Suatu hari dalam kelas agama Islam di Universitas Airlangga, saya membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan yang mengundang berpikir kritis, “Apakah mungkin kita di masa depan dipimpin oleh AI?”
Mahasiswa-mahasiswa baru saat itu tampak antusias menanggapi. Satu di antara mereka berkata dengan penuh keyakinan, “Pak, bisa saja! Sekarang saja sudah ada AI yang menjadi CEO Perusahaan” Diskusi ini mengalir, hingga seorang mahasiswa yang lain mengangkat tangan dan bertanya, “Maaf pak, kalau AI bisa menjawab hampir semua pertanyaan kita, mungkin nggak suatu hari nanti peran agama tergantikan?”
Pertanyaan ini menarik. Sebagai alumni pesantren yang sekarang bergelut pada dunia industri ini, saya rasa pernyataan ini akan sangat krusial ke depan. Mungkin nanti ketika terdapat kasus amoral hingga hilangnya nyawa yang disebabkan oleh bias AI, para cendekiawan kita akan banyak membahas AI secara etis dan lebih mendalam lagi. Bukan hanya masalah plagiasi dan orisinalitas saja, mungkin ke depan akan banyak halaqah kampus yang berdiskusi tentang perkembangan AI dan relevansi agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kita mulai pembahasan kita dengan membicarakan soal pandemi Covid-I9 yang menurut banyak pegiat kesehatan mental “Badannya sembuh, mentalnya belum”. Pandemi merupakan pukulan telak bagi semua orang, beriman atau tidak beriman. Manusia saat itu mengalami kecemasan karena menghadapi simpang siur ketidakpastian informasi bahkan hidup. Menurut WHO, tingkat kecemasan saat itu meningkat hingga 25% pada tahun pertama pandemi. Gejala ini lebih banyak ditemukan pada anak muda yang menghabiskan lebih banyak waktu dengan teknologi.
Di tengah kesulitan ini, mereka menemukan tempat mengadu pada sosial media untuk mendapatkan dukungan moral dari sesama penyintas. Namun semakin hari, terdapat trend baru yang digunakan untuk mengusir kebosanan, mendapatkan aktualisasi, bahkan mengakuisisi ilmu. Alih-alih
dengan sosial media atau platform digital lain, yang menghubungkan manusia bernyawa dengan manusia bernyawa lainnya, mereka lebih sering menggunakan AI untuk urusan personal.
Menurut data, ada remaja yang curhat dengan sistem kecerdasan buatan, seperti character.ai, selama I2 jam sehari. AI bisa memberikan jawaban dari hampir apapun pertanyaan yang ditanyakan dengan relevansi dan gaya basaha penutur asli selama 24/7 tanpa mengeluh.
Seakan-akan bisa menggantikan peran teman, orangtua, penasehat, bahkan guru yang kadang dinilai memiliki tendensi personal. Seakan-akan pengguna tak butuh siapapun dan apapun karena AI ini dapat menjadi `teman setia setiap saat’. Dengan total pengguna lebih dari 200 juta
pada 2024, proyeksi pengembangan AI chatbot diperkirakan berkembang menjadi USD 290 miliar pada tahun 2025. Memang pasar yang sangat menjanjikan, tapi cerita yang disebabkannya lebih mengerikan.
Di satu sisi, AI memberikan kemudahan dan efisiensi dalam menjalani hidup. Di sisi lain, ada perasaan kosong yang muncul karena teknologi ini, sejatinya, hanya mengikuti algoritma yang dirancang untuk memberikan jawaban normatif. Allah dalam Al-Qur’an berfirman bahwa Dia adalah Al-Khaliq, Sang Pencipta mutlak, sedangkan manusia adalah makhluk yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi. Dalam konteks ini, manusia adalah pilot, sementara AI hanyalah proactive copilot yang membantu mencapai tujuan.
Kehebatan AI dalam memproses data tidak membuatnya layak sebagai “pemimpin,” karena ia hanyalah hasil program buatan manusia. Jadi, jika AI menunjukkan bias atau memberikan jawaban yang tidak tepat, itu karena data yang dimasukkan ke dalam sistem juga penuh dengan keterbatasan dan subjektivitas manusia.
Memang AI bisa membantu hampir semua kebutuhan `digital’ kita. Tapi terlepas dari itu semuanya, tetap kita adalah pilot yang diberikan anugerah dari Allah SWT berupa akal dan kebijaksanaan untuk menyetir teknologi. Jadi kita harus bisa berfikir kritis untuk menundukkan kemajuan zaman di samping menundukkan wajah untuk penghambaan kepada Tuhan.
Oleh Dadang Irsyamuddin, Generative Al-Business Analyst & Pengajar Bahasa Arab Al-Qur’an di Majelis Riyadhus Shalihin
Disalin dari: Majalah Gontor, Sya’ban 1446H/ Februari 2025