Jalan Panjang Mengakhiri Pandemi

- Editor

Selasa, 25 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Vaksin dan obat Covid-19 penting untuk terus diupayakan namun hal itu belum menjamin kapan akan mengakhiri pandemi. Yang bisa dilakukan adalah perubahan pola hidup dalam jangka panjang.

Sekalipun tiap hari ada kemajuan riset obat-obatan dan uji klinis vaksin Covid-19, namun kapan dan bagaimana wabah ini bisa diakhiri masih menyisakan banyak misteri. Dunia masih diliputi ketidakpastian, dan kita harus siap dengan perubahan secara jangka panjang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan, tidak akan pernah ada “peluru perak” untuk SARS-CoV-2 yang terus menyebarkan penyakit Covid-19 dengan cepat ke seluruh dunia. Uji coba fase tiga yang sedang berlangsung tidak selalu berarti bahwa vaksin sudah siap untuk disebarkan/didistribusikan ke publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Fase tiga tidak berarti hampir sampai,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kesehatan Darurat WHO, dalam diskusi daring pekan lalu. Tahap tiga berarti ini adalah pertama kalinya vaksin ini dimasukkan ke dalam populasi umumpada individu yang sehat untuk melihat apakah vaksin akan melindungi mereka dari infeksi alami.

Direktur Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat Anthony Fauci, termasuk yang meragukan vaksin akan segera mengkahiri pandemi Covid-19. Menuru dia, vaksin Covid-19 kemungkinan tidak akan mencapai efektivitas hingga 98 persen, namun hanya akan mengurangi risiko infeksi seseorang sebesar 50 – 60 persen.

Selain itu, jika Covid-19 ini memiliki karakter seperti virus korona lainnya, vaksin mungkin tidak memberikan perlindungan dalam jangka panjang. Namun, tentu saja vaksin, menurut Fauci akan berguna, sekalipun itu hanya memiliki efektivitas 60 persen.

“Anda harus menganggap vaksin bukan sebagai alat untuk mengakhiri pandemi, tetapi menjadi sesuatu yang membantu mengontrolnya ,” ujar Fauci, seperti ditulis Reuters.

Epidemiolog dan peneliti kesehatan global dari Griffith University, Australia Dicky Budiman mengatakan, belum pernah terjadi dalam sejarah, pandemi bisa diakhiri begitu ada vaksin. Bahkan, seandainya vaksin telah diproduksi, dibutuhkan waktu panjang untuk diberikan ke 70 persen populasi dunia, sehingga bisa memenuhi ambang kekebalan kelompok.

“Dalam sejarah, pandemi berakhir karena tindakan yang komprehensif. Tidak hanya bisa dari obat atau vaksin. Pengendalian melalui tes, pelacakan, dan isolasi tetap menjadi kunci. Atau pilihan lainnya seperti pandemi wabah flu Spanyol 1918, pandemi berakhir setelah sebagian besar populasi terinfeksi dengan korban sangat besar,” kata dia.

Dicky mengingatkan, kita harus bersiap dengan strategi hidup dengan virus ini dalam jangka yang panjang, dan tidak beranggapan ini akan bisa selesai di akhir tahun ini, atau bahkan awal tahun depan. Virus korona baru ini mungkin tidak akan pernah bisa dihilangkan, tetapi kita dapat bekerja sama untuk menurunkan virus ke “tingkat rendah”, sehingga tidak lagi menimbulkan banyak kematian.

Tidak Lagi Sama
Sekalipun kondisi di tiap negara kini berbeda-beda, namun secara global setelah delapan bulan virus korona baru ini mewabah di Wuhan, China, belum ada tanda-tanda bisa diatasi. Bahkan, laju penularan secara global terus membesar dengan kecepatan eksponensial. Padahal, dengan dunia yang telah terhubung, penyakit ini masih akan terus jadi ancaman jika masih ada negara yang terinfeksi.

Hingga Senin (24/8/2020), SARS-CoV-2, virus yang memicu pandemi Covid-19 telah menginfeksi 23.618.607 orang di 213 negara. Sebanyak 813.112 orang meninggal dunia, 16,1 juta telah sembuh, dan 6,6 juta masih menjalani perawatan.

Sebelumnya butuh waktu 4,5 bulan dari Januari hingga 20 Mei untuk mencapai 5 juta kasus. Berikutnya, menjadi 10 juta kasus pada 27 Juni, 15 juta kasus pada 21 Juli, dan 20 juta kasus pada 20 Agustus.

Namun demikian, jumlah kasus ini diperkirakan hanya menggambarkan puncak dari gunung es, karena banyak orang yang telah terinfeksi tidak ditemukan karena keterbatasan tes. Ini misalnya terjadi di Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat dunia, namun memiliki kapasitas tes Covid-19 per 1.000 populasinya di urutan ke-162 dunia.

Bahkan, kajian tim Massachusetts Institute of Technology dalam edisi pracetak pada 3 Agustus 2020, dari 86 negara yang memiliki tes yang andal, kasus yang dilaporkan juga masih jauh dari penularan yang terjadi karena banyaknya orang tanpa gejala. Perkiraan kumulatif jumlah kasus dan kematian hingga 10 Juli 2020 adalah 10,5 dan 1,47 kali laporan resmi, menghasilkan tingkat kematian akibat infeksi (IFR) 0,65 persen, dengan variasi yang luas di seluruh negara. Kesimpulannya, kekebalan kawanan atau herd immunity masih sangat jauh tercapai.

Dengan masih gelapnya skenario pengakhiran Covid-19 melalui obat-obatan, vaksin, bahkan herd immunity, para ahli kini hanya menyarankan agar kita beradaptasi dengan melakukan perubahan pola hidup. Dunia tidak lagi sama. Jangan lagi bermimpi untuk kembali “normal” seperti sebelum pandemi ini melanda.

Sejumlah aktivitas produktif seperti pertemuan dan pengajaran daring, bisnis dari rumah, serta berbagai upaya produktif lain yang dikontrol dengan protokol kesehatan ketat, perlu didesain lebih permanen. “Masa depan akan sangat bergantung pada seberapa banyak perubahan sosial, dan segala jenis upaya pencegahan bisa lakukan,” kata Joseph Wu, epidemiolog di Universitas Hong Kong, seperti diulis Nature.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa perubahan perilaku, seperti mencuci tangan dan memakai masker, membantu membendung gelombang infeksi. Laporan tim MRC Centre for Global Infectious Disease Analysis at Imperial College London menemukan, di antara 53 negara yang mulai membuka pembatasan, belum ada lonjakan infeksi.

“Sungguh meremehkan seberapa banyak perilaku orang telah berubah dalam hal memaki masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Tidak seperti dulu lagi ” kata Samir Bhatt, ahli epidemiologi penyakit menular, dan salah satu penulis studi tersebut.

Tim peneliti tersebut menyimpulkan bahwa jika 50–65 persen orang disiplin menjaga protokol kesehatan, termasuk menjaga jarak fisik, selama setidaknya 80 hari, hal itu dapat membantu mencegah puncak infeksi lebih lanjut selama dua tahun ke depan.

Ini berarti, kita perlu mengubah perilaku, bahkan juga budaya dan cara berinteraksi dengan orang lain. Setidaknya, itu yang bisa dilakukan sampai vaksin yang efektif ditemukan dan diberikan kepada setidaknya 70 persen populasi di dunia ini. Kecuali, ada keajaiban lain!

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 25 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB