Bagi Moh. Mu’alliful Ilmi, rasa keingintahuan adalah roh dari ilmu pengetahuan. Laki-laki ini keluar sebagai lulusan S3 termuda pada wisuda pertama Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun ajaran 2022/2023.
Pada usianya yang ke-26, Ilmi telah menyandang gelar doktor program studi Kimia. Kelulusan ini baginya adalah anugerah sekaligus hasil kerja keras yang senantiasa wajib disyukuri.
Semasa menjalani studi doktoral, Ilmi menceritakan bahwa dia perlu menyesuaikan waktu antara akademik dan keluarga. Dia dituntut bisa membagi waktu antara mengerjakan penelitian, menulis proposal dan membuat laporan, juga membantu istri dan merawat anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tips Menyelesaikan Studi Tepat Waktu atau Lebih Cepat
Menurut Ilmi ada beberapa cara untuk bisa merampungkan studi tepat waktu atau bahkan lebih cepat, tetapi tetap produktif. Pertama, melakukan segala sesuatu secara terarah.
Kedua, selalu membuat perkembangan seiring waktu, meskipun progres-nya kecil. Ketiga, membuat skala prioritas untuk efisiensi waktu, tenaga, juga pikiran.
Keempat, fokus terhadap tujuan dan motivasi awal supaya etos kerja tetap terjaga. Terakhir, mengenali cara belajar agar memudahkan penyerapan pengetahuan dan penerapannya.
Ilmi dalam studinya selalu memegang prinsip haus akan ilmu dan rasa ingin tahu. Prinsip itulah yang membuatnya terbuka terhadap ilmu multidisiplin dan terus mengikuti dinamika penelitian yang selaras dengan topik penelitiannya.
Di samping itu, pemaknaan tentang hakikat ilmu pengetahuan juga merupakan esensi proses belajar. Tidak usah terlalu mempertanyakan untuk apa belajar. Namun, dengan melakukannya sebaik mungkin, seseorang akan menemukan relevansi ilmu yang dipelajarinya dalam kehidupan.
“Jangan terlalu memikirkan belajar buat apa, kenapa sih kita belajar ini. Kita jalani dulu, nanti sambil berjalan kita akan menemukan sendiri kegunaan dari ilmu yang kita pelajari,” jelasnya, dikutip dari laman ITB pada Kamis (27/10/2022).
Penelitian Sempat Terhambat Gegara Pandemi
Ilmi menceritakan, lulus S3 bukanlah hal yang mudah.
“Kelulusan ini menjadi anugerah bagi saya, orang tua saya, istri dan anak saya untuk dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu,” ucapnya.
Pandemi COVID-19 menjadi tantangan besar baginya. Pasalnya, penelitian Ilmi membutuhkan akses laboratorium-laboratorium sentral, sedangkan selama pandemi tempat-tempat itu ditutup.
Selama waktu tersebut, dia pun memutuskan memanfaatkan waktu untuk menulis paper review. Melalui kegiatan ini, dia bisa menghasilkan paper review yang dirilis di Jurnal Archaeological and Anthropological Sciences.
Selama kuliah di ITB, Ilmi sudah menghasilkan 14 publikasi ilmiah di jurnal nasional maupun internasional. Empat di antaranya menempatkan Ilmi sebagai penulis pertama.
Ketika pandemi mereda, dia baru bisa melanjutkan penelitiannya mengenai aspek kimiawi yang berperan dalam perubahan warna pada lukisan bersejarah. Risetnya dipublikasikan dalam bentuk disertasi yang bertajuk ‘Aspek Kimia pada Diskolorasi Gambar Cadas Maros-Pangkep dan Lembata’.
Fokus penelitian Ilmi berhasil mengantarkannya menjadi pembicara pada European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di Grenoble, Prancis pada 2020 lalu.
Pada kegiatan tersebut, Ilmi mempresentasikan penelitiannya tentang analisis sifat fisikokimia pigmen gambar cadas di situs Karim, Sangkulirang, Kalimantan Timur. Pengalaman ini pun membuatnya memperoleh kesempatan supaya sampelnya dianalisis lebih lanjut oleh ESRF. Tentunya, pengalaman ini amat berharga karena ESRF adalah fasilitas penelitian ternama di Eropa.
Meski begitu, Ilmi juga mengalami hal menyedihkan selama studi doktoralnya.
“Pembimbing ke-2 saya, Dr. Pindi Setiawan, M.Si., meninggal dunia satu bulan setelah ujian disertasi saya, dan itu menjadi pengalaman menyedihkan selama studi S3,” ucapnya.
Lulusan termuda jenjang S3 di ITB itu berharap bisa meneruskan cita-cita almarhum untuk meneruskan penelitian mengenai lukisan prasejarah di Indonesia.
Novia Aisyah
Sumber: detikEdu, Kamis, 27 Okt 2022