Pemerintah melindungi ular dari keluarga Pythonidae. Ada empat jenis ular sanca yang dilindungi, yaitu sanca timor, sanca hijau, sanca bodo, dan sanca bulan.
Setiap 16 Juli, para aktivis pencinta ular memperingati Hari Ular Sedunia sebagai penanda perlindungan satwa liar tersebut. Masyarakat cenderung akan membunuh ular ini jika bertemu, tetapi niat itu perlu dihindari karena beberapa jenis ular dilindungi pemerintah.
REPRO BUKU RIZA MARLON “PANDUAN VISUAL DAN IDENTIFIKASI LAPANGAN 107+ ULAR DI INDONESIA” (INDONESIA NATURE & WILDLIFE PUBLISHING, 2014).——Sanca hijau
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah melindungi beberapa jenis ular dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah melindungi ular dari keluarga Pythonidae. Ada empat jenis ular sanca yang dilindungi, yaitu sanca timor (Malayopython timoriensis), sanca hijau (Morelia viridis), sanca bodo (Python bivittatus), dan sanca bulan (Simalia boeleni).
Keluarga ular Pythonidae sebetulnya keluarga ular yang relatif tidak berbahaya jika dilihat dari tipe giginya. Riza Marlon, biolog dan fotografer yang menekuni fotografi ular, menjelaskan tipe gigi ular dalam bukunya yang berjudul ”Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107+ Ular di Indonesia” (Indonesia Nature & Wildlife Publishing, 2014).
Penerbitan buku tersebut juga pernah dikupas di harian Kompas 6 Mei 2014 dengan judul ”Tips & Catatan: Sulitnya Memotret Ular Indonesia”.
Marlon menjelaskan, ada empat golongan tipe gigi ular. Pertama, Aglypha, golongan ular yang tidak memiliki gigi bisa. Kedua, Ophistoglypha, golongan ular yang memiliki gigi bisa yang terdapat di rahang atas bagian belakang.
Ketiga, Solenoglypha, golongan ular yang memiliki gigi bisa yang sangat panjang dan dapat dilipat pada rahang bagian atas. Keempat, Proteroglypha, golongan ular yang memiliki gigi bisa kecil dan permanen yang terdapat pada bagian depan rahang atas.
Keluarga ular Pythonidae masuk dalam golongan Aglypha. Marlon menjelaskan dalam bukunya, susunan gigi ular golongan ini tidak ada yang menonjol dari depan ke bagian belakang. Cara makan jenis ular ini adalah dengan menggigit dan atau membelit terlebih dahulu mangsanya hingga mati dan kemudian menelannya.
Indonesia beruntung memiliki orang seperti Riza Marlon yang mau menggeluti ular, pada saat masyarakat pada umumnya menghindarinya. Dalam bukunya ia mendokumentasikan ular yang di antaranya dilindungi pemerintah, seperti sanca bulan dan sanca bodo.
Sanca bulan dalam bukunya disebut dengan sinonim Morelia boeleni. Ular ini hidup di hutan pegunungan Pulau Papua di ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut. Dari foto di buku terlihat warna ular sanca bulan abu-abu kehitaman dengan putih kekuning-kuningan pada bagian bawah tubuhnya. Warna anak ular sanca bulan yang baru menetas lebih muda, yaitu berwarna kecoklatan.
Menurut Marlon, sedikit informasi tentang ular sanca bulan ini. Panjang tubuhnya maksimal 2,44 meter. Makanannya kemungkinan mamalia kecil dan burung. Aktivitasnya kemungkinan merayap di lantai hutan dan kadang-kadang bisa naik pohon.
Seperti sanca bulan, sanca hijau juga berasal dari Papua dan pulau-pulau di sekitarnya di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Panjangnya maksimal 1,5 meter. Hidupnya di semak-semak atau pohon berdaun lebat. Makanannya mamalia kecil, kadal, dan burung.
Jenis sanca hijau, sesuai namanya, berwarna hijau. Namun, sebetulnya dalam foto di buku Riza Marlon, warna hijaunya bergradasi dengan warna kuning. ”Variasi warna sangat banyak tergantung lokasi,” tulis Marlon.
