Jejaring Ilmuwan Membangun Tanah Air

- Editor

Senin, 1 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilmuwan Indonesia yang berkiprah di berbagai perguruan tinggi pelbagai belahan dunia sejenak kembali ke Tanah Air. Di pengujung 2017, mereka datang untuk berbagi pengalaman dan jejaring berskala internasional serta membangun kolaborasi dengan ilmuwan di Tanah Air.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sejak 2016 mengemas misi ini lewat program Visiting World Class Professor. Tahun 2017 ini, program berganti nama menjadi World Class Scholars (WCS) 2017. Tujuannya agar juga bisa menjaring diaspora di industri, selain di perguruan tinggi (PT). Termasuk unsur pimpinan akademik berbagai PT ternama di dunia.

Menristek dan Dikti Mohammad Nasir dalam Simposium Cendekia Dunia (WCS), pertengahan Desember, di Jakarta, mengatakan, pemerintah melihat kerinduan para ilmuwan diaspora untuk berbakti kepada nusa dan bangsa.”Kami sediakan wadah bertemu bagi mereka dengan saudara-saudara di Tanah Air, lalu berkolaborasi membangun negeri ini,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti, terjadi kolaborasi dalam riset dan penerbitan publikasi internasional yang mampu mendongkrak kinerja PT dalam negeri.

Menurut dia, diaspora juga berkesempatan mencermati perkembangan dan perubahan di dalam negeri. Banyak perubahan yang dilakukan pemerintah dalam pendidikan tinggi dan butuh sumbangsih pemikiran dan pengalaman para diaspora.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir menyampaikan kinerja Kemenristekdikti 2016 dan proyeksi 2007 di Jakarta, Rabu (28/12). Berbagai permasalahan seperti maraknya ijazah palsu dan kesuksesan program Bidikmisi disampaikan pada kesempatan itu.

Salah seorang ilmuwan diaspora yang hadir, Profesor Hadi Nur, yang mengajar di Universiti Teknologi Malaysia—juga menjadi salah satu direktur pusat riset—mengatakan, dirinya berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan para dosen di Malang, Jawa Timur. ”Saya merasa teman-teman juga punya semangat yang sama, ingin membuat Indonesia lebih baik. Namun, masih ada ganjalan antara menjalankan peran mengajar dan meneliti,” ujar Hadi yang sudah 22 tahun tinggal di Malaysia.

Hadi berbagi kisah. Awalnya UTM juga mengalami masa transisi dari teaching university menjadi research university.Lalu, strategi dibuat dengan mengharuskan tiap dosen punya kelompok riset. ”Jika tidak, nanti tidak ada nilai. Sebab, 70 persen nilai dari riset dan 30 persen dari mengajar. Budaya riset akhirnya terbangun,” ujar Hadi.

Sebagai universitas riset, program pascasarjana di UTM lebih tinggi persentasenya dibandingkan S-1. Mahasiswa dari PT lain ditetapkan sebagai penyuplai. PT saling membantu, bukan saling ”memakan”.

Menurut Hadi, di masa lalu, sebenarnya dosen dari Indonesia, seperti ITB tempat dirinya belajar dahulu, membantu PT di Malaysia. Namun, kemajuan PT di Malaysia melampaui Indonesia. UTM tercatat peringkat ke-253 PT di dunia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia membutuhkan pengalaman dari diaspora untuk membuat standar baru dalam pendidikan tinggi di Indonesia.

Indonesia bisa
Ilmuwan diaspora Arief Shobirin Gusnanto, yang bergabung di Universitas Leeds, Inggris, dari 2007, berbagi tren riset dalam obat-obatan yang didesain berdasarkan ciri unik individu. Keragaman populasi berarti keragaman genomik dan genetik. Hal ini dapat diriset untuk menemukan pengobatan yang tepat bagi tiap orang berdasarkan genetiknya. ”Indonesia juga memiliki kekayaan hayati luar biasa. Memang tidak mudah, tetapi dapat dicapai jika situasi mendukung,” katanya.

Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan, dirinya mengkaji hubungan antara teknologi dan masyarakat. ”Kajian teknologi dan masyarakat relevan bagi Indonesia yang tengah giat membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur perlu juga memperhatikan dampak sosial agar tidak mencerabut masyarakat dari akarnya,” ujarnya.

Tahun ini, lebih dari 10 perguruan tinggi di Tanah Air dikunjungi ilmuwan diaspora, antara lain Universitas Andalas, Universitas Pattimura, Universitas Tanjung Pura, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Narotama, Universitas Setiabudi, UNS, Universitas Pertamina, Universitas Bakrie, UI, Swiss German University, UI, UGM, IPB, dan ITB. (ELN)

Sumber: Kompas, 29 Desember 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB