapatnya dipertanyakan, terlalu banyak kasus yang perlu dibahas, putusan rapat kadang tak dijalankan dan kembali pada dokter yang langsung menangani pasien. (ADH)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Januari 2016, di halaman 9 dengan judul “Butuh Penanganan Multidisiplin”.