Terungkapnya produksi dan distribusi vaksin palsu mengusik ketenangan masyarakat. Temuan itu membuat marah, geram, sekaligus cemas masyarakat, khususnya orangtua yang memiliki anak balita.
”Orangtua mana pun pasti ingin memberikan yang terbaik buat anaknya. Eh… ini malah ada yang tega memberikan vaksin palsu untuk anak balita,” kata Ny Herliana (32), warga Ujungberung, Kota Bandung, dengan nada geram.
Ny Ani (31) yang baru mengantarkan anaknya untuk vaksin DPT dan polio II di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, juga marah mendengar kabar beredarnya vaksin palsu. Ia meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Mencari uang, kok, membahayakan anak orang lain. Jumlah anak yang dirugikan juga ribuan. Ini keterlaluan,” ujarnya.
Menurut Ani, para orangtua, seperti dirinya, tak punya pilihan lain, apalagi jika vaksin itu masuk dalam program imunisasi dasar. Orangtua tetap harus memberikan vaksin supaya anaknya terbebas dari ancaman penyakit, seperti polio, campak, difteri, dan penyakit lainnya.
Riko (29) yang sedang mengantarkan istrinya periksa kandungan di RSIA Budi Kemuliaan juga menyesalkan peredaran vaksin palsu. Hal itu membuatnya waswas untuk memberikan vaksin kepada calon bayinya. Menurut Riko, informasi mengenai peredaran, bahaya, dan antisipasi vaksin palsu perlu disebarluaskan oleh pemerintah.
”Jangan sampai rakyat kecil lagi-lagi jadi korban. Pengawasan dari pemerintah harus diperketat. Ini soalnya berkaitan dengan masa depan anak-anak,” ujar Riko.
Sementara itu, Yuni (27), warga Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan, mengatakan, selama ini anaknya diberi vaksin oleh bidan. Dia pun tidak pernah mengecek atau menanyakan keaslian vaksin. ”Semoga cepat diputus peredarannya, apalagi ternyata sejak 2003,” kata Yuni.
Saiful (40), warga Bekasi Selatan, mengaku khawatir terhadap kondisi anaknya terkait peredaran vaksin palsu yang sudah berlangsung sejak tahun 2003. Sebab, kedua anaknya divaksin pada tahun 2008 dan 2010. ”Berarti, kan, bisa saja saat itu anak saya sudah disuntik vaksin palsu. Terus sekarang saya mesti bagaimana, kan, anak saya sudah usia 7 tahun dan 9 tahun masak harus divaksin ulang,” kata Saiful.
Saiful berharap pemerintah memberikan solusi di tengah kekhawatiran masyarakat mengenai peredaran vaksin palsu yang sudah terjadi selama 13 tahun. Sebab, hal ini menyangkut kondisi kesehatan anak-anak mereka.
(DEA/C03/ILO)
Salah satu cara yang bisa dilakukan Ani untuk menghindari vaksin palsu adalah memilih rumah sakit dan dokter tepercaya. Ia percaya dengan kualitas dokter dan pelayanan kesehatan di RSIA Budi Kemuliaan karena sudah dua kali melahirkan di sana. ”Di sini dokternya bagus-bagus dan pro (kelahiran) normal. Saya sudah pengalaman dengan anak pertama yang usia lima tahun. Jadi, ya, percaya saja,” tuturnya.
Ia menyayangkan mengapa keberadaan vaksin palsu itu baru terkuak setelah 13 tahun. Padahal, vaksin berhubungan dengan masa depan generasi penerus Indonesia.
”Imunisasi itu, kan, tidak boleh ditunda dan biasanya sudah selesai saat usia anak di atas 9 bulan,” ujar Ani.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah merek vaksin yang dipalsukan antara lain Tuberculin, Pediacel, Tripacel, Havrix, dan Biosave. Hingga kemarin, Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan 15 tersangka yang diduga terlibat produksi dan distribusi vaksin palsu sejak 2003 itu.
Seberat-beratnya
Wati (32), ibu bayi usia dua minggu yang juga ditemui di RS Budi Kemuliaan, mengatakan memendam harapan yang sama dengan Ani. Ia berharap pelaku pemalsu vaksin dihukum seberat-beratnya karena mereka membahayakan nyawa orang lain.
