Hari Ini, UNESCO Serahkan Penghargaan kepada Pejabat Kemdikbud
Isu-isu tentang kesetaraan jender dan pentingnya akses pendidikan bagi kaum perempuan menjadi perhatian serius negara-negara dunia. Kaum perempuan di Indonesia masih mendominasi angka putus sekolah dan angka buta aksara.
Menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), pada 2011, sebanyak 31 juta anak perempuan putus sekolah dan 55 persen di antaranya tak bisa lagi mendaftarkan diri masuk sekolah. Tak hanya itu, dari total angka buta aksara 781 juta orang, sekitar 64 persen di antaranya adalah perempuan. Persentase ini tidak pernah berubah sejak tahun 2000.
Banyak perempuan putus sekolah terlalu dini, khususnya ketika mereka menginjak remaja. Kondisi seperti ini mengakibatkan mereka rawan mengalami diskriminasi, kekerasan, dan perampasan hak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena itulah, dalam pencapaian Sustainable Development Goal 4 (SDG4) pendidikan 2030, kesetaraan jender menjadi prinsip fundamental dan pengarusutamaan jender sebagai kunci strateginya,” kata Maki Hayashikawa, Kepala Bidang untuk Pendidikan Inklusif yang Berkualitas UNESCO Bangkok, Minggu (5/6), di sela Seminar Internasional Pendidikan Anak Perempuan dan Perempuan di Beijing, Tiongkok.
Deputi Direktur Pusat Nasional Riset Pengembangan Pendidikan Tiongkok, Han Min, mengatakan, berdasarkan Sensus Nasional 2010, orang dewasa di Tiongkok yang buta aksara didominasi kaum perempuan dengan persentase mencapai 73,8 persen. “Kesempatan pelatihan bagi perempuan juga masih kurang ketimbang laki-laki, khususnya di tingkat sekolah menengah pertama,” ujar Min, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Aloysius Budi Kurniawan, dari Beijing.
RI raih penghargaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sejak 2013 menerapkan program pendidikan anak usia dini berbasis masyarakat dan pengarusutamaan jender sejak usia dini mendapatkan penghargaan UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education 2016. Pemberian penghargaan akan berlangsung Senin (6/6) ini di Beijing. Penghargaan diterima langsung oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ella Yulaelawati. Selain Indonesia, penerima UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education 2016 lainnya adalah Evernice Munando, Direktur Female Students Network Trust dari Harare, Zimbabwe.
Aicha Bah Diallo, juri UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education sekaligus anggota pendiri forum untuk pengajar-pengajar perempuan Afrika, mengatakan, ketika membaca proposal dari sejumlah negara dan menemukan bahwa di Indonesia pengarusutamaan jender mulai dikenalkan sejak usia dini, juri langsung menjatuhkan pilihan sebagai pemenang. “Pengarusutamaan jender memang harus diberikan dan dikenalkan sejak usia dini. Ini yang luput diperhatikan di tempat lain,” kata Aicha.
Mulai 2013, Kemdikbud menerapkan proyek “Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan Anak Perempuan Melalui Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat dan Pengarusutamaan Gender Sejak Usia Dini”.
Menurut Ella, ke depan, program pengarusutamaan jender sejak usia dini di Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah serius, yaitu dengan perlunya menambah tenaga pengajar PAUD laki-laki. Tenaga pengajar PAUD masih didominasi kaum perempuan. “PAUD kita masih terlalu feminin. Anak-anak laki-laki kita juga butuh pendidikan yang maskulin agar seimbang,” katanya.
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di halaman 11 dengan judul “Isu Jender Jadi Perhatian Dunia”.