Sejak 2016, Kadirun berperang terhadap sampah plastik di kampung di Desa Murbaya, Lombok Tengah. Alih-alih didukung, ia malah dicibir tetangga. Tapi semua berubah beberapa tahun kemudian.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Kadirun
Berangkat dari keprihatinan pada banyaknya sampah yang mengotori sawah, kebun-kebun, dan memicu pertengkaran antar warga di kampungnya, Kadirun (50) bergerak memberantas sampah secara sukarela. Meski dicibir oleh tetangga, ia bergeming. Orang mulai mengakui langkahnya setelah ia berhasil mengubah sampah plastik jadi barang berguna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekarang, Kadirun berhasil membuka mata banyak orang karena selain berhasil menjaga lingkungan, ia juga menyulap sampah plastik menjadi barang berguna seperti paving block, bahan bakar cair, hingga gemuk mesin.
Kadirun mengawali perjalanan mengolah sampah sejak 2016. Saat itu, warga di tempat tinggalnya, sering membuang sampah ke sungai. Sampah plastik yang tak bisa didaur ulang (non recycle plastic/NRP ) seperti kresek dan pembungkus makanan itu pun masuk ke sawah baik milik warga.
“Akibatnya, padi sulit tumbuh dengan baik karena tertutup oleh sampah. Bahkan, banyak yang rusak,” kata Kadirun, Senin (25/11/2019), di Dusun Dasan Baru, Desa Murbaya, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, warga Dasan Baru juga suka membuang sampah ke pekarangan warga lain. Itu membuat pemilik pekarangan marah dan terganggu sehingga memicu pertengkaran. “Berangkat dari berbagai alasan itu, saya tergerak mengumpulkan sampah,” kata Kadirun.
Dia membuat bak penampungan sampah, supaya warga tidak membuang sampah sembarangan. Tetapi karena wadahnya terbatas, dia kemudian merelakan kebunnya sebagai tempat pembuangan sampah warga. “Lama-lama menumpuk. Bikin risih juga. Akhirnya, dibakar begitu saja. Tapi tidak ada hasil apapun,” tutur Kadirun.
Di akhir 2016, Kadirun terinspirasi membuat paving block dari sampah plastik yang dibakar. Ia kemudian meminjam cetakan pada salah satu warga yang membuat paving block.
Proses pembuatannya termasuk sederhana. Untuk satu keping paving block, Kadirun membutuhkan tiga kilogram NRP. Sampah itu kemudian dipanaskan di dalam wadah besi (awalnya Kadirun menggunakan kaleng cat) selama sekitar 15 menit. Setelah meleleh dan dalam kondisi panas, sampah itu dituang ke cetakan. Setelah dingin, kemudian dilepas dari cetakan.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Kadirun dengan bahan bakar cair dari sampah plastik yang ia buat di rumahnya di Dusun Dasan Baru, Desa Murbaya, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Senin (25/11/2019).
“Ternyata berhasil. Sampah yang selama ini saya kumpulkan dan bakar ternyata punya manfaat,” kata Kadirun.
Uji coba
Awalnya, paving block yang dibuat kurang bagus, susah terbentuk, dan berongga. Itu karena ia menggunakan berbagai jenis sampah plastik tanpa memilahnya terlebih dahulu. Setelah melewati sekian percobaan dan mendapat masukan dari dosen putranya, Amrul Ikhsan (22) yang kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Mataram, paving block yang ia buat semakin bagus. Kekuatan tekan dan kualitas bentuk hampir setara dengan paving block dari beton.
Meski di awal tidak langsung bisa dikomersialkan, namun keberhasilan membuat paving block dari sampah plastik semakin menyulut semangat Kadirun. Ia memutuskan untuk fokus bergelut dengan sampah. Dari semula memanfaatkan sampah plastik yang terkumpul di kebun belakang rumahnya, Kadirun mulai mengumpulkan sampah dari kampung lain. Kesibukan itu, membuatnya berhenti dari pekerjaan sebelumnya yakni membuat batu bata.
“Mobil bak terbuka yang biasa digunakan untuk mengantar batu bata saya jual. Hasil penjualan selain untuk kebutuhan biaya mengolah sampah, juga untuk kehidupan sehari-hari. Kan paving block tidak bisa langsung dijual,” kata Kadirun.
