Kehidupan masyarakat di pesisir pantai tak bisa dilepaskan dari tanaman mangrove yang mempunyai fungsi utama menahan abrasi laut. Bukan itu saja kegunaan mangrove. Kelompok tani mangrove di Dusun Pasir Mendit, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta, mulai mengembangkan industri rumahan makanan kecil berbahan baku mangrove.
Tak kenal maka tak sayang. Kalau tidak mengetahui fungsi mangrove, kita akan membiarkan tanaman itu tumbuh begitu saja. Sayang sekali jika kemudian mangrove hanya terbengkalai atau malah ditebang.
Tetapi, tenang saja, itu tak terjadi di Pasir Mendit atau wilayah muara Sungai Bogowonto. Saat Kompas MuDA dan BRI Peduli menggelar rangkaian acara Mangrovestasi 2014 di Pasir Mendit, 17-18 November 2014, hamparan mangrove terlihat menghijau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebanyak 300 siswa dari SMK Muhammadiyah 1 Temon, SMK Maarif 1, SMA Maarif 2, SMKN 1 Temon, dan SMAN 1 Temon, Kulon Progo, menanam mangrove di muara Sungai Bogowonto. Dengan semangat, satu siswa bisa menanam beberapa bibit mangrove.
Mereka tak peduli pasir yang becek, bekerja sama memasang ajir (batang bambu) untuk mengikat bibit dan menanam mangrove. Beberapa siswa juga mengumpulkan sampah plastik yang berserakan di wilayah muara Sungai Bogowonto.
Siswa SMAN 1 Temon, Yunita Putri Utami, mengatakan, belum pernah menanam mangrove. Oleh karena itulah, dia senang bisa bersama teman-temannya ikut melestarikan lingkungan pesisir pantai.
”Biasanya kami hanya menanam pohon di rumah dan sekolah, itu pun hanya untuk konsumsi sendiri, seperti cabai, sawi, dan kangkung. Mudah-mudahan dengan kontribusi kami sebagai pelajar, ini bisa menghijaukan pesisir pantai,” ujar Yunita.
Tambak udang
Di tepi muara Sungai Bogowonto ada beberapa petak tambak udang yang di sekitarnya ditumbuhi mangrove. Dulu, ekosistem mangrove di wilayah itu rusak parah karena kebiasaan masyarakat menebang batang mangrove untuk kayu bakar. Usaha penghijauan yang dimulai sekitar tahun 1990-an belum berhasil baik.
Kini, beberapa kelompok tani mulai menghidupkan kembali penghijauan mangrove. Salah satunya Kelompok Tani Mangrove Wana Tirta yang didampingi Yayasan Kanopi Indonesia. Manajer Program Yayasan Kanopi Indonesia Rani Sawitri mengatakan, pada 2010 saat pertama kali menginjakkan kaki di Pasir Mendit, banyak mangrove yang rusak dimakan kerbau.
”Banyak lahan yang terbengkalai. Saya lalu meneliti apakah lahan ini bagus untuk mangrove atau tidak. Kemudian, tahun 2011-2013 banyak program penanaman mangrove, tetapi tingkat keberhasilannya masih rendah, sekitar 48 persen,” kata Rani.
Selain kerbau, ada beberapa gangguan yang bisa mematikan mangrove, yaitu wideng (kepiting) dan bencana alam seperti banjir ataupun gelombang besar. Untungnya, sekelompok masyarakat masih peduli lingkungannya. Tak mau berputus asa, kelompok tani membuat pembibitan tanaman mangrove dibantu Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).
Kini, beberapa jenis mangrove bisa ditemukan di Pasir Mendit, seperti nipah (Nypa fruticans), pandan, bogem (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora spp), dan api-api (Avicennia marina). Sayangnya, Juni lalu, ada banjir besar yang menghanyutkan bibit-bibit mangrove.
”Enggak apa-apa, kita mulai lagi. Sekarang, kami juga berusaha mengedukasi warga supaya menanam mangrove di sekitar tambah udang, jangan hanya menebangi saja,” kata Rani.
Ketua Kelompok Tani Mangrove Wana Tirta, Warso Suwito, menambahkan, ada sekitar 300 orang yang ikut menanam dan memanfaatkan mangrove, misalnya untuk membuat makanan.
”Mangrove banyak sekali manfaatnya, baik bagi alam maupun manusia. Kami ingin agar anak-cucu kami mendapat perlindungan dari alam. Ini harus dimulai dari sekarang,” katanya.
Pemanfaatan
Beberapa anggota kelompok tani, terutama para ibu, berusaha memanfaatkan mangrove secara maksimal. Mereka membuat berbagai jenis makanan dari bahan baku daun dan buah mangrove.
Pengolahan buah mangrove menjadi bahan makanan bukan hal yang mudah. Misalnya untuk buah mangrove jenis Bruguiera cylindrica yang berbentuk panjang silinder harus direndam, direbus, dihaluskan, dan dijemur sampai kering hingga menjadi tepung.
Pengolahan itu untuk menghilangkan racun tanin dan HCN atau asam sianida yang ada dalam buah mangrove. Tepung berwarna coklat itu bisa digunakan untuk membuat kue dan roti apabila dicampur dengan jenis tepung yang lain.
Adapun daun mangrove bisa diolah menjadi keripik. Setelah dicuci dan direndam, daun kemudian digoreng dengan tepung. Beberapa jenis makanan dari mangrove itu dijual dengan harga Rp 6.000-Rp 10.000.
”Dengan lahan tanaman mangrove seluas sekitar 7 hektar, pasti banyak buah yang bisa kita manfaatkan. Cara ini juga bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan sekitarnya,” ungkap Rani.
Jadi, jangan takut becek untuk menanam mangrove di sekitar kita. Bukan hanya kita yang akan menikmati hasilnya nanti, melainkan semua orang yang berada di luar wilayah pesisir pantai. (SUSIE BERINDRA)
Sumber: Kompas, 21 November 2014