Selain keluarga, tidak ada yang percaya Jamaluddin (30) nekat pulang ke kampung dan kembali bertani selepas meraih gelar strata dua (S2) di Makassar, Sulawesi Selatan. Apalagi, ayah satu anak ini mulai mencicipi manisnya profesi dosen. Tapi itulah jalan yang ingin ia tempuh.
“Di kampus akademisi sudah banyak. Tapi di kampung masih banyak orang yang buta huruf. Kenapa tidak desa saya saja yang saya jadikan kampus?” begitu yang Jamaluddin tanamkan pada dirinya.
Desa asal Jamal–bergitu ia disapa–bernama Kandreapia di Kabupaten Gowa. Desa itu berada di ketinggian di atas 1.500 meter dan berhawa dingin. Minggu (13/5/2018) pagi, hujan turun dan membuat dingin kian merasuk ke tulang. Di tengah cuaca yang membuat menggigil itu, lima anak sudah duduk manis di halaman belakang sebuah rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Jamaluddin, lulusan S-2 yang memberantas buta huruf di desanya dengan mendirikan Rumah Koran.
Rumah Koran, begitu nama yang tertulis di bagian depan saung yang ditempati anak-anak tersebut. Sama dengan namanya, Rumah Koran ini adalah sebuah bangunan yang dibuat dari kayu, penuh tempelan koran. Di rumah itu, anak-anak desa biasa belajar bersama di bawah bimbingan Jamal.
Irwan (12) adalah satu dari lima anak yang belajar “kelas tambahan” di Rumah Koran. Bocah yang juga siswa Kelas 1 SMPN 2 Tombolo Pao ini memperhatikan tugas yang telah dituliskannya di buku catatannya. Sang guru, Jamal, memberi arahan agar anak-anak mencatat ulang berita yang tertempel di dinding, tiang, dan bagian dari bangunan berlantai tanah tersebut.
“Tema hari ini tentang kendaraan,” ucap Jamal. “Anak-anak disuruh mencari berita di koran yang bertema kendaraan, lalu ditulis ulang di buku.”
Sedikit malu, Irwan bersedia membacakan hasil “reportasenya”. Dengan suara yang makin lama semakin keras, dia membacakan berita tentang Valentino Rossi, pembalap kesukaannya. “Pembalap Rossi berpeluang tampil di Indonesia. Rossi baru saja memperpanjang kontrak sampai 2018 bersama tim Movistar Yahama,” baca Irwan.
Yang dimaksud Yahama oleh Irwan adalah Yamaha, sebuah merek pabrikan dari Jepang. Jamal tidak mengoreksi kesalahan anak-anak. Selepas menyelesaikan tugas, mereka akan berjalan ke depan, melihat langsung situasi sebenarnya. Jika ada yang kurang tepat, maka anak-anak bisa mengetahui langsung dari praktik langsung di lingkungan terdekat.
Jamal menceritakan, dia biasanya membawa anak-anak ke kebun yang ada di dekat Rumah Koran, ke bukit, sungai, dan beragam tempat di kampung lainnya. Sembari jalan, biasanya anak-anak akan diarahkan untuk melihat dan memerhatikan kondisi sekitar. Saat tiba di tempat tujuan, mereka akan berdiskusi untuk memperbaiki catatan sebelumnya.
Dari Rumah Koran, mimpi-mimpi Jamal mulai nyata. Literasi menggeliat, desa semakin dilirik, pertanian organik mulai maju, dan pendidikan semakin diutamakan. “Padahal, dulu tempat Rumah Koran ini kandang bebek. Sekarang diganti ayam. Jadi, sebagian tempat belajar, sepertiganya kandang ayam,” jelas Jamal sembari membuka pintu kandang yang tersamarkan tutupan koran.
Berawal cemooh
Desa Kandreapia, Kecamatan Tom-bolo Pao, bisa ditempuh selama dua jam dari Makassar, melewati Bendungan Bili-bili, dan terpaut beberapa kilometer dari Malino. Jamal lahir dan besar di desa yang panoramanya menakjubkan, tanah amat subur, dan hawa super sejuk itu. Desa ini terkenal dengan hasil sayur mayur dan buah-buahannya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Jamaluddin, penggagas Rumah Koran di Desa Kandreapia, Tombolo Pao, Gowa, Sulawesi Selatan.
