Ismail Agung Rusmadipraja tertarik dengan satwa liar primata. Untuk mewujudkan kepeduliannya, dia menyelamatkan kukang agar tak sampai punah.
Ismail Agung Rusmadipraja gencar mengampanyekan penyelamatan kukang sejak tahun 2015.
DENNY SETIAWAN—Ismail Agung Rusmadipraja gencar mengampanyekan penyelamatan kukang sejak tahun 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ismail Agung Rusmadipraja (34) mewujudkan kepeduliannya terhadap primata dengan menjadi penyelamat kukang. Sejak tahun 2015, dia berkampanye melalui Kukangku supaya hewan lucu bermata bulat itu tidak punah di bumi pertiwi.
Selama tiga bulan terakhir, Kukangku menerima laporan masyarakat terkait penemuan kukang di kebun milik penduduk. Berbeda dengan tahun 2007, banyak laporan mengenai perdagangan kukang di tengah masyarakat. Saat itu, penawaran jual beli kukang dilakukan melalui media sosial.
”Sejak awal tahun sampai selama pandemi, banyak laporan dari masyarakat. Sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah, kami beri tahu untuk mengembalikan kukang liar ke BKSDA. Sebagian besar laporan dari Lampung, Jawa Barat, dan Jakarta. Yang menarik, kalau dulu yang dilaporkan kukang peliharaan, sekarang kukang liar yang kesasar di kebun,” kata Agung saat dihubungi dari Bogor, Jawa Barat, Kamis (18/6/2020).
Sejak tahun 2015, Agung meneruskan perjalanan Kukangku yang menjadi media kampanye penyelamatan dan pelestarian kukang dari ancaman perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan. Sebelumnya, sejak 2014, komunitas itu sudah dirintis oleh Indah Winarti.
Agung menceritakan, Kukangku berdiri karena saat itu banyak yang mengaku pencinta kukang dengan cara memeliharanya. ”Masalahnya, itu adalah satwa liar yang dilindungi, kok, malah dipelihara. Ketika kukang dipelihara, umurnya tidak panjang, mungkin hanya enam bulan. Trennya ramai sekali, sekitar 7.000 kukang diperdagangkan,” kata Agung.
Akibatnya, menurut dia, dalam kategori konservasi berdasarkan Badan Konservasi Dunia (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources/IUCN), kukang termasuk dalam critically endangered atau kritis, satu tingkat di bawah terancam punah. Biasanya, kukang yang dipelihara akan dipotong giginya sehingga siklus hidupnya menjadi pendek.
”Kukang yang tidak punya gigi serta makan tidak sesuai nutrisi lalu sakit dan mati. Sementara di alam, kukang bisa hidup sampai 20 tahun. Sampai tahun 2010, masih banyak yang memperdagangkan kukang. Mereka berkumpul menjadi komunitas pencinta kukang, tetapi praktiknya wadah jual beli,” ujarnya.
Tak mau berdiam diri, Agung gencar berkampanye melalui media sosial. Langkah penyelamatan diawali dengan mencari aktivitas jual beli kukang di Instagram. Saat itu, tahun 2016, banyak sekali yang memamerkan foto peliharaan kukang, dalam setahun bisa sampai sekitar 300 unggahan.
”Lumayan juga, kami kerja keras mendekati mereka, mengedukasi supaya jangan memelihara kukang, jangan mengunggah foto-foto kukang. Kalau dihitung, paling tidak ada sekitar 300 kukang yang hilang dari habitatnya dan nasibnya belum tentu hidup lama,” katanya.
Dengan telaten, Agung bersama teman-temannya di Kukangku gencar memantau media sosial, mendekati para pemelihara dan pedagang kukang. Tak mudah untuk menyakinkan banyak orang bahwa kukang merupakan hewan liar yang tidak bisa dipelihara. ”Dari situ, saya belajar menyelesaikan masalah. Kita jangan menjatuhkan orang yang sudah memelihara kukang, tetapi harus melalui edukasi yang tepat,” kata Agung.
Ismail Agung Rusmadipraja juga aktif berkampanye tentang penyelamatan satwa liar ke sekolah-sekolah. Biasanya Agung bersama tim IAR Indonesia akan mengunjungi sekolah yang dekat dengan lokasi pelepasliaran kukang,
ARSIP PRIBADI—Ismail Agung Rusmadipraja juga aktif berkampanye tentang penyelamatan satwa liar ke sekolah-sekolah. Biasanya Agung bersama tim IAR Indonesia akan mengunjungi sekolah yang dekat dengan lokasi pelepasliaran kukang,
Selain itu, Yayasan International Animal Rescue atau Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) membantu untuk kampanye penyelamatan dan pelepasliaran kukang. Data dari IAR menyebutkan, ada sekitar 2.000 tranksaksi jual beli kukang. Usaha tersebut tak sia-sia. Mulai tahun 2017, angka perdagangan kukang semakin menurun.
