Selama 40 tahun terakhir, jumlah anak dan remaja gemuk berusia 5-19 tahun naik empat kali lipat. Trennya mengikuti pola kegemukan di negara maju, lebih banyak anak lelaki kegemukan daripada perempuan. Hal itu meningkatkan risiko penyakit degeneratif di masa depan yang membebani ekonomi negara.
Studi yang dilakukan NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC), jaringan ahli kesehatan global di hampir 200 negara, dipublikasikan di jurnal The Lancet, Selasa (10/10), menyebut, 124 juta anak obesitas dan 213 juta anak kelebihan berat badan pada 2016, mayoritas di antaranya pria. Di waktu sama, 192 juta anak punya bobot kurang, sebagian besar juga lelaki.
Studi itu dipublikasikan menyambut Hari Obesitas Dunia yang diperingati setiap 11 Oktober. “Meski tingkat obesitas anak-anak di negara Eropa berpendapatan tinggi relatif stabil, laju peningkatan anak obesitas di dunia mengkhawatirkan,” kata pemimpin studi, Majid Ezzati, profesor bidang kesehatan lingkungan global, Imperial College London, Inggris, seperti dikutip BBC, Rabu (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak awal studi, anak-anak di negara maju di Amerika Utara atau Mediterania mengalami obesitas tinggi. Empat dekade berikut jumlahnya naik, tapi tak drastis.
Sebaliknya, di negara yang dulu termasuk negara berkembang dan kini jadi negara berpendapatan menengah tinggi, seperti China dan Malaysia, jumlah anak kelebihan berat badan melaju pesat.
Namun, negara-negara Polinesia dan Mikronesia menghadapi kegemukan yang mengkhawatirkan karena separuh populasi muda kegemukan dan obesitas. “Soal besar ini akan memburuk,” kata peneliti obesitas Sekolah Kedokteran Tropis dan Higienitas London Harry Rutter.
Terus meningkatnya kegemukan jadi kekhawatiran global karena anak gemuk cenderung tumbuh jadi orang dewasa gemuk. Itu meningkatkan risiko masalah kesehatan serius, mulai dari menurunnya kebugaran tubuh hingga berbagai penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus tipe 2, jantung, stroke, serta kanker payudara dan kanker usus besar.
Berbagai soal itu akan membebani ekonomi dunia. Federasi Obesitas Dunia (WOF) memperkirakan biaya perawatan penyakit kronis dengan faktor risiko obesitas 1,2 triliun dollar AS atau Rp 16.200 triliun per tahun mulai tahun 2025.
Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Trennya sama. Selama empat dekade terakhir, prevalensi kelebihan berat badan untuk anak laki-laki naik 33 kali dan untuk anak perempuan 18 kali. Sebelum 2006, anak gemuk didominasi perempuan. Setelah itu, kondisinya berbalik.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebut 18,8 persen anak umur 5-12 tahun kelebihan berat badan. Kegemukan tak lagi didominasi anak mampu. Mereka yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah bawah dan di perdesaan pun banyak yang gemuk.
Mencuatnya dua kasus anak dengan obesitas parah pada 2016, yaitu Arya Permana (11) dari Karawang, Jawa Barat, dan Rizki Rahmat Ramadhan (11) dari Palembang, Sumatera Selatan, hanyalah gunung es dari masalah kegemukan yang mengintai anak Indonesia.
Selain kasus kegemukan, Indonesia masih dibelit masalah sebaliknya, yakni anak berbobot kurang, khususnya pada anak balita. Dalam satu dekade terakhir, sepertiga anak balita mengalami stunting alias tinggi tubuh lebih pendek daripada tinggi seharusnya sesuai usia.
Sumber utama kegemukan ialah penumpukan kalori di tubuh, lebih banyak asupan kalori dari makanan ketimbang kalori yang dibakar. Pola makan yang keliru juga membuat metabolisme tubuh melambat. Kegemukan juga bisa dipicu penyakit atau penggunaan obat tertentu.
Faktor sosial dan budaya juga berpengaruh. Kenaikan kesejahteraan masyarakat mendorong konsumsi makanan olahan. Makanan siap saji kian populer di kalangan anak-anak. Padahal, makanan itu tinggi kalori, kaya lemak, garam, dan gula. Makanan itu enak, tapi tak sehat.
“Gaya hidup kurang gerak dan kurang olahraga bisa memicu kegemukan,” kata Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman, Kamis (12/10), di Jakarta.
Sebagian masyarakat juga menganggap gemuk ialah simbol kemakmuran. Gemuk dianggap lambang kesuksesan bagi para perantau atau lambang kekayaan bagi mereka yang telah menikah.
Di sisi lain, iklan makanan siap saji dan olahan amat gencar dilakukan industri, lengkap dengan promosi dan diskon. Sebaliknya, kampanye pola makanan sehat nyaris tak terdengar.
Karena itu, Dedi berharap pemerintah menggencarkan kembali kampanye bahaya obesitas dan pola makan bergizi seimbang melalui berbagai media. Jika soal anggaran jadi kendala berkampanye di media cetak dan elektronik, media sosial bisa dimanfaatkan secara gratis.
Di masa lalu, pemerintah berkampanye “4 sehat 5 sempurna” masif, mulai posyandu sampai masuk kurikulum sekolah. Kampanye itu diingat hingga kini. Meski pola makan 4 sehat 5 sempurna itu tak relevan lagi karena mengabaikan keragaman jenis dan porsi, pola kampanye masif bisa ditiru untuk menyosialisasikan pola makan dengan gizi seimbang.
“Konsumsi makanan beragam, perilaku hidup bersih, aktif beraktivitas fisik, dan mempertahankan berat badan ideal harus dikampanyekan untuk mencegah kelebihan berat badan,” ucap Dedi. (MZW)
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2017