Di luar kekayaan alamnya, masih banyak hal yang perlu dibenahi di desa itu. “Angka buta huruf masih sangat tinggi. Banyak yang punya handphone tapi tidak bisa membaca. Jadi nomor telepon orang ditulisnya jadi 1, 2, 3 dan seterusnya, Kalau lupa siapa di nomor berapa, pasti salah sambung,” lanjutnya.
Mengutip data tahun 2010, menurut Jamal, dari 4.700 jiwa penduduk Desa Kandreapia, sebanyak 1.500 jiwa masih buta huruf.
Jamal mungkin menjadi salah satu warga yang berpendidikan rendah jika ia tidak memantapkan hatinya untuk melanjutkan sekolah. Saat menempuh SMA, dia bahkan telat satu tahun karena terbawa lingkungan. Selepas lulus, dia meyakinkan orangtuanya agar diizinkan untuk kuliah.
Namun, lagi-lagi godaan untuk tidak menyelesaikan kuliah amatlah besar. Belum genap satu tahun dia merasa tertinggal oleh teman-temannya. Tahun kedua, dia pindah jurusan dan tempat kuliah. Waktu empat tahun kuliah bisa diselesaikannya hingga meraih sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia.
Sejak kuliah dia mulai menyalurkan hasil kebun orangtua dan tetangganya untuk dijual di Makassar. “Saat mulai kuliah S2 saya juga minta dibelikan pete’-pete’ (angkot). Saya minta orang lain untuk bawa pete-pete biar saya fokus kuliah. Jadi, saya sudah tidak minta uang bulanan ke orangtua,” ujar Jamal yang menyelesaikan gelar master dan menjadi pemuda pertama di desanya yang menjadi master.
Rumah koran
Dia lalu mulai mengajar sebagai dosen bantu di sebuah kampus swasta. Hal itu berjalan enam bulan lamanya. Akan tetapi, hati nuraninya berkata lain. Melihat kondisi lingkungannya yang tidak baik-baik saja, dia akhirnya memutuskan pulang kampung dan bertani.
Cemoohan dan omongan tetangga santer mampir di telinganya. Dari mulai dianggap tidak bersyukur, sedikit gila, hingga anggapan bahwa pendidikan itu tidak penting.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Jamaluddin juga mendorong warga Desa Kandreapia, Tombolo Pao, Gowa, Sulawesi Selatan untuk bertani secara organik.
“Katanya, buat apa sekolah tinggi kalau akhirnya pulang pegang cangkul. Yang berhasil itu yang kerja di kota dan pakai dasi. Malah ada yang bilang kalau mulai gila,” tambah Jamal. “Padahal, pikirku, kenapa tidak saya bikin desa sebagai kampus, tempat orang belajar. Biar semua orang bisa belajar, dari anak-anak, pemuda, hingga orang tua.”
Jamal memulai dengan membuat wadah tempat berkumpul untuk meningkatkan literasi. Memanfaatkan koran yang menumpuk di kantor desa, dia membuat wadah bernama Rumah Koran. Alasannya, koran memudahkan orang untuk membaca, dengan informasi yang mencerahkan.
Setiap hari Minggu, dia mengajak anak-anak sekitar untuk datang di Rumah Koran. Membaca, menulis, menghitung, hingga belajar bahasa Inggris. Sebanyak enam orang pemuda setempat bergabung untuk mengajar anak-anak.
Tidak hanya anak-anak, Rumah Koran juga membuka ruang untuk petani muda, dan orang tua. Petani muda diharapkan bisa lebih melek teknologi. Orang tua diarahkan untuk lebih mendukung pendidikan anaknya dan belajar pertanian organik.
Kini, kampungnya mulai berbenah. Pertanian organik mulai dikenal warga. Petani mulai melek teknolog dan perlahan tingkat literasi mulai meningkat. “Bukan cuma membaca teks, tapi juga membaca alam dan lingkungan. Itu yang kami sebut membaca di kampung,” tutup Jamal.
Jamaluddin Dg Abu
Lahir: Gowa, 20 Agustus 1988
Istri: Diana Jamal (27)
Anak: Arsyana Rezkiana Jamal (3)
Aktivitas: Penggagas Rumah Koran
Pendidikan:
– S-1 Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Bosowa (2007-2011)
-S-2 Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Muslim Indonesia (2012-2014)
Penghargaan:
– Finalis Citi Microentrepreneurship Awards 2017-2018
– Juara 1 Nasional Komunitas Peduli Sungai, Kementerian PUPR
– Pemuda Berprestasi tingkat Kabupaten Gowa
SAIFUL RIJAL YUNUS
Sumber: Kompas, 17 Mei 2018