Putri presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Zannuba Arifah Chafsoh, atau yang lebih dikenal dengan Yenny Wahid, menuturkan, sejak mencuatnya kasus vaksin palsu ini, ia khawatir tiga putrinya juga diimunisasi dengan vaksin palsu. Apalagi, putri bungsunya, Raisa Isabella Hasna (2), sempat mendapat vaksin cacar air di sebuah klinik kecil di Bogor, Jawa Barat, tahun lalu. Saat itu, stok beberapa vaksin, seperti cacar air, kosong. ”Saya menghubungi beberapa rumah sakit di Jakarta, tetapi stok vaksin kosong. Dokter bahkan menyarankan agar anak saya diimunisasi di Singapura,” ujar Direktur The Wahid Institute itu.
”Sekarang saya kebat-kebit, jangan-jangan vaksin yang diberikan kepada anak saya palsu,” kata Yenny saat dihubungi, Senin (27/6). Ia pun memutuskan akan berkonsultasi dengan dokter spesialis anak apakah tiga anaknya perlu diimunisasi ulang.
Menurut Yenny, persoalan imunisasi bukan sekadar vaksin palsu ini. ”Pengalaman saya, stok beberapa vaksin tidak ada di rumah sakit-rumah sakit, misalnya vaksin cacar air sempat kosong selama sekitar dua tahun,” tuturnya.
Kekosongan stok vaksin itu bisa memicu orang memproduksi dan menjual vaksin palsu. ”Kementerian Kesehatan mesti mengontrol semua klinik untuk menjamin ketersediaan vaksin yang teruji. Kalau pengawasan pasokan vaksin lemah, ini bisa dimanfaatkan seseorang untuk membuat vaksin palsu, dan para ibu pasti akan mencari vaksin ke mana-mana,” kata Yenny.
Dicampur kue basah
Bukan sekadar palsu atau tidak, pola penyimpanan vaksin di sejumlah rumah sakit juga banyak yang sembarangan sehingga merusak kualitas vaksin.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Naisyah Azikin memimpin pemeriksaan di dua rumah sakit bersalin (RSB) dan satu rumah sakit. Petugas menemukan kedua RSB tidak menggunakan alat penyimpanan vaksin yang standar berupa mesin cold chain, melainkan hanya kulkas atau lemari es rumah tangga.
Dari hasil pemeriksaan, suhu kulkas di kedua RSB itu juga tak memenuhi standar 2-8 derajat celsius yang disyaratkan untuk menyimpan vaksin. Bahkan, di kulkas salah satu RSB, penyimpanan vaksin dicampur dengan kue basah, makanan, dan telur ayam.
Adapun di satu RS yang diperiksa, alat penyimpanan vaksin yang dipakai juga bukan jenis cold chain, melainkan lemari es komersial. Namun, suhu lemari es RS itu berada di kisaran 2-8 derajat celsius sehingga masih dapat diterima Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Naisyah mengatakan, pihaknya menarik semua persediaan vaksin yang dimiliki kedua RSB tersebut. Penyimpanan vaksin yang tak sesuai standar, apalagi bercampur dengan barang lain, dapat menurunkan kualitas vaksin sehingga tak efektif lagi dalam memberikan efek kekebalan tubuh.
”Kedua RSB itu juga dilarang memberikan layanan vaksin kepada pasien hingga memiliki alat penyimpanan vaksin yang memadai,” kata Naisyah.
Tak terlindungi
Ditemui terpisah, Kepala Puskesmas Kelurahan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sri Lestari mengatakan, pihaknya memperoleh pasokan vaksin dari puskesmas kecamatan yang dipasok dari suku dinas kesehatan kota dan dinas kesehatan provinsi. Semua vaksin diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero).
Sri mengatakan, pemberian vaksin palsu itu memang tak membahayakan pasien, tetapi membuat pasien tidak terlindungi pada masa depan. Selain itu, sulit untuk mengidentifikasi apakah pasien telah diberi vaksin yang asli atau palsu. ”Ngerinya itu kalau beberapa tahun lagi muncul gejala besar berbagai penyakit, bisa jadi mereka adalah korban vaksin palsu,” ujar Sri.
Kejahatan luar biasa yang telah diabaikan sekian lama ini sungguh-sungguh mengancam masa depan bangsa….(DEA/EVY/C03/C11/ENG)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul “Jangan-jangan Vaksin Anakku Palsu…”.