Data dari IAR tahun 2019 menyebutkan, 154 laporan masyarakat yang masuk berkaitan dengan temuan kukang, penyerahan sukarela, dan aktivitas perdagangan. Sebanyak 93 kukang berhasil diselamatkan dari aktivitas perdagangan. Pada tahun itu, penyelundupan 79 kukang jawa ke China menjadi kasus terbesar yang diungkap penegak hukum.
Pada tahun itu juga, 51 kukang harus masuk ke rehabilitasi IAR Indonesia dan 154 kukang berjuang di pusat rehabilitasi IAR Indonesia untuk kembali ke habitat alaminya. Selain itu, IAR sudah melepasliarkan 152 kukang hidup bebas ke habitatnya, yang terdiri dari 136 kukang jawa dan 16 kukang sumatera.
Penelitian primata
Ketertarikan Agung pada primata dimulai sejak dia masih menjadi mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat itu, ada kukang yang kesasar di kampusnya. Agung memperhatikan segala tingkah laku kukang itu.
”Dulu kalau liat primata menyenangkan. Melihat primata sepertinya asyik, mereka bisa bebas. Kalau orang lain takut dengan suara hewan liar, saya malah penasaran, pengin tahu bagaimana bentuknya,” katanya.
Ismail Agung Rusmadipraja aktif dalam penelitian primata. Dia, antara lain, terlibat dalam penelitian di Kalimantan.
ARSIP HEART OF BORNEO PROJECT—Ismail Agung Rusmadipraja aktif dalam penelitian primata. Dia, antara lain, terlibat dalam penelitian di Kalimantan.
Dia pun banyak belajar dari para seniornya di kampus. Lalu, setelah lulus kuliah, Agung mencoba ikut penelitian primata dan ekspedisi ke Kalimantan. Untuk bisa menyelamatkan satwa liar, Agung belajar banyak hal.
”Saya aktif di NGO yang aktif dalam penyelamatan satwa, lalu menjadi volunter di pusat rehabilitasi sehingga tahu bagaimana merawat satwa liar sampai mereka dilepasliarkan dan dipantau. Selain itu, saya juga ikut penelitian satwa liar. Proses menyelamatkan satwa liar itu enggak gampang,” tuturnya.
Untuk itulah, dia sering membagikan pengalamannya sekaligus sebagai media edukasi bagi orang untuk peduli pada satwa liar. ”Kukangku media tepat bagaimana proses upaya penyelamatan yang benar. Tujuannya bukan kepuasan pribadi, tetapi untuk alam,” ujarnya.
Agung menceritakan salah satu pengalaman menarik ketika menjadi tim penelitian yaki atau monyet hitam di Tangkoko, Sulawesi Utara. Dia harus menghafalkan nama 50 jenis primata yang sedang diteliti. ”Selama dua minggu, saya harus hafalkan nama-nama mereka, yang kalau sekilas, mukanya mirip semua. Baru lulus kuliah, disuruh mengamati perilaku monyet, sampai saya dianggap bagian dari mereka. Saya berasa jadi monyet saja waktu itu,” kata Agung sambil tertawa.
Di sisi lain, Agung juga pernah mengalami pengalaman menyedihkan. Suatu saat, dia mendapat laporan dari temannya mengenai seekor kukang yang terluka parah karena kesetrum tiang listrik di Bandung. Lalu, kukang itu dibawa ke pusat rehabilitasi di IAR, Bogor. Sayangnya, untuk pemeliharaan kukang tersebut, mereka membutuhkan biaya yang tak sedikit. Akhirnya, Agung membuat penggalangan dana melalui Kitabisa.com.
Selama dua minggu, saya harus hafalkan nama-nama mereka, yang kalau sekilas, mukanya mirip semua. Baru lulus kuliah, disuruh mengamati perilaku monyet, sampai saya dianggap bagian dari mereka. Saya berasa jadi monyet saja waktu itu.
”Dari kukang yang tangannya patah, bau busuk, lalu diamputasi, sampai kemudian kukang itu bisa sehat dan dilepasliarkan ke Ciamis. Saya merasa enggak sia-sia,” ujar Agung.
Melalui akun @kukangku di Instagram, Agung sering memberi informasi mengenai kukang-kukang yang sedang direhabilitasi. Saat ini, Kukangku gencar mengampanyekan satwa liar #dihutansaja.
Nama: Ismail Agung Rusmadipraja
Lahir: Bandung, 28 Agustus 1985
Istri: Dian Nilamsari
Pendidikan:
– SMP Negeri 40 Bandung (1997)
– SMA Negeri 9 Bandung (2000)
– S-1 Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung (2003)
Pekerjaan:
Campaign Officer IAR Indonesia (Desember 2015-sekarang)
Koordinator Program Javan Gibbon Reintroduction di Gunung Puntang, Jawa Barat (2013-2015)
Ekspedisi Bacan, Proyek Selamatkan Yaki, di Pulau Bacan, Maluku Utara (Februari 2013)
Oleh SUSIE BERINDRA
Editor: SUSIE BERINDRA
Sumber: Kompas, 2 Juli 2020