Sama seperti pada penyelenggaraan acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 24 Maret 2015, pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, 8-11 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo juga tidak hadir.
Ketidakhadiran seorang presiden dalam acara temu ilmiah menjadi pertanyaan penting mengenai keberpihakan pemerintah dalam kebijakan riset. Dengan kata lain, riset masih menjadi anak tiri dalam kebijakan pemerintahan Jokowi setahun ini.
Hal tersebut berbeda dengan sikap Presiden Tiongkok, Perdana Menteri Jepang, ataupun Kanselir Jerman yang langsung mengiyakan datang dalam acara serupa di negaranya. Mereka datang dan bertemu untuk mendiskusikan hasil riset yang sudah dikerjakan dan dihasilkan untuk disalurkan kepada pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbasis riset
Dalam kasus Indonesia, pengedepanan hasil kebijakan berbasis riset (policy-based research) dan hasil kajian berbasis riset (evidence-based research) belum mendapatkan perhatian lebih. Implikasinya, kebijakan pemerintah yang dihasilkan selama ini dibuat berdasarkan nalar by agenda dan by issue, bukan by research. Kondisi itulah yang menyebabkan hasil riset bertumpuk di gudang kantor pemerintah.
Fungsi litbang yang sejatinya sebagai lembaga penelitian dan pengembangan justru dipelesetkan menjadi lembaga sulit berkembang. Munculnya akronim itu menunjukkan bahwa riset adalah dunia satire dan ironi.
Meskipun kini Dikti sudah digabung dengan Kemenristek, belum tampak ada gebrakan. Upaya menyinergikan riset yang dikomandoi Dikti melalui PTN, PTS, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi koordinator litbang di setiap kementerian dan nonkementerian belum menunjukkan hasil signifikan.
Perumusan kebijakan
Dunia riset seharusnya menjadi arena strategis bagi perumus kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dibangun melalui proses agenda setting oleh para stakeholder yang ingin kepentingannya dipenuhi dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Adanya subyektivitas personal dan kolektif yang dipilih dalam merumuskan kebijakan publik menyebabkan dimensi kemaslahatan kebijakan tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Kebijakan tanpa didasari hasil riset hanya berujung pada pemborosan anggaran karena tidak ada dasar obyektivitas ilmiah yang dijadikan parameter.
Meski demikian, bicara dunia riset di Indonesia adalah suatu keprihatinan klasik yang selalu berulang. Salah satunya, masalah anggaran riset yang hanya 0,9 persen dari APBN, padahal idealnya 1,5 persen. Selain itu, redistribusi hasil riset dari lembaga penelitian yang tidak merata dan hanya menumpuk di gudang, birokratisasi ilmu pengetahuan sehingga menjadikan peneliti seperti dalam penjara panopticon negara karena selalu diawasi secara sadar dan tidak sadar, dan masalah kesejahteraan peneliti yang dirasa kurang dibandingkan dengan rekan sejawat peneliti di negara-negara lain.
Implikasinya bisa kita simak bahwa pola brain drain akan selalu berulang setiap tahun daripada kita berharap brain gain tanpa ada perbaikan internal di dalamnya. Kenyataan bahwa Presiden berhalangan hadir membuka acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 2015 sudah menyimbolkan bahwa kajian riset masih dianaktirikan. Sebaiknya Presiden memang hadir dalam acara Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) di LIPI jika masih peduli dengan ilmu pengetahuan.
Menurut rilis R&D Magazine pada 2014, posisi Indonesia berada di bawah 1 persen dalam pengembangan riset. Artinya, masyarakat Indonesia berada dalam masyarakat tanpa pengetahuan karena minimnya ilmu pengetahuan yang diolah dan diterapkan.
Secara politis, pemilihan LIPI sebagai tuan rumah Kipnas ke-11 juga mengandung pesan simbolis kepada pemerintah. Pertama, penguatan lembaga penelitian jadi lembaga penelitian dan pengembangan. Selama ini posisi sebagai lembaga penelitian dinilai tidak bisa bergerak bebas dalam menyebarkan hasil kajian riset. Riset itu hanya dilakukan secara internal, hasilnya untuk internal dan menjadi buku, tanpa masyarakat sebagai user mengerti proses terciptanya ilmu pengetahuan.
Bebas dan meluas
Adanya nuansa mendakik dan menukik itulah yang menjadikan lembaga penelitian tidak membumi dan familiar di kalangan masyarakat. Maka, dengan adanya dimensi pengembangan, ilmu pengetahuan itu secara independen bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas dan meluas.
Kedua, penguatan LIPI sebagai lembaga koordinator institusi riset di seluruh Indonesia perlu ditegakkan. Selama ini, peran dan hasil riset setiap lembaga penelitian tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menciptakan kontestasi antarlembaga. Hal itu sebenarnya karena setiap lembaga penelitian ingin mendapatkan pamor dan panggung dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas isu. Pola itulah yang harus diberantas dengan LIPI berperan sebagai mediator dan koordinator bagi semua lembaga riset, bahwa riset untuk kemajuan jauh lebih penting daripada riset untuk persaingan.
Adanya UU Peneliti dan Penelitian Ilmu Pengetahuan yang masuk Program Legislasi Nasional 2015 perlu diadvokasi dan disahkan guna memastikan masa depan ilmu pengetahuan yang cerah. Ketiga, LIPI berupaya menagih janji Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran riset karena setahun lalu Jokowi berjanji akan menaikkan anggaran riset menjadi 1 persen. Dalam Nawacita disebutkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi pilar penting pembangunan negara.
Ketiga pesan simbolis tersebut merupakan upaya menjembatani dunia riset dengan dunia kebijakan yang belum terhubung. Kebijakan tanpa dasar ilmiah adalah pembohongan dan riset tanpa disertai kebijakan adalah kemunafikan. Oleh karena itulah, kedua arena tersebut perlu dihubungkan bahwa bahasa riset yang menukik dan mendakik itu bisa dijelaskan secara awam dalam bahasa kebijakan dan bahasa kebijakan yang serba teknis itu jelas dasarnya dari proses ilmiah. Maka, Kipnas di LIPI pada 8-11 Oktober 2015 menjadi ajang penting dalam menyinergikan riset dalam kebijakan.
Wasisto Raharjo Jati, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul “Jokowi dan Dunia Riset Indonesia”.