Meningkatnya intensitas curah hujan ekstrem menunjukkan hadirnya perubahan iklim yang dipicu pemanasan global. Namun, merosotnya daya dukung lingkungan dan lemahnya mitigasilah yang menyebabkan bencana hidrometeorologi jadi lebih mematikan dan merugikan.
Riset peneliti cuaca dan perubahan iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, terhadap dua kejadian banjir di Jakarta tahun 2014 dan 2015 menunjukkan peningkatan hujan ekstrem. Pada banjir 2015 lalu, curah hujan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pencatatan hujan selama 115 tahun, baik hujan sehari maupun akumulasi dua hari. Dalam kasus banjir 2014, akumulasi intensitas hujan dalam dua hari jadi tertinggi ke-9 dalam sejarah pencatatan hujan.
Penelitian yang dilaporkan dalam “Explaining Extreme Events 2014” Bulletin of American Meteorological Society (BAMS 2015) dan Jurnal Weather and Climate Extreme (WACE, 2017) ini menyebut, hujan ekstrem pada 2014 dan 2015 itu terkait pola cuaca menyimpang (anomali) dari pola umumnya di musim hujan. Pola anomali ini bisa terjadi pada kondisi iklim kapan saja dan sukar diprediksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hujan ekstrem dan tertinggi dalam sejarah juga terekam di Pulau Sumbawa pada 22 Desember 2016. Curah hujan mencapai 208 milimeter per hari itu tercatat di Plampang dan memicu banjir besar di Bima. Terbentuknya siklon tropis Yvette di Samudra Hindia, 653 kilometer selatan Denpasar, jadi salah satu penyebab tingginya curah hujan saat itu.
“Probabilitas kejadian hujan ekstrem pada kondisi iklim periode saat ini naik 2-3 kali lebih tinggi dibanding kondisi iklim 100 tahun lalu,” kata Siswanto.
Semua pertanda itu jadi bukti tak terbantahkan adanya perubahan iklim. Kepala BMKG Andi Eka Sakya mengatakan, perubahan iklim telah hadir sebagai konsekuensi pemanasan global. “Kenaikan suhu global menjadikan ruang dapur cuaca melebar. Pelebaran vertikal ruang dapur awan memicu seringnya ekstremitas fenomena cuaca, misalnya, puting beliung kian banyak dan skala kecepatannya kian tinggi atau hujan lebat dalam waktu singkat,” ujarnya.
Meluasnya dapur cuaca, lanjut Andi, juga menjadikan pola produksi awan berubah, dan mengubah pola hujan. Demikian halnya puting beliung tak hanya kian banyak terjadi, tetapi juga skala kecepatannya.
Pada pola jangka panjang (musim, iklim), ekstremitas yang terjadi kerap bersifat regional atau global, lalu berdampak amat ekstrem bagi Indonesia. Contohnya, El Nino dan La Nina makin kerap. Pada 2015, Indonesia dilanda kekeringan berkepanjangan akibat El Nino, dan tahun 2016 Indonesia terdampak La Nina yang mengakibatkan mayoritas wilayah Indonesia hujan sepanjang tahun.
Menambah risiko
Namun, risiko bencana bukan hanya dipicu meningkatnya ancaman. Risiko bencana bisa dikurangi atau sebaliknya bertambah besar, tergantung kapasitas masyarakat mengurangi risiko atau memitigasi bencana. Risiko juga akan naik jika kerentanannya bertambah akibat buruknya daya dukung lingkungan atau karena kian banyak penduduk tinggal di zona bahaya.
Dalam hal ini, data-data yang disampaikan Andi jadi relevan. Dengan membandingkan tren frekuensi hujan lebat (dengan intensitas di atas 50 mm per hari) di Indonesia dalam 7 tahun terakhir dibandingkan kejadian banjir atau longsor dalam kurun sama, Andi menemukan frekuensi cuaca ekstrem tak linier dengan bencana.
Tren peningkatan hujan lebat pada tahun 2000-2016 sebagian besar terjadi di Pulau Papua. Namun, frekuensi banjir dan longsor paling banyak terjadi di Pulau Jawa, yang memiliki peningkatan curah hujan lebih kecil. Itu menunjukkan pembangunan di Jawa meningkatkan risiko banjir dan longsor.
