Pembangunan Picu Bertambahnya Lahan Kritis
Pembangunan di Pulau Jawa melampaui daya dukung ekologi. Luas tutupan hutan terus berkurang seiring bertambahnya lahan kritis. Selain memicu peningkatan intensitas bencana banjir dan longsor, kondisi itu juga bisa memicu berbagai persoalan sosial.
“Riset kami 10 tahun lalu dan diperbarui lima tahun lalu menemukan, krisis ekologi terjadi di Pulau Jawa. Kini, kemungkinan kondisinya lebih parah,” kata Suryo Adiwibowo, ahli ekologi manusia dari Institut Pertanian Bogor, dalam diskusi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Selasa (31/1).
Jika tahun 1800-an luas hutan alam di Pulau Jawa mencapai 10 juta hektar (ha), pada tahun 2005 luasannya tinggal 400.000 ha. “Sekarang kemungkinan tinggal 100.000-an ha,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Merosotnya luasan hutan itu seiring bertambahnya lahan kritis. Pada 1998, lahan kritis di Jawa seluas 1,36 juta ha dan menjadi 4,1 juta ha pada tahun 2002.
Hancurnya daya dukung ekologi di Jawa terutama akibat kebijakan pembangunan. Dari 278 peraturan daerah dikaji, 47 persen tak memerhatikan daya dukung lingkungan dan 45 persen mencantumkan soal daya dukung, tetapi hanya administratif. “Hanya 8 persen perda progresif dan lintas kabupaten,” ujarnya.
Dengan adanya Rencana Tata Ruang (RTR) Jawa-Bali tahun 2012, laju deforestasi dan degradasi lingkungan di Jawa kian cepat. “Kami memodelkan, jika mengikuti RTR tahun 2015, ada 120 daerah aliran sungai di Jawa yang akan rusak,” ucapnya.
Degradasi lingkungan di Jawa itu memicu kerentanan bencana, khususnya banjir dan longsor, kian sering terjadi. Berkurangnya daya dukung lingkungan juga menyebabkan daya lenting penduduk berkurang. “Sepuluh tahun lalu, kami mengidentifikasi defisit air, terutama di Jakarta dan Yogyakarta,” katanya.
Peneliti biologi dan karst LIPI, Cahyo Rahmadi, menyoroti, eksploitasi daerah karst di Jawa terus dilakukan di tengah krisis ekologi. “Padahal, luasan karst di Jawa hanya 5.500 kilometer persegi atau 4 persen dari total daratan. Seharusnya Jawa sudah moratorium tambang gamping mengingat fungsi pentingnya ekosistem karst,” katanya.
Krisis sosial
Peneliti sosial LIPI, Gutomo Bayu Aji, menyoroti krisis pertanian di Jawa. Selain luas lahan pertanian menyusut, desa-desa di Jawa ditinggalkan petani. Menurut kajiannya, ada penyusutan lahan pertanian dan profesi petani. Pada 1981-2002, area pertanian menyusut 600.000 ha. “Regenerasi petani, terutama petani padi di Jawa, tak terjadi. Mayoritas anak petani tak mau lagi menjadi petani,” ujarnya.
Menurut survei di Sragen, Klaten, dan Sukoharjo, 4 persen anak petani yang tinggal serumah dengan ayahnya mau jadi petani. Anak petani yang tak tinggal dengan ayahnya hanya 2 persen mau jadi petani. “Anak petani pilih jadi buruh pabrik atau karyawan di kota, tak mau terlibat aktivitas pertanian,” ucapnya.
Pertanian dinilai tidak menopang hidup. Akibatnya, krisis pertanian dikhawatirkan terjadi di Jawa beberapa tahun ke depan. Padahal, kesuburan tanah di pulau itu tak tergantikan pembukaan sawah di luar Jawa. (AIK)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Jawa Krisis Ekologi”.