Komunikasi risiko ke publik menjadi tantangan berat di kalangan ilmuwan. Media dituntut berperan dengan menyampaikan informasi yang mendidik.
Persoalan yang muncul setelah paparan hasil penelitian tentang potensi tsunami di selatan Jawa menunjukkan adanya kesenjangan pengetahuan antara ilmuwan dan publik. Hal ini menuntut edukasi tentang risiko dengan bahasa yang mudah dimengerti publik. Media massa bisa berperan dengan pemberitaan yang akurat dan lebih fokus untuk mendorong upaya kesiapsiagaan.
Demikian terungkap dalam pertemuan antara akademisi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Polda Banten dan Polres Pandeglang, serta masyarakat Pandeglang, di Jakarta, Rabu (11/4/2018). Pertemuan ini diinisiasi oleh Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Gap (kesenjangan) terjadi antara ilmuwan dengan masyarakat, penegak hukum, dan juga media. Ini yang perlu dikomunikasikan dengan baik,” kata Sekretaris Jenderal IABI, Lilik Kurniawan.
Dalam seminar ilmiah di BMKG, 3 April 2018, peneliti BPPT Widjo Kongko memaparkan hasil kajiannya dari pemodelan potensi tsunami di Jawa bagian barat. Salah satunya menyebutkan, potensi ketinggian tsunami di pesisir Pandeglang, Banten bisa mencapai 57 meter. Berita ini ditulis media daring dengan menyebutkan BPPT memprediksi tsunami 57 meter di Pandeglang.
Dalam pertemuan ini, Ketua Paguyuban Nelayan Pandeglang, Nawawi mengatakan, dampak pemberitataan ini memicu kepanikan di masyarakat pesisir. Berita kemudian disebar melalui sosial media. Masyarakat mengira bahwa tsunami 57 meter akan segera terjadi sehingga ada yang sudah mengungsi.
Perekayasa BPTT Udrekh mengatakan, kepanikan di masyarakat dipicu kesalahan pengutipan media. Oleh karena itu, dia berharap media bisa lebih bijak menyampaikan informasi dari ilmuwan dan tidak membuat tafsir sendiri.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Komisaris Besar Abdul Karim mengatakan, penyelidikan awalnya dilakukan karena melihat keresahan di masyarakat dan terganggunya investasi. “Harus juga dilihat sebelumnya kami juga menyelidiki penyebaran hoaks akan terjadinya tsunami,” kata dia.
Karim mengatakan tidak bermaksud mengkriminalisasi ilmuwan. Apalagi sudah ada klarifikasi dan hak jawab Widjo Kongko di media daring dan pengakuan kesalahan pengutipan oleh media terkait. Peristiwa ini sebaiknya diselesaikan di Dewan Pers.
Karim meminta, ke depan penelitian tsunami tidak harus menyebut nama daerah agar tidak menimbulkan kepanikan.
Sekurat mungkin
Namun, Jan Sopaheluwakan, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, ilmuwan justru dituntut menampilkan seakurat mungkin daerah-daerah berpotensi terdampak.
Hal ini dibutuhkan untuk kepentingan mitigasi. Upaya mengomunikasikan risiko ke masyarakat memang tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Ini yang juga terjadi saat sosialisasi di Padang sebelum gempa Aceh 2004.
Sekalipun upaya mediasi telah mempertemukan sejumlah pihak, tetapi media daring yang diundang dan Widjo Kongko tidak hadir. Widjo mengikuti pertemuan BPPT dengan Komisi VII DPR.
Secara terpisah, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, AIPI sangat prihatin jika kajian ilmiah dipidanakan. Sebab, penelitian atau kajian ilmiah yang hakiki bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Karena itu, kebenaran ilmiah tidak dapat dipidanakan, tetapi dapat disanggah oleh kajian ilmiah berikutnya. “Tugas peneliti adalah menemukan kebenaran ilmiah untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pemerintah,” katanya.–AHMAD ARIF DAN ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 12 April 2018