Fenomena sama bisa dilihat dari data-data cuaca dan kaitannya dengan banjir yang melanda Kota Bandung tahun lalu. Menurut Andi, jumlah hari hujan lebat di sekitar wilayah Bandung tak menunjukkan kenaikan signifikan dalam 25 tahun terakhir, kecuali di Chincoa, Paseh, Ciparay, dan Cicaclengka.
Hal itu menunjukkan kenaikan curah hujan tertinggi di Bandung terjadi di daerah selatan, padahal banjir di Kota Bandung terjadi di wilayah utara atau sekitar Pasir Kaliki. Padahal, di kawasan utara itu kenaikan hujan reratanya dalam 25 tahun berkisar 10-20 milimeter (mm) per tahun.
Tren jumlah hari hujan lebatnya pun hanya naik 1-2 hari dalam 10 tahun. “Bisa diambil kesimpulan, jumlah hari hujan di wilayah sekitar Bandung meningkat, tetapi volume curah hujannya tak signifikan. Sementara jumlah hari hujan lebatnya sama. Kondisi ini mengindikasikan, ada faktor lain, yang menjadikan hujan itu jadi genangan besar di berbagai lokasi di Bandung,” tuturnya.
Sementara Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro Sudharto P Hadi menjelaskan, frekuensi bencana yang meningkat terutama disebabkan rusaknya daya dukung lingkungan. “Jangan hanya menyalahkan cuaca yang berubah. Lingkungan kita telah rusak dari hulu sampai hilir. Dari gunung sampai pesisir,” ujarnya.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengakui, secara umum hasil citra landsat yang diambil tahun 2000, 2003, dan 2006 memperlihatkan penutupan lahan hutan nasional terus menurun. Itu menyebabkan hutan lindung tak bisa lagi berfungsi menjaga konservasi tanah dan air.
Daerah hulu aliran sungai (DAS) yang sudah jadi lahan kosong atau areal pertanian yang tak menerapkan prinsip konservasi tanah dan air mengakibatkan peningkatan sedimentasi di dasar sungai. Itu menyebabkan pada musim hujan terjadi banjir yang mendatangkan kerugian amat besar.
Sebagai contoh adalah banjir di Kabupaten Majalengka dan Indramayu yang terletak di daerah hilir Sungai Cimanuk pada bulan Mei 2010. Frekuensi banjir yang lebih tinggi sering terjadi di sejumlah daerah seperti Samarinda, Kalimantan Timur; Jawa; dan Sumatera.
Peresapan air hujan ke dalam tanah pun berkurang sehingga pada musim kemarau terjadi pengeringan mata air. Fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau jadi amat besar sehingga air yang ada umumnya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Dalam kasus Jakarta, menurut Siswanto, selain akibat tren hujan ekstrem perkotaan, banjir dipengaruhi perubahan tata guna lahan dan urbanisasi. Faktor lain berpengaruh ialah amblesan muka tanah dengan laju masif di 40 persen wilayahnya dengan laju 3-10 sentimeter (cm) per tahun. Amblesnya tanah itu disebabkan tekanan permukaan dari gedung-gedung besar dan tinggi serta penyedotan air tanah secara masif.
“Akumuasi amblesan hingga -4.1 m (meter) telah terukur misalnya di daerah Pasar Ikan dari periode data 1974-2010. Faktor-faktor mekanis ini menunjukkan ada jalur bencana banjir dan longsor dampak dari perubahan iklim, tetapi di luar jalur emisi karbon dan pemanasan global,” katanya.
Siswanto menambahkan, banjir besar di Bandung dan Bima pada 2016 mengindikasikan hal serupa, terbukti disebabkan tingginya curah hujan dalam beberapa hari. Namun, perubahan lingkungan juga berperan besar seperti alih fungsi lahan hijau menjadi permukiman, penggundulan bukit, dan pengerasan permukaan perkotaan memengaruhi bagian siklus air baik saat masih di atmosfer hingga jadi air permukaan di daratan.
Jadi, jangan hanya menyalahkan cuaca. Bencana kebanyakan terjadi karena ulah kita sendiri.–AHMAD ARIF
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Jangan Salahkan Cuaca Berubah”.