Kajian peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, tentang potensi tsunami di selatan Jawa yang disampaikan dalam forum ilmiah tidak bisa dipidanakan. Polisi dinilai mengancam prinsip kebebasan akademik dan melemahkan edukasi publik tentang risiko bencana jika tetap membawa hal ini ke ranah pidana.
Informasi yang diperoleh Kompas, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten telah mengirim surat permintaan keterangan kepada Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Serang Sugarin. Pada 3 April 2018, Widjo menyampaikan temuannya dalam seminar ilmiah ”Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat” yang diselenggarakan BMKG.
Dalam poin ketiga surat panggilan tertanggal 9 April 2018 kepada Sugarin disebutkan, ”Untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan dugaan tindak pidana berita bohong, dan dapat menimbulkan keonaran, sebagaimana dimaksud dalam UU RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli hukum dan Ketua Pusat Studi HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengatakan, tindakan polisi itu bertentangan dengan Prinsip-prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik yang ditandatangani pada 6 Desember 2017. Prinsip itu mengharuskan otoritas publik, termasuk kepolisian, untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
”Presentasi hasil kajian ilmiah bukan di ranah pidana, melainkan di ranah keilmuan. Apalagi polisi mendasarkan penyelidikan tersebut berdasarkan tafsir pemberitaan media yang kerap tidak lengkap dan tidak proporsional,” katanya.
Potensi daerah landaan dan ketinggian tsunami jika zona megathrust dari Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat mengalami gempa dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, maka ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunaminya 57 meter. Skenario terburuk ini didapatkan dari hasil pemodelan.
Sumber: Widjo Kongko, BPPT, 2018
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Komisaris Besar Abdul Karim di Serang mengatakan, permintaan klarifikasi kepada Widjo dilakukan untuk meredam keresahan. ”Apa yang kami lakukan itu agar isu yang sempat beredar bisa diredam. Surat akan kami kirimkan kepada Widjo, tapi bukan surat panggilan. Itu surat klarifikasi,” katanya.
Hak jawab
Secara terpisah, Widjo mengatakan telah mengirimkan hak jawab dan surat keberatan kepada media daring yang dinilainya salah menuliskan hasil penelitiannya. Dalam surat keberatan itu disebutkan bahwa sebagai perekayasa BPPT, dalam paparan di seminar itu dirinya tidak pernah menyampaikan prediksi/ramalan gempa bumi dan tsunami.
Dalam tanggapannya, media daring itu telah meminta maaf atas kata ”prediksi” di dalam berita yang dimaksud. Widjo selaku narasumber tidak menyampaikan kata ”prediksi”, melainkan ”potensi” dalam kajiannya.
Dengan dimuatnya hak jawab, kata Herlambang, proses penyelidikan di kepolisian semakin tidak relevan. ”Ini sekarang menjadi ranah Undang-Undang Pers,” katanya.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengatakan, agar lebih jelas (duduk perkaranya), peneliti sebaiknya mengadukan masalah ini kepada Dewan Pers. ”Selanjutnya, hasil dari pengaduan di Dewan Pers bisa dipakai peneliti untuk memberikan penjelasan kepada polisi,” katanya.
Sesuai dengan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepala Polri, apabila ada dugaan terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan pemberitaan pers, penyelesaiannya mendahulukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lain.
Secara terpisah, kalangan ilmuwan dan praktisi kebencanaan menyiapkan petisi untuk menolak kriminalisasi terhadap Widjo. Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari mengatakan, intervensi polisi terhadap kajian ilmiah dikhawatirkan justru akan melemahkan upaya edukasi publik terhadap risiko bencana tsunami.
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah menyerukan kepada para pemangku kepentingan untuk memberikan dukungan moril kepada Widjo. Sebagai peneliti yang bernaung di bawah lembaga pemerintah, Widjo diyakini telah melakukan penelitian sesuai dengan metodologi ilmiah yang teruji dan jauh dari itikad meresahkan masyarakat. (AIK/ABK/BAY/NAR)
Sumber: Kompas, 10 April 2018