Dalam bukunya, Marlon menampilkan 10 sanca hijau yang berbeda di 10 wilayah berbeda di Pulau Papua. Dari 10 gradasi warna hijau ke kuning, sanca hijau dari Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Sanca hijau Wasior ini dominan berwarna kuning dengan bintik-bintik hijau. Dari buku itu diketahui anak sanca hijau yang baru menetas ada yang berwarna kuning atau coklat.
Jika sanca bulan dan sanca hijau berasal dari Papua, sanca timor berasal dari Kepulauan Nusa Tenggara. Dalam bukunya, Marlon menyebut sanca timor dengan Broghammerus timoriensis, nama sinonim Malayopython timoriensis.
Penyebaran sanca timor di Kepulauan Nusa Tenggara seperti di Pulau Flores, Pulau Solor, Pulau Lembata, Kepulauan Pantar, Pulau Sumbawa, dan Pulau Adonara. Habitat sanca timor di hutan dataran rendah terbuka dan padang rumput. Di Flores, ular ini ditemukan di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.
Aktivitasnya malam hari. Makanannya belum disebutkan dalam buku itu. ”Tidak banyak diketahui kehidupan biologi dan ekologinya di alam, tetapi sangat dikenal para pencinta reptil di dalam dan di luar negeri, ular yang sangat langka,” tulis Marlon dalam bukunya.
Harian Kompas 21 Maret 1995 dalam berita berjudul ”White Snake Belum Tentu Albino” menyebutkan pedagang ular terobsesi menangkar sanca hijau dan sanca timor yang bagus dan langka.
Pemberitaan tentang sanca timor di harian Kompas juga tidak banyak. Pada harian Kompas 14 Januari 2010, habitat sanca timor ada di Cagar Alam Gunung Mutis, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Judul beritanya, ”Cagar Alam Mutis Terkurung dalam Isolasi”.
Sanca timor juga disebut di harian Kompas 14 Oktober 2014 dalam berita berjudul ”Berekreasi di Tepi Kolam Camplong”. Kawasan Camplong di Kabupaten Kupang, NTT, disebut sebagai habitat ular sanca.
Dibandingkan sanca bulan, sanca hijau, dan sanca timor, sanca bodo lebih populer di kalangan komunitas pencinta ular dan pedagang ular, seperti dilaporkan harian Kompas 21 Maret 1995. Pada berita itu sanca bodo albino sedang populer karena SCTV menayangkan serial White Snake Legend.
Petani mengenal ular ini sebagai ular sawah. Ular sawah ini pernah membuat kehebohan di Indonesia karena ada ular sawah hasil penangkaran di London, Inggris, dilepasliarkan di Pulau Panaitan Ujung Kulon, Banten. Harian Kompas 29 November 1993 memberitakan dengan judul ”Akhirnya, Ular Sawah Kembali di Habitatnya”.
Dalam berita itu diinformasikan, 37 ekor ular sawah dikembalikan ke habitatnya. Mereka adalah generasi ketiga melalui upaya penangkaran yang dilakukan Wild Animal Park Howletts & Port Lympne, London. ”Pelepasan ular sawah ke habitat asal setelah ditangkar di luar negeri, merupakan peristiwa pertama di dunia,” demikian tertulis dalam berita tersebut.
Namun, ketika orang asing sangat peduli dengan keberadaan ular Nusantara, masyarakat Indonesia seyoginya lebih menghargai dengan cara memperlakukan secara baik ular-ular tersebut. Ular selalu dicap sebagai hewan berbahaya dan umumnya orang memilih membunuh manakala bertemu ular.
”Itulah masalah terbesar terhadap ular. Pembunuhan ular selalu terjadi, baik karena takut maupun untuk dimakan dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal. Ular Indonesia makin sulit didapatkan, padahal itu merupakan kekayaan alam kita yang tidak ada duanya,” kata Riza Marlon, seperti dikutip harian Kompas, 6 Mei 2014.
Hari Ular Sedunia 16 Juli menjadi pengingat akan hak hidup ular-ular Nusantara.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Editor: SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 16 Juli 2021