Dicibir
Apa yang dilakukan Kadirun tidak serta merta mendapat respon positif dari warga. Ia bahkan sempat dicibir dan dicap gila. Tapi Kadirun tidak mempedulikan hal itu. Baginya, merespon itu hanya menghabiskan waktu. Apalagi keluarganya mendukung.
“Orang-orang memang butuh bukti, baru bisa percaya apa yang kita lakukan. Jadi saya berniat membuktikannya,” kata Kadirun.
Kadirun terus mengumpulkan sampah di tempat tinggalnya dan Desa Murbaya. Ia juga mulai memproduksi paving block. Proses itu berjalan selama dua tahun hingga 2019. Setahun terakhir, produksinya dipindah ke bengkel sederhana yang dulu digunakan sebagai tempat memproduksi batu bata. Ia dibantu anaknya dan salah seorang kerabatnya.
Pada April 2019, untuk pertama kalinya, Kadirun menjual paving block sepanjang 3 meter persegi ke Lombok Utara. Satu meter persegi berisi 36 keping paving block. Satu meter persegi dijual Rp 200.000. Tak berapa lama, pesanan dari tempat lain yakni Lombok Barat sebanyak 10 meter persegi paving block.
“Kemarin, bahkan ada yang pesan segera paving block untuk 1 kilometer persegi. Tetapi, saya tolak karena tidak sanggup memenuhinya,” lanjut Kadirun.
Sudirman, pengajar FMIPA Unram yang melakukan uji kuat tekan paving block buatan Kadirun mengatakan, kualitasnya sudah bagus. Daya tahannya berada pada angka 139 kilogram per sentimeter persegi atau hampir setara dengan paving block beton yang mencapai 142 kilogram per sentimeter persegi.
“Teknologi yang digunakan Kadirun sangat visible untuk bisa direalisasikan di setiap desa. Kualitas produknya juga masih bisa ditingkatkan. Ini sangat bagus karena paving block juga mengkonsumsi banyak plastik,” katanya.
Belakangan Kadirun mulai kesulitan mendapatkan sampah. Menurut dia, jumlah sampah di dusunnya dan Desa Murbaya terbatas untuk bisa terus membuat paving block. “Saya siasati dengan keluar desa, mencari sampah di desa lain, termasuk pasar-pasar. Pemilik toko juga sudah tahu, jadi mereka mengumpulkan sampah yang tak bisa didaur ulang,” tutur Kadirun.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Kadirun dengan paving block berbahan sampah plastik yang ia buat di rumahnya di Dusun Dasan Baru, Desa Murbaya, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Senin (25/11/2019). Kegiatannya berhasil mengurangi sampah di Desa Murbaya.
Selain ke pasar-pasar, Kadirun bersama Bank Sampah “Peripih Doro” yang diinisiasi oleh anaknya, juga sekali seminggu berkeliling ke obyek-obyek wisata untuk mengumpulkan sampah. Belakangan, sejak aktivitas Kadirun makin dikenal, berbagai pihak tertarik untuk bekerja sama mengumpulkan sampah.
“Tetapi tidak semua bisa kami layani. Salah satunya karena tidak ada kendaraan untuk mengangkutnya ke tempat kami. Sampah-sampah yang kami ambil, sementara diangkut pakai motor. Itu pun hanya bisa satu karung sekali jalan,” ujar Kadirun.
Meski menghadapi berbagai kendala baik tempat dan peralatan, termasuk biaya, namun Kadirun optimistis dengan pilihannya. Tidak hanya karena ia mulai bisa berproduksi dan dilirik pembeli, tetapi misi lain yakni menjaga lingkungan dan meredakan pertengahan ikut terwujud.
Jika berkunjung ke Dasan Baru, kampung Kadirun itu terlihat bersih. Tidak hanya jalan raya, rumah-rumah warga, kebun, dan sawah bersih dari sampah plastik. Sebagian besar sampah plastik itu telah “disulap” jadi paving block.
Kadirun
Lahir: Murbaya, Lombok Tengah, 20 Mei 1970
Istri: Nurjannah (45)
Anak:
Yunita Wulandari (26)
Amrul Ihsan (22)
Lia Qomaladewi (19)
Maulana Ibrahim (8)
Pendidikan:
STM Mataram (sekarang SMKN 3 Mataram), lulus 1987
Oleh ISMAIL ZAKARIA
Sumber: Kompas, 12 Desember 2019