Peneliti dari Institut Pertanian Bogor berhasil membuat rancangan sistem produksi mikroalga sebagai bahan baku biodiesel dengan memanfaatkan limbah cair agroindustri dari industri peternakan, rumah pemotongan hewan dan industri gula.
Mikroalga sangat potensial dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, kata peneliti Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Suprihatin di Bogor, Jawa Barat, Kamis, yang melakukan penelitian tersebut bersama rekannya Dr Muhammad Romli dan Ir Andes Ismayana, MT.
“Konversi bahan pangan menjadi energi dapat menyebabkan kerawanan pangan, sehingga diperlukan langkah strategis untuk mengembangkan dan mengoptimalkan peranan pertanian sebagai pemasok energi atau Bahan Bakar Nabati (BBN) tanpa mengorbankan pangan dan keseimbangan ekologi,” kata Suprihatin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mikroalga memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, diantaranya produktivitas tinggi karena laju pertumbuhan cepat hanya dalam satuan jam atau hari, tidak memerlukan lahan subur sehingga tidak berkompetisi dengan tanaman pangan.
Selain itu, lanjut dia, dapat dikombinasikan untuk pengelolaan lingkungan (recycling nutrien, konservasi air, dan biofiksasi karbon dioksida atau reduksi emisi gas rumah kaca), serta efisien dalam penyerapan energi surya.
Biomassa mengandung bahan-bahan bernilai tinggi seperti protein, minyak atau lemak, vitamin, mineral, pigmen, beta karoten, bahan aktif, serta serat, yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mikroalga juga membutuhkan sedikit biaya investasi dan biaya operasi atau pemeliharaan.
Suprihatin mengatakan, makanan utama mikroalga ialah karbondioksida.
Kondisi iklim dan geografis, seperti intensitas sinar matahari sepanjang tahun, temperatur udara relatif tinggi, dan ketersediaan lahan juga mendukung aplikasi sistem ini di Indonesia.
Hasil rancangan Prof.Suprihatin dan tim dilengkapi dengan hasil optimasi, parameter desain atau operasi, dan hasil analisis tekno ekonomi.
“Tahapan penelitian ini terbagi dua. Tahap pertama dilakukan karakterisasi pertumbuhan mikroalga dalam limbah cair agroindustri melalui penentuan nilai-nilai parameter kinetik pertumbuhan. Tahap kedua, perancangan proses dan sistem produksi mikroalga,” katanya.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009-2010 di laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Pengujian jenis dan jumlah mikroalga dilakukan dengan pencacahan sesuai Metode Sedgwick Rafter Counting (SRC), di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing), Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Hasil penelitian menunjukkan, dari ketiga limbah cair yang diuji, limbah cair Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan peternakan berpotensi untuk digunakan sebagai substrat pertumbuhan mikroalga.
“Kami mengindentifikasi terdapat tiga jenis mikroalga yang tumbuh dominan dalam limbah tersebut yaitu Chlorella sp, Scenedesmus sp, dan Ankistrodesmus sp. Jenis tersebut sangat berbeda dengan jenis mikroalga yang tumbuh dalam inokulum yang ditambahkan. Hal ini menunjukkan komposisi limbah cair menentukan jenis mikroalga yang dapat tumbuh dan berkembang biak,” papar Suprihatin.
Chlorella mengandung lemak 14-22 persen. Lemak dari mikroalga inilah yang dikonversi menjadi bahan baku biofuel.
Meski demikian, pengembangan mikroalga sebagai sumber biofuel masih belum kompetitif. Pada tingkat harga minyak kasar saat ini yakni sekitar 100 dolar per barrel, supaya kompetitif, biaya operasional produksi biomassa mikroalga dengan kandungan minyak sekitar 14,7 persen harus kurang dari 200 dollar AS per ton atau sekitar Rp1,8 juta per ton.
“Produksi mikroalga untuk produksi energi skala besar saat ini masih dalam fase pengembangan. Biaya produksi biodiesel berbasis mikroalga masih memerlukan penurunan secara signifikan agar dapat kompetitif dengan sumber diesel lainnya,” kata dia.
Walau biaya operasional produksi mikroalga dari limbah cair agroindustri cukup besar, namun analisis biaya tersebut belum memperhitungkan kemungkinan keuntungan lain baik keuntungan ekonomis maupun lingkungan.
Kemungkinan keuntungan tersebut seperti produksi biogas pada pra-perlakuan limbah cair, pupuk organik dari digester anaerobik, hasil samping berupa bahan pakan atau produk bernilai tinggi lainnya, penurunan emisi gas rumah kaca, pengolahan limbah cair, recycling nutrien, recycling air, dan pencegahan eutrofikasi di badan air penerima, serta keuntungan sosial lainnya, kata Suprihatin.