Sakit apa pun yang pemicunya kanker selalu mencemaskan. Bukan melulu penyakitnya, tetapi cara pengobatan, biaya, dan kepastian untuk sembuh. Ini karena kanker membutuhkan terapi yang super jitu, tepat serta cepat, dan belum tentu sembuh.
Dengan tingkat ”ketakpastian” yang begitu tinggi, wajar jika selalu terbit harapan pada setiap ikhtiar pengobatannya. Dalam konteks itulah mengapa terapi alternatif bagi pengobatan kanker begitu banyak ragamnya, termasuk terapi ”Jaket Dr Warsito” yang saat ini sedang jadi pembicaraan sebagai metode pengobatan kanker, terutama kanker payudara.
Tulisan ini menawarkan cara menimbang pengobatan alternatif yang dalam metode pengobatannya menggunakan logika kedokteran modern. Ini tentu tak termasuk pengobatan alternatif lain, misalnya yang bersifat spiritual, di mana basis cabang pengetahuannya memang beda dengan pengobatan modern.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini jagat diagnostik dan pengobatan kanker payudara di Indonesia dibuat hangat oleh kontroversi penggunaan teknologi Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electro Capacitative Cancer Therapy (ECCT). Alat itu diciptakan Warsito, ahli fisika, bersama beberapa peneliti sejawatnya.
Kontroversi itu bersumber dari penggunaan ECVT/ECCT yang dikemas dalam bentuk jaket atau helm dan diklaim sebagai metode jalan pintas untuk diagnostik dan pengobatan kanker payudara. Adalah hak seseorang atas klaim itu, akan tetapi begitu ditawarkan kepada publik sebagai ”terapi kedokteran”, maka negara/Kementerian Kesehatan—dalam perannya sebagai penyelenggara, wasit, dan pengawas kesehatan warga— wajib memenuhi hak informasi bagi warga atas akuntabilitas pengujian metode ini sesuai kaidah ilmiah ilmu kedokteran.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Permenkes No 9/2014 telah mengatur tentang operasional klinik penyedia pelayanan kesehatan. Atas dasar itu Kemenkes telah meminta wali kota Tangerang untuk menertibkan Klinik Riset Kanker Dr Warsito, berdasarkan laporan warga yang merasa dirugikan.
Tentu saja Kemenkes juga harus terbuka pada ”pendekatan alternatif”. Untuk itu, Kemenkes telah berdialog dengan pihak Warsito dan menyepakati tiga hal: meninjau ulang hasil penelitian PT CTECH Edward Technology, tak menerima klien baru sampai hasil tinjauan ulang diketahui, dan diperbolehkan melakukan terapi bagi klien yang sedang berproses.
Persoalan mendasar dari sisi pendekatan riset medis adalah soal prinsip uji eksperimental yang dijalankan di dunia riset kedokteran. Sebab, bagaimanapun, ini bukan riset ilmiah ilmu fisika melainkan domain pengobatan manusia atau kedokteran.
Nyatanya, riset ”Jaket Dr Warsito” tidak menggunakan ukuran- ukuran onkologi (ilmu kanker) yang berlaku dalam dunia ilmu kanker, sementara pokok pengobatan itu adalah kanker. Hal lain yang disoal: prinsip dan protokol penatalaksanaan terapi kanker.
Prinsip yang ”dilompati”
Kontroversi lainnya muncul ketika isu ini kemudian bergeser pada ”ego sektoral”. Penertiban Klinik Riset Dr Warsito oleh Kemenkes dibaca sejumlah pihak sebagai hambatan terhadap temuan karya ”anak bangsa”, yang kemudian dipakai untuk menggiring opini publik ke arah isu nasionalisme sebagai alasan mengesampingkan akal sehat. Padahal, inti masalahnya adalah bagaimana upaya mengatasi pengobatan kanker, meskipun berat dan sulit, tidak mengabaikan prinsip-prinsip akademis dalam dunia kedokteran yang langkah-langkahnya telah dibangun berdasarkan logika kerja dunia kedokteran. Antara lain uji klinis yang bisa diverifikasi secara metodologis dan bukan anekdotal.
Karena temuan Jaket Dr Warsito itu ada dalam domain ilmu kedokteran, bukan fisika, maka tentu saja temuan itu harus memenuhi dua prinsip dasar: prinsip terapi kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) dan prinsip praktik kedokteran berbasis nilai (valued–based medicine).
Dari dua prinsip itu negara (melalui Kemenkes) telah menerjemahkannya ke dalam UU No 9/2004 dan Permenkes No 9/2014 yang menggariskan definisi klinik dan praktisi kesehatan. Tujuan pelaksanaan UU dan peraturan negara adalah untuk mengatur pelayanan kesehatan guna mencapai hasil yang terbaik bagi pasien. Manakala itu semua tak diterapkan, dengan sendirinya tak ada perlindungan bagi para pasien.
Padahal, seluruh sandaran logika yang dibangun dalam terapi Jaket Dr Warsito adalah dunia kedokteran. Bahkan alat dan simbol-simbol diagnosis dan layanan pengobatannya menggunakan domain dunia kedokteran modern.
Dari sisi itu Jaket Dr Warsito bermasalah. Sebab Klinik Riset Dr Warsito hingga kini masih aktif melakukan pelayanan klinik diagnostik dan pengobatan kanker, padahal dalam waktu yang bersamaan terapi itu diakui masih dalam proses penelitian. Dalam domain ilmu kedokteran, obat atau cara terapi di bidang kedokteran yang masih dalam tahap diteliti (riset) tak bisa digunakan sebagai metode pengobatan hingga terbukti efektivitas cara kerjanya.
Dalam kasus Jaket Dr Warsito, prinsip itu ternyata telah ”dilompati” dan langsung pada klaim bahwa Jaket Dr Warsito ”menyembuhkan kanker” dan dipraktikkan sebagai standar pengobatan kanker. Di sisi ini, pendekatan Jaket Dr Warsito jelas menyesatkan.
Tuntutan negara dan komunitas praktisi/ahli kedokteran sebetulnya cukup sederhana. Selain harus ”berdasarkan bukti”, pendekatan terapi Jaket Dr Warsito hendaknya tidak melompati beberapa tahapan yang terbentang antara uji laboratorium, uji klinis, sampai tahap penggunaan jaket sebagai terapi standar pada pasien kanker.
Kesaksian anekdotal yang bersumber dari pengalaman awam tentu saja patut dipertimbangkan. Namun, yang dihadapi oleh pasien kanker dan keluarga adalah soal ketidakpastian. Memberikan kepastian dengan pendekatan yang teruji, terukur, dan rasional adalah keniscayaan yang tak dapat dikesampingkan oleh kepentingan apa pun, tak terkecuali oleh semangat nasionalisme atau demi ”karya anak bangsa”.
Inez Nimpuno, dokter, Survivor kanker payudara, bekerja di Kemeterian Kesehatan Negara Bagian Australian Capital Territory
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul “Jaket Terapi Kanker”.