Sejumlah pihak keberatan apabila Indonesia masih mengimpor bahan baku industri plastik berupa sampah plastik. Impor sampah akan berkontradiksi terhadap upaya pengumpulan sampah lokal juga membawa sejumlah residu yang merugikan lingkungan di Indonesia.
Alasannya, impor sisa, reja, dan scrap plastik tersebut berupa sampah plastik yang kotor dan menyisakan banyak residu. ”Fakta yang kami temukan, sisa residu mengotori lingkungan dari daratan, sungai, hingga laut,” kata Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Minggu (11/11/2018), di Jakarta.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Sampah-sampah plastik mencemari kawasan mangrove di pesisir Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/10/2018). Tidak hanya berbahaya bagi ekosistem pantai, sampah plastik itu juga mencemari lautan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diberitakan, Kementerian Perindustrian meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempertimbangkan dan memberi kepastian atas izin impor sisa, reja, dan scrap plastik. Ini dilatarbelakangi langkah KLHK yang sejak April 2018 memberhentikan pemberian rekomendasi impor sisa, reja, dan scrap plastik.
Dwi menyebutkan, sejumlah daerah di Jawa Timur yang mengimpor dan mendaur ulang sampah plastik dari luar negeri tersebut. Di sekitar pabrik terdapat tumpukan label botol, kemasan, hingga berbagai jenis sampah plastik yang tak bisa didaur ulang.
Dwi mengatakan, impor sampah plastik ini baru-baru saja terjadi setelah tahun lalu China menutup pintu impor plastik. China mulai menyadari impor sampah – dengan dalih dapat didaur ulang – itu menyebabkan berbagai permasalahan karena residu atau sisa sampah plastik yang tak bisa didaur ulang.
Langkah China ini membuat negara-negara eksportir sampah – tampak dari label tertera pada timbulan sampah berasal dari Jepang, Jerman, Amerika Serikat – kebingungan “membuang” sampahnya. Menurut Dwi, sejumlah negara di Asia menjadi sasaran pembuangan, namun negara seperti Thailand dan Vietnam menolaknya.
Harus tegas
Menurut Dwi, Indonesia juga harus tegas menutup keran impor sampah plastik. Selain permasalahan lingkungan, kata dia, langkah ini juga untuk mendukung pemilahan dan pengumpulan sampah sehingga bisa didaur ulang.
Ia menjumpai impor sampah plastik membuat harga sampah plastik yang dikumpulkan pemulung jatuh. Dari sekitar Rp 6.000 per kilogram botol plastik, kini menjadi Rp 3.000 per kilogram.
“Selain itu, terindikasi juga importir untung dua kali karena dibayar eksportir juga mendapatkan material murah,” kata dia.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, impor sampah plastik ini terjadi karena memanfaatkan kata “dan lain-lain” dalam klasifikasi jenis plastik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun dan Berbahaya. Jajarannya dan Kementerian Perdagangan sedang intens membahas revisi permendag ini.
KLHK mendorong agar kata “dan lain-lain” dalam jenis impor plastik berupa reja, sisa, dan scrap ini dihilangkan. “Jadi kalau impor ya benar-benar plastik bahan baku yang siap didaur ulang. Bukan masih kotor dan menghasilkan residu,” kata Rosa. Dia menekankan agar importir menggunakan langsung barang impor tersebut untuk daur ulang, bukan memperjual-belikannya.
Di sisi lain, ia pun menekankan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Ini agar mudah dikumpulkan dan disalurkan pada industri-industri daur ulang. Langkah ini diperlukan agar Indonesia tak lagi mengimpor bahan baku daur ulang plastik yang sebenarnya bisa dipenuhi dari dalam negeri. Selama ini sampah plastik dalam negeri sulit tersalur ke industri daur ulang karena kondisinya kotor oleh sampah dapur sehingga membutuhkan biaya tinggi untuk membersihkannya.
Kekurangan bahan baku
Dimintai pendapat beberapa waktu lalu, Direktur Industri Kimia Hilir Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan, impor dilakukan karena industri plastik kekurangan bahan baku. Ia menggambarkan kebutuhan nasional 5,6 juta ton per tahun sedangkan bahan baku plastik virgin dari industri dalam negeri 2,3 juta ton per tahun, impor plastik virgin 1,67 juta ton.
Sementara itu bahan baku berupa scrap atau limbah plastik yang dipasok dari para pemulung atau pengepul nasional hanya mampu 1,1 juta ton. Akibatnya, masih terjadi kekurangan bahan baku sekitar 600.000 ton. Impor pun terpaksa dilakukan untuk mengisi kekurangan tersebut.
Perusahaan pendaur ulang yang ingin mendapatkan persetujuan impor limbah plastik dari Kementerian Perdagangan harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari KLHK serta Kementerian Perindustrian.
Hal yang dinilai Kemenperin antara lain kapasitas industri pendaur ulang. “Kami pun memberikan syarat kepada perusahaan tersebut untuk menyerap dari dalam negeri,” kata Taufiek.
Barang yang diimpor tersebut pun saat di luar negeri dicek untuk mengetahui kesesuaiannya dengan kriteria yang dibutuhkan; termasuk tidak mengandung B3 dan sesuai jenis, jumlah, dan spesifikasi.
“Kekurangan memang mencapai 600.000-an ton, tetapi (persetujuan impor) yang diberikan ya tidak banyak, setiap tahun rata-rata sekitar 100.000 ton. Baru tahun ini agak besar, tapi realisasinya masih sekitar itulah; hampir 200.000 ton,” kata Taufiek.
Taufiek mengatakan, industri pendaur ulang limbah plastik (dengan nomor terharmonisasi/HS 3915) di tahun 2017 mampu menghasilkan devisa ekspor hingga 92 juta dollar AS sementara impornya sekitar 50 juta dollar AS, sehingga surplus 40 juta dollar AS.
“Karena distop sementara oleh KLHK, padahal aturan Permendag 31/2016 itu masih berlaku, mereka protes dan mempertanyakan mengapa pemerintah tidak konsisten,” kata Taufiek.
Taufiek mengatakan, UU 3/2014 tentang Perindustrian mengamanatkan pemerintah untuk menjamin bahan baku industri. Kemenperin pun pada tanggal 1 November 2018 melayangkan surat ke KLHK agar kesulitan pelaku industri mendapatkan bahan baku tersebut segera mendapat kepastian.–ICHWAN SUSANTO / C ANTO SAPTOWALYONO
Sumber: Kompas, 